Sabtu, 25 Agustus 2007

Globalisasi Mengancam Demokrasi?

BEBERAPA waktu belakangan ini sedikit ada kekhawatiran soal globalisasi dalam kaitannya dengan demokrasi. Benarkah demokrasi terancam oleh globalisasi. Atau, justru sebaliknya, globalisasi semakin memperkuat demokrasi. Atau, jangan-jangan demokrasi ada hanya di atas kertas, dalam praktiknya, ia terdikte oleh mesin-mesin globalisasi yang disinyalir dimainkan oleh para petualang kapitalis baru.
Globalisasi
GLOBALISASI adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalangan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi bias. Dalam banyak hal, globalisasi memiliki banyak karakteristik yang sama dengan internasionalisasi, dan istilah ini sering kali dipertukarkan. Sebagian pihak sering menggunakan istilah globalisasi yang dikaitkan dengan berkurangnya peran negara atau batas-batas negara.
Jika sebagian orang mengatakan bahwa globalisasi hanya mitos, beberapa hal berikut menggambarkan bahwa globalisasi memang nyata. Pertama, perubahan dalam konsep ruang dan waktu. Kedua, pasar dan produksi ekonomi di negara-negara yang berbeda menjadi saling bergantung sebagai akibat dari pertumbuhan perdagangan internasional, peningkatan pengaruh perusahaan multinasional, dan dominasi organisasi semacam WTO atau Uni Eropa, dan lainnya. Ketiga, peningkatan interaksi kultural melalui perkembangan media massa (terutama televisi, film, musik, dan transmisi berita dan olah raga internasional). Keempat, meningkatnya masalah bersama, misalnya pada bidang lingkungan hidup, krisis multinasional, inflasi regional dan lain-lain.
Kennedy dan Cohen menyimpulkan bahwa transformasi ini telah membawa kita pada globalisme, sebuah kesadaran dan pemahaman baru bahwa dunia adalah satu. Giddens menegaskan bahwa kebanyakan dari kita sadar bahwa sebenarnya diri kita turut ambil bagian dalam sebuah dunia yang harus berubah tanpa terkendali yang ditandai dengan selera dan rasa ketertarikan akan hal sama, perubahan dan ketidakpastian, serta kenyataan yang mungkin terjadi. Sejalan dengan itu, Peter Drucker menyebutkan globalisasi sebagai zaman transformasi sosial.

Demokrasi terancam?
BENARKAH demokrasi terancam? Jika demokrasi dipahami sebagai sebuah sistem di mana dalam suatu negara ada elemen eksekutif, yudikatif, dan legislatif yang hakikatnya memainkan peran begitu penting, namun kemudian terkooptasi, terdikte, dan terkulai tak berdaya di bawah kaki kekuatan mesin-mesin globalisasi dunia yang tiada lain adalah kekuatan kapitalisme baru, demokrasi memang betul-betul terancam.
Tetapi, jika demokrasi dipahami sebagai suatu kultur yang memberikan ruang kebebasan pada setiap orang untuk memainkan perannya masing-masing dan mendapatkan yang diinginkan, maka globalisasi bisa dimaknai pula sebagai momentum untuk mewujudkan hal itu. Dengan relasi lintas negara dan wilayah, serta kultur-kultur lain, demokrasi memungkinkan setiap orang memilih yang terbaik demi meningkatkan taraf hidupnya.
Pertanyaannya, apakah globalisasi memberikan harapan yang cerah untuk itu? Pandangan para globalis positif mengatakan demikian. Namun, tidak dengan para globalis pesimis. Mereka menyatakan bahwa globalisasi adalah sebuah fenomena negatif karena hal tersebut sebenarnya adalah bentuk penjajahan Barat (terutama Amerika Serikat) yang memaksa sejumlah bentuk budaya dan konsumsi yang homogen dan terlihat sebagai sesuatu yang benar dipermukaan.
Kekhawatiran bahwa demokrasi akan terancam globalisasi tampaknya tidak perlu ada jika demokrasi betul-betul dipahami sebagai kekuatan dari, oleh, dan untuk rakyat, yang kemudian diterjemahkan oleh negara dengan kebijakan-kebijakan prorakyat dalam momentum apa pun, termasuk momentum globalisasi itu sendiri. Artinya, rakyat tidak dikorbankan oleh kepentingan globalisasi, tetapi justru mengambil nilai-nilai positif dari globalisasi itu.
Peran negara dan rakyat tentunya, dengan demikian, harus kuat dan terus-menerus dijaga. Globalisasi dalam maknanya yang luas bisa membawa perubahan yang positif. Tetapi, dalam maknanya yang sempit sebagai kekuatan kapitalis yang ingin “menyingkirkan” peran negara, harus betul-betul diwaspadai. Kebijakan suatu negara memainkan peranan yang sangat penting di sini. []

Duta Masyarakat, Rabu 15 Agustus 2007

Selasa, 21 Agustus 2007

Wacana Parpol Lokal, Demokrasi, dan Tribalisme

Beberapa hari ke belakang, beberapa media massa nasional baik cetak maupun elektronik diramaikan oleh wacana partai politik (parpol) lokal yang muncul kembali gaungnya pascaperundingan antara pemerintah Republik Indonesia (RI) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) babak ke lima yang berlangsung di Helsinki, Finlandia, 18 Juli 2005 silam.
Adalah GAM yang meminta dibentuknya parpol lokal. Alasannya, parpol lokal dapat sepenuhnya menampung keinginan warga Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang selama ini, menurut mereka, kurang terakomodasi oleh partai-partai nasional yang berpusat di Jakarta. Selain itu, parpol lokal adalah permintaan terakhir GAM sebagai wujud kebersediaan mereka untuk berunding menyelesaikan konflik yang memakan hampir tiga puluh tahun lamanya.

Wacana parpol lokal
Setidaknya ada tiga kubu yang berbeda pandangan soal wacana parpol lokal ini. Pertama, kubu yang menolak adanya parpol lokal (konservatif). Kedua, kubu yang memandang perlunya parpol lokal (liberal). Dan ketiga, kubu moderat yang mencoba mendudukkan persoalan parpol lokal secara ‘adil’. Dalam pengertian, tidak menolak adanya parpol lokal, tapi juga mengharapkan jangan sampai parpol lokal terjadi dengan beberapa asumsi.
Kubu pertama beralasan bahwa parpol lokal berpotensi memunculkan fanatisme kedaerahan dan tribalisme. Ujung-ujungnya, parpol lokal bisa menjadi benih bagi terbentuknya kekuasaan federal di daerah bersangkutan. Selain itu, secara konstitusi, parpol lokal bertentangan dengan Undang-Undang parpol No. 31/2002 yang mengharuskan semua parpol berpusat di Jakarta.
Sedangkan, kubu kedua adalah kebalikan dari kubu pertama. Kubu kedua menerima adanya parpol lokal. Alasannya, adanya parpol lokal justru akan makin menguatkan proses desentralisasi dan akan makin manguatkan daya saing positif pada setiap daerah untuk membangun dan mengembangkan potensi-potensi yang ada di dalamnya. Selain itu, landasan demokrasi yang diusungnya juga secara tidak langsung ‘tidak melarang’ adanya parpol lokal.
Kubu ketiga adalah kubu yang moderat. Yaitu kubu yang melihat persoalan parpol lokal sesuai dengan situasi dan kondisi yang terkait dengan banyak hal. Gagasan parpol lokal yang menghangat kembali baru-baru ini membutuhkan kejernihan dan kejelian dalam menyikapinya.
Menurut kubu ini, tidak ada persoalan jika memang NAD mendirikan parpol lokal. Namun, sebelum itu, Undang-Undang terkait yang ada harus diubah. Atau, kalaupun itu tidak dilakukan, maka parpol lokal hanyalah khusus diberikan kepada NAD, tidak untuk daerah yang lain. Alasan utamanya, NAD telah diberikan otonomi khusus yang luas dalam hal politik dan pembangunan.
Apa pun itu, ketiga pandangan itu merupakan wacana yang hemat penulis akan terus bergulir cukup lama. Beberapa isu terbaru menyatakan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan membahas persoalan ini secara konstitusional dalam musyawarah anggota dalam waktu dekat ini.
DPR menjanjikan akan memberikan solusi efektif bagi wacana parpol lokal. Salah satu yang muncul adalah bahwa parpol lokal kemungkinan akan dibentuk di NAD namun hanya dalam jangka satu tahun. Itupun baru sebatas percobaan, tidak menjamin akan terbentuk secara permanen.

Parpol lokal di pemilu 1955
Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1955 tercatat sebagai pemilihan pertama yang paling demokratis di negeri ini. Pasalnya, ada banyak partai politik yang ikut menjadi kontestan di dalamnya. Tercatat ada sekitar 28 partai politik. Sehingga, keperwakilan suara rakyat benar-benar terakomodasi secara penuh. Tidak hanya itu, partisipasi rakyat juga sangat besar. Ini merupakan hal yang luar biasa. Itu pula yang mengawali langkah pertama kali bangsa Indonesia menjadi negara demokratis.
Ingar-bingar pemilu 1955 di satu sisi ternyata menghadirkan fenomena menarik yang saat ini gencar diwacanakan oleh media-media nasional, yaitu wacana parpol lokal. Ahli Indonesia legendaris, Prof Herbert Feith, mencatat dengan baik hasil keseluruhan pemilu 1955 ini. Feith membagi parpol peserta pemilu 1955 ke dalam empat bagian yang khas, yaitu: partai besar, partai menengah, kelompok kecil yang bercakupan nasional, dan kelompok kecil yang bercakupan kedaerahan atau kesukuan.
Kategori terakhir inilah yang ternyata muncul kembali diwacanakan saat ini. Masuk dalam kategori terakhir adalah Partai Rakyat Desa (PRD), Partai Rakyat Indonesia Merdeka (PRIM), Gerakan Pilihan Sunda (GPS), Partai Tani Indonesia (PTI), dan Gerakan Banteng (GB). Parpol-parpol ini terbanyak berlokasi di Jawa Barat. Sedangkan di Yogyakarta, ada juga partai kedaerahan, yaitu partai Gerinda. Di Kalimantan Barat ada Partai Persatuan Daya (PPD). Sedangkan di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), ada partai Persatuan Indonesia Raya (PIR). Di Jawa Timur sebetulnya juga ada, yaitu AKUI, sebuah partai kedaerahan yang umumnya di warnai oleh keberadaan orang-orang Madura muslim. Partai ini dekat dengan Masyumi.
Namun, tercatat, parpol-parpol yang mengusung ‘sentimen’ kedaerahan itu umumnya tidak memperoleh suara signifikan. Pendek kata, parpol kedaerahan tidak menjamin akan mendulang suara terbanyak. Itu dibuktikan langsung pada oleh kemenangan Partai Nasionalis Indonesia (PNI) di beberapa daerah yang di dalamnya ternyata ada parpol kedaerahan. Di Jawa Barat, Gerakan Banteng (GB) bertengger di urutan ke-20, PRD ke-21, dan PTI ke-23. Di Jawa Tengah, Gerinda juga hanya bertengger di peringkat ke-18.

Parpol lokal, perlukah?
Pemilu 1955 telah menggambarkan secara konkret betapa parpol-parpol lokal yang mengusung ‘sentimen’ kedaerahan ‘kurang begitu diterima’ publik. Parpol besar yang berskala nasioanal, seperti PNI dan Masyumi, ternyata lebih signifikan dalam perolehan jumlah suara. Ini sekaligus menjadi bukti kuat bahwa besar kemungkinan parpol lokal yang saat ini gencar diperdebatkan memang betul-betul hanya sebatas wacana. Dalam tataran praksis, hal itu akan sulit terwujud.
Apakah dengan demikian, parpol lokal memang tidak akan pernah terwujud kelak di kemudian hari? Tidak ada yang dapat memastikan. Namun, hemat penulis, ada beberapa hal yang cukup urgen diperhatikan terkait dengan wacana parpol lokal. Pertama, kalau memang wacana parpol lokal serius dibahas DPR, maka sudah seharusnya, DPR berani mengubah Undang-Undang yang ada sehingga memungkinkan parpol lokal terwujud.
Kedua, gagasan parpol lokal secara langsung dimunculkan oleh GAM yang notabenenya menginginkan kemerdekaan NAD pada awalnya. Ini berpotensi membuat daerah-daerah lain menginginkan hal yang sama. Jika itu terjadi, persoalan disintegrasi harus siap-siap dihadapi oleh bangsa ini.
Ketiga, kalau memang serius mempraksiskan wacana parpol lokal, maka DPR dan pemerintah harus secara konkret menjabarkan itu dalam bentuk Undang-Undang baru. Karena, parpol lokal tidak hanya sebatas keinginan suara-suara daerah yang bersangkutan, akan tetapi terkait juga secara administratif dengan pemerintah pusat. Pendek kata, bagaimanakah pola hubungan parpol lokal itu dengan pemerintah.
Wacana parpol lokal hemat penulis akan tetap menghangat sebelum DPR membahasnya secara khusus. Namun, penulis berasumsi bahwa pada akhirnya, parpol lokal memang hanya sekedar wacana. Negara dan bangsa ini belum cukup kuat untuk menjadi negara federal, meskipun hal itu sangat mungkin bisa dilakukan.
Proses demokratisasi di negeri ini saja masih dalam proses yang membutuhkan waktu yang tidak lama. Jika parpol lokal merupakan bagian dari proses itu, maka kita memang harus rela hal tersebut diwacanakan.

Duta Masyarakat, Kamis 28 Juli 2005

Wacana Kemukjizatan Alquran dan Pandangan Ibnu Taimiyyah

Alquran hingga detik ini diyakini oleh umat Islam sebagai satu-satunya kitab suci wahyu Tuhan yang memiliki keistimewaan luar biasa. Satu keistimewaan yang sulit ditemukan pada kitab-kitab wahyu yang Tuhan turunkan kepada umat-umat sebelum Nabi Muhammad SAW. Keistimewaan ini makin lengkap dengan adanya legitimasi Tuhan yang menjamin otentisitas Alquran hingga hari kiamat, “Sesungguhnya Kami yang menurunkan al-Dzikr (Alquran), maka Kami pula yang akan menjaganya.” (Al-Hijr: 9)
Demikianlah, Allah SWT menjamin keotentikan Alquran, jaminan yang diberikan atas dasar kemahakuasaan dan kemahatahuan-Nya, serta berkat upaya-upaya yang dilakukan oleh makhluk-makhluk-Nya, terutama oleh manusia. Dengan jaminan ayat di atas, setiap Muslim percaya bahwa apa yang dibaca dan didengarnya sebagai Alquran tidak berbeda sedikitpun dengan apa yang pernah dibaca oleh Rasulullah SAW, dan yang didengar serta dibaca oleh para sabahat Nabi SAW (M. Quraish Shihab, Membumikan Alquran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, 1992).
Keistimewaan Alquran, sering, bahkan selalu dikaitkan dengan istilah mukjizat. Alquran disebut istimewa karena ia adalah mukjizat utama Rasulullah SAW. Terbukti di sepanjang sejarah manusia pada masa Nabi SAW hingga saat ini, belum ada yang mampu menandingi karya agung Tuhan ini. Padahal, tantangan sudah Alquran gelar bagi siapa pun yang ingin membuat semisalnya hingga satu ayat saja. Tak ada yang mampu melakukannya.
Tantangan Alquran terhadap orang-orang Arab pada masa Nabi SAW, misalnya, terjadi dalam tiga tahapan. (Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an,1998) Pertama, tantangan dengan seluruh Alquran dalam uslub umum yang meliputi orang Arab sendiri dan orang lain, manusia dan jin, dengan tantangan yang mengalahkan kemampuan mereka secara padu melalui firman-Nya, “Katakanlah (wahai Muhammad) kepada umatmu, jika mereka berkoalisi dengan jin untuk membuat Alquran lain yang sama dengan Alquranmu, niscaya mereka tidak akan mampu melakukannya, meskipun satu sama lain saling membantu.” (Al-Isra: 88)
Kedua, menantang mereka dengan sepuluh surat saja dari Alquran, “Apakah mereka mengatakan bahwa Muhammad yang membuatnya? Katakanlah (ya Muhammad), buatlah sepuluh surat saja yang seperti Alquran. Kalau perlu, undanglah orang-orang yang kalian yakini mampu, tanpa keterlibatan Allah jika kalian yakin bisa membuatnya.” (Hud: 13)
Ketiga, menantang mereka dengan satu surah saja dari Alquran, “Apakah mereka mengatakan bahwa Muhammad-lah yang membuat Alquran? Katakan kepada mereka untuk membuat satu surat saja yang semisal Alquran.” (Yunus: 38). Dalam ayat yang lain, Allah SWT juga menggelar tantangan, “Jika kalian tetap meragukan apa yang Kami telah turunkan kepada Muhammad, coba, buatlah satu surat yang semisalnya. Kalau perlu, undanglah orang-orang yang kalian yakini bisa membantu untuk membuatnya, jika kalian yakin bisa membuatnya.” (Al-Baqarah: 23)

Wacana kemukjizatan Alquran
Ketidakmampuan manusia yang sudah dibuktikan dalam rentangan sejarah untuk membuat yang sebanding dengan Alquran, dari dulu, hingga saat ini masih terus diperdebatkan. Sebagian besar kalangan Muslimin meyakini bahwa Alquran memang betul-betul kalam Allah SWT yang tidak akan seorangpun mampu membuatnya.
Setiap yang membuat, pasti akan gagal. Penyebabnya antara lain, gaya bahasa Alquran yang sangat indah. Suatu gaya bahasa yang tak terbetik sebelumnya di kalangan para penyair Arab kala itu. Pandangan semacam ini umum dianut oleh kalangan Salaf.
Namun, ada juga kalangan kaum Muslimin yang memandang bahwa manusia itu sebenarnya mampu untuk membuat seperti Alquran, akan tetapi karena Allah SWT mencabut kemampuan mereka, akhirnya mereka menjadi tidak mampu. Pandangan ini umum dianut oleh Muktazilah.
Adalah Abu Ishak Ibrahim al-Nazzam dan pengikutnya dari kalangan Syiah seperti Al-Murtadha, yang menyatakan hal demikian. Mereka berpendapat bahwa kemukjizatan Alquran adalah dengan cara sarfah (pemalingan). Arti al-Sarfah menurut Al-Nazzam ialah bahwa Allah SWT memalingkan orang-orang Arab untuk menantang Alquran padahal, sebenarnya mereka mampu menghadapinya. Maka pemalingan inilah mukjizatnya.
Dengan substansi yang hampir sama, Al-Murtada mengartikan al-Sarfah sebagai pencabutan yang Allah SWT lakukan terhadap potensi-potensi manusia untuk membuat Alquran. Potensi yang dimaksudkannya adalah ilmu-ilmu yang diperlukan untuk menghadapi Alquran agar mereka tidak mampu untuk membuat yang seperti Alquran. (Lihat Manna Khalil al-Qattan atau Musthafa Shadiq al-Rafii, I’jaz Alquran wa al-Balaghah al-Nabawiyyah)
Namun pandangan seperti ini umumnya ditolak oleh kalangan Salaf, sebab, itu menunjukkan adanya ketidak-fair-an. Bagaimana bisa, menantang sesuatu yang telah lemah? Selain itu, pandangan ini akan menggiring pada keyakinan bahwa Alquran itu sejatinya bukan mukjizat. Karena, Alquran itu sebenarnya biasa saja, tidak ada yang istimewa. Allah-lah yang membuat orang tidak mampu membuatnya. Bukan Alquran yang mukjizat.
Demikian kritikan yang Abu Bakar al-Baqillani lontarkan. Menurutnya, salah satu hal yang membatalkan pendapat sarfah ialah argumen yang menyatakan bahwa kalaulah menandingi Alquran itu mungkin tetapi karena dihalangi oleh sarfah, maka kalam Allah itu tidak mukjzat, melainkan sarfah-nya yang mukjizat. Dengan demikian, kalam itu sendiri tidak mempunyai kelebihan apa pun atas kalam yang lain.
Selain itu, ayat Alquran yang berisikan tantangan sama sekali tidak menunjukkan adanya sarfah. Justru manusia masih memiliki kemampuan, tapi mereka lemah sendiri. Karena, jika kemampuan mereka telah dicabut, maka berkumpulnya jin dan manusia tidak lagi berguna. Mereka laksana perkumpulan orang-orang yang mati. Hal itu tentu saja tidak patut disebut-sebut oleh Alquran.
Selain dua pandangan besar di atas, masih banyak pandangan-pandangan tentang kemukjizatan Alquran, namun hampir sebagian besarnya berkisar pada aspek kebahasaan Alquran, yang menyangkut balaghah, badi’, isinya yang terkait dengan pemberitaan hal gaib, dan isinya yang mengandung pesan-pesan ilmu dan hikmah.
M. Quraish Shihab dalam Mukjizat Alquran Ditinjau Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Gaib-nya (1997) juga mengemukakan hal yang hampir sama. Sebelum membantah adanya pandangan sarfah, beliau terlebih dahulu merumuskan pertanyaan bahwa benarkah semangat mereka dilemahkan Allah SWT? Benarkah semangat mereka pudar? Benarkah tidak ada upaya dari mereka? Ternyata, sejarah Alquran mencatat sebaliknya!
Sejarah menjelaskan bahwa mereka berusaha menghalangi laju ajaran Alquran dengan menggunakan segala cara yang mereka mampu lakukan. Bukankah mereka melawan Muhammad SAW dengan pedang dan tombak? Mengapa mereka harus melakukan hal yang sukar ini, jika memang mereka mampu meruntuhkan dakwah Nabi Muhammad SAW dengan membuat semacam Alquran? Hal ini justru menunjukkan bahwa semangat menantang tetap menggebu, hanya saja semangat membuat semacam Alquran itu tidak terlayani. Mereka sadar akan kemampuan mereka yang terbatas. Mereka terpaksa mencari cara lain.

Pandangan Ibnu Taimiyyah
Ibnu Taimiyyah (661-728 H) lahir dalam konstelasi perdebatan tentang kemukjizatan Alquran yang masih menghangat. Sebagai neo-Salaf di zamannya, beliau memiliki pandangan yang tidak jauh berbeda dengan yang dianut oleh para pendahulunya. Namun agak berbeda dengan pendahulunya yang memandang segi kemukjizatan Alquran hanya pada aspek bahasa.
Ibnu Taimiyyah justru memandang bahwa kemukjizatan Alquran tidak hanya itu. Akan tetapi terletak pada aspek yang beliau sebut dengan ayat, bayyinah dan burhan. Alquran adalah ayat, bayyinah dan burhan bagi umat manusia seluruhnya. Tiga aspek inilah yang Ibnu Taimiyyah sebut dengan inti kemukjizatan Alquran. (Lihat Ibnu Taimiyyah, Tafsir al-Kabir, 1997).
Menurut beliau, sebenarnya tidak ada kata mukjizat dalam Alquran. Yang ada hanya istilah ayat, bayyinah, dan burhan. Ayat-ayat Alquran, misalnya menjelaskan ketiga hal itu, “Wahai orang-orang yang beriman, sungguh telah datang kepada kalian burhan dari Tuhan kalian. Kami juga turunkan cahaya yang jelas untuk kalian.” (An-Nisa: 174).
Para Nabi utusan Allah SWT tidak disebutkan memiliki mukjizat, akan tetapi disebutkan memiliki ayat, burhan, dan bayyinah, “Ketika ayat datang kepada mereka, mereka malah berkata, ‘Kami tidak akan beriman hingga kami diperlihatkan sesuatu yang oleh para nabi utusan Allah zaman dulu perlihatkan’. Katakanlah, Allah itu lebih tahu dengan risalah yang ia buat.” (Al-An’am: 124)
Pandangan beliau tentang kemukjizatan Alquran, lengkap beliau tuangkan dalam bahasan khusus dalam tafsirnya, Tafsir al-Kabir. Di sini, beliau tidak hanya mampu menjadikan sekaligus menempatkan Alquran sebagai wahyu sakral, tapi lebih dari itu, ia mampu membawa kesakralan Alquran dalam wilayah manusia.
Alquran menjadi ayat bagi umat manusia, yang dengannnya, manusia mampu menemukan relasi dan kesadaran bahwa ada pencipta Alquran yang jauh lebih hebat, yaitu Allah SWT. Alquran juga menjadi burhan karena isi yang dikandungnya sarat dengan pesan-pesan petunjuk universal dan abadi, yang selalu menyertai dan mengontrol kehidupan umat manusia, sekaligus menjadi solusi bagi problem-problem manusia dan kemanusiaan. Alquran juga sebagai bayyinah untuk menjelaskan kepada umat manusia hal-hal yang baik untuk dilakukan, dan hal-hal buruk untuk ditinggalkan.
Tiga kunci itu yang Ibnu Taimiyyah yakini sebagai mukjizat Alquran. Dengan demikian, terlihat jelas, Ibnu Taimiyyah cenderung memperlakukan Alquran bukan pada materi dan simbol-simbol Alquran, tapi lebih pada paparan pesan Alquran untuk umat manusia secara keseluruhan. Wallahu a’lam

Duta Masyarakat, 23 Agustus 2005

Wacana Islam: Pergumulan Pemikiran dan Realitas

Berbicara tentang wacana Islam, tidak pernah menemukan titik final yang benar-benar mutlak sempurna. Islam saat ini, bahkan sejak dahulu kala, tidak saja dipandang sebagai suatu agama—sama dengan agama-agama sebelumnya seperti Yahudi, Nasrani, Hindu, dan lainnya yang telah terlebih dahulu eksis dengan sekumpulan doktrin-doktrin yang dianggap sakral—tetapi juga dipandang sebagai agama yang juga telah menyejarah, mengafiliasikan dirinya menjadi bagian integral dengan sejarah panjang peradaban umat manusia di dunia. Dan, oleh karena itu, pergumulan pemikiran tentang Islam dengan realitas budaya lokal di setiap tempat dan waktu sudah barang pasti melahirkan ragam dan corak-corak pemikiran yang khas pula.
Perkembangan ini semakin terlihat jelas warnanya dengan munculnya aneka ragam mazhab pemikiran, seperti Sunni dan Syiah (untuk menyebut sebagian mazhab/aliran pemikiran besar dalam sejarah Islam yang hingga saat sekarang ini masih eksis dengan pengikutnya yang cukup besar), yang memiliki corak penafsiran Islam dengan paradigma yang berbeda-beda. Bahkan, domain tafsir atas Islam itu sendiri pun secara perlahan mulai merambah ranah lain di luarnya.
Berbagai macam penaklukan kaum Muslimin (futuhat al-Islamiyyah) pasca meninggalnya Rasulullah SAW terhadap negeri-negeri di luar Semenanjung Arabia, seperti ke Afrika, Asia, hingga sebagian Eropa Barat, oleh para penguasa Islam telah ikut membantu dan turut serta dalam 'membidani' terjadinya arus percepatan asimilasi pemikiran lebih maju tentang Islam.
Walaupun, ada banyak kalangan juga yang rupanya masih teguh memegang tradisi pemikiran Islam sesuai dengan cetak biru pada masa-masa awal Islam (masa ini biasa disebut sebagai masa salafi). Islam, dalam perkembangannya lebih jauh, semakin memperoleh legitimasi kekuatan ketika ia menjadi sebuah spirit dalam memahami konteks. Perubahan-perubahan yang sangat signifikan dan begitu cepatnya, yang dialami oleh umat Islam menuntut dipahaminya kembali Islam.
Islam, dalam rentang sejarahnya yang cukup panjang, terhitung sejak Nabi Muhammad ‘mendeklarasikannya’ pada seluruh umat manusia di seantero Jazirah Arab, terkhusus di Mekkah dan di Madinah, telah melahirkan aneka ragam corak bentuk dan pola-pola hidup umatnya lebih heterogen.
Hal ini dimungkinkan, karena memang, Islam, sejatinya tidak sekedar doktrin sakral, kaku dan rigid seperti yang banyak dipahami oleh sebagian kaum Muslim, akan tetapi ia adalah juga cara pandang dan pola pikir yang selalu hidup, berjalan beriringan dengan dinamisme kehidupan yang selalu berkembang dan berubah.
Islam menjadi wacana tanpa batas, yang saling mempertemukan antara doktrin ajaran yang dikandungnya, dengan realitas yang dihadapi oleh umatnya di setiap kurun waktu dan tempat secara lebih kontekstual dengan pendekatan lebih humanis.
Hal ini juga didorong oleh kenyataan yang selalu menyertai perjalanan doktrin Islam, yaitu peranan para penafsir dan apa yang ditafsirkan, atau antara pemilik autoritas dengan pemikiran-pemikiran interpretatif orientatif yang dimilikinya.
Zaman awal Islam disebut-sebut sebagai gambaran ideal dengan sosok Nabi Muhammad SAW yang kharismatik dan sangat berwibawa, sehingga menjadi tolok ukur tersendiri oleh sebagian besar kalangan umat Islam. Maka, Islam di manapun dan kapanpun itu mesti sesuai dengan cetak biru yang telah Nabi SAW apresiasikan di masa lalu. Pemikiran model ini misalnya, umumnya banyak dianut oleh kalangan Sunni.
Pada umumnya, mereka berpendapat bahwa Islam adalah satu kesatuan utuh dan abadi. Sehingga, tidak memerlukan dan (kalau perlu) tidak memberikan peluang bagi perubahan-perubahan baru untuk dikontekskan dengan keadaaan saat ini. Para ulama otoritatif memegang kendali penafsiran Islam dengan syarat-syarat tertentu. Hal yang sama juga ditemui dalam sebagian besar tradisi pemikiran Syiah. Mereka menempatkan sosok Imam sebagai sosok otoritatif yang memiliki hak prerogatif untuk menafsirkan Islam.
Pergulatan pemikiran dan realitasnya itulah yang dengan sangat mengagumkan digambaran oleh salah seorang pakar Islam dari Barat yang cukup populer karena kajian-kajian serius dan kritisnya, namun tetap objektif bahkan simpatik, John L. Esposito, seorang Ahli Islam dan juga Guru Besar Agama dan Hubungan Internasional Georgetown, AS, dalam bukunya, Islam: The Straigt Path, yang diterjemahkan dalam versi Indonesia dengan judul Islam Warna Warni, Ragam Ekpsresi Menuju “Jalan Lurus” (al-Shirât al-Mustaqîm), oleh Arif Matuhin, Dosen IAIN Sunan Kali Jaga Yogyakarta, dan diterbitkan oleh Paramadina.
Buku ini memaparkan rentangan sejarah Islam yang dimulai sejak Nabi Muhammad hingga zaman modern Islam. Secara gamblang, Islam di dalam pandangan John L. Esposito dalam buku ini, lebih merupakan kekayaan pemikiran umat Islam ketika mereka mencoba mendekati doktrin-doktrin ajarannya lebih dinamis.
Melalui buku ini, Esposito sekali lagi menegaskan bahwa Islam, yang saat ini masih menjadi umat terbesar kedua atau ketiga di dunia ini, tidaklah homogen, akan tetapi telah berkembang dengan sangat pesat, menguasai banyak kantong-kantong strategis di banyak negara, bahkan di Barat sendiri.
Karena itu, menurutnya, Islam tidaklah representasi mutlak Arab, tempat lahirnya. Akan tetapi Islam telah menjelma menjadi satu gaya hidup dan pola pikir dalam menyikapi realitasnya. Lebih jauh lagi, apresiasi umat Islam pada momen-momen tertentu di tempat-tempat tertentu, tidak merupakan apresiasi umat Islam secara internasional.
Adanya jaringan terorisme yang mengatasnamakan Islam dengan simbol-simbol yang dibawanya, sejatinya bukan cetak biru umat Islam secara umum. Itu hanya sebagian kecil dari kaum militan Islam yang melakukannya. Penghancuran dua gedung kembar World Trade Center (WTC) pada 11 September 2001, yang menewaskan ribuan manusia sebagai tindakan terorisme terbesar yang kemudian secara massif tudingan itu dialamatkan kepada semua kalangan umat Islam, sangatlah tidak tepat. Mereka hanyalah sempalan kecil yang mengatasnamakan Islam dan sama sekali tidak mencitrakan Islam secara keseluruhan.
Buku ini cukup representatif dikaji lebih jauh, dan dapat menjadi bahan kajian untuk melihat perilaku umat Islam dewasa ini. Apa sebetulnya yang dapat dilakukan oleh umat Islam dalam menyikapi berbagai macam ragam tuduhan yang dialamatkan pada mereka.
Sekaligus menjadi bahan renungan internal, dengan melihat perjalanan sejarah umat Islam di masa lalu. Bagaimana beragamnya corak dan pola pikir umat Islam, ketika menanggapi realitasnya. Ini adalah pelajaran paling berharga untuk menerima keragaman sebagai sebuah kekayaan, bukan bencana, apalagi penyebab turunnya musibah Tuhan.
Sejarah Islam dan umat Islam adalah deskripsi dari pergumulan-pergumulan antara realitas dengan interpretasi. Realitasnya yang tunggal di masing-masing lokal, namun interpretasi, lengkap dengan keragaman pola pikir dan horison sang penafsir masing-masing, akan melahirkan penafsiran yang lain dan beragam pula. Keragaman untuk menuju satu jalan dan satu tujuan hidup: kebahagiaan di dunia dan akhirat, itulah keistimewaan umat Islam yang digambarkan oleh John L. Esposito dalam karyanya ini.
Sebagai wacana tanpa batas yang terus-menerus dipahami dengan perspektifnya masing-masing, Islam sesungguhnya semakin ingin meneguhkan sebagai ajaran yang terbuka untuk dibaca oleh siapa pun. Justru dengan keterbukaan yang Islam berikan, akan semakin membuka jengkal demi jengkal jantung ajaran Islam sebagai benar-benar ajaran Tuhan yang hakiki kebenarannya tanpa perlu lagi dilakukan pemaksaan terhadap orang lain untuk mengakui kebenaran Islam.
Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa Islam adalah ajaran Tuhan untuk umat manusia seluruhnya, bahkan bagi alam semesta. Maka, doktrin-doktrin ajaran Islam tidak akan pernah ‘meninggalkan’ ranah manusia dan kemanusiaan. Islam akan selalu melekat dengan sisi-sisi humanis, karena memang untuk manusialah ajaran Islam itu sendiri.
Pergulatan pemikiran Islam dengan realitasnya yang heterogen dengan demikian tidak akan pernah selesai sampai akhir zaman. Selama realitas umat manusia menyuguhkan perubahan-perubahan dan perkembangannya yang signifikan, Islam dan tafsir atasnya akan selalu menjadi bagian tak terpisahkan dari itu semua. Wallahu a’lam.

Duta Masyarakat, Rabu 30 November 2005

Wacana Heterogenitas Teks Alquran

Alquran hingga saat ini diyakini oleh segenap umat Islam sebagai satu-satunya kitab suci yang diwahyukan Tuhan kepada umat manusia melalui perantaraan Nabi-Nya, Muhammad SAW. Karena sifatnya yang suci itulah, Alquran terjamin kemurniannya. Jaminan yang langsung Allah SWT tegaskan dengan pasti. Alquran akan selalu dijaga dan dipelihara hingga akhir zaman oleh Allah SWT sendiri dengan melibatkan peranan manusia untuk menjaganya.
Alquran adalah wahyu Tuhan yang diturunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad SAW untuk merespons keadaan sosial suatu masyarakat tertentu (dalam konteks khusus, masyarakat Arab dan dalam konteks umum, semua umat manusia). Maka logika Alquran berangkat dari konteks yang ada, kemudian wahyu turun untuk menanggapinya, karena itu, dalam ‘Ulûm al-Qur’ân, ada adagium bahwa al-’Ibrah bi ‘Umûm al-Lafdzi la bi Khusûs as-Sabab.
Ibrah atau sesuatu yang dapat diambil dari Alquran itu mesti mengacu kepada keumuman lafadz, bukan kekhususan sebab. Artinya, sebab hanyalah faktor pendukung dalam sebuah pengambilan hukum dari Alquran, keumuman lafadz itulah yang akan mampu menjangkau luasnya ruang dan waktu.
Namun, kalau melihat bentangan sejarah Alquran ketika turun berangsur-angsur kepada Nabi SAW, banyak hal yang muncul dan hingga saat ini masih bisa menjadi bahan kajian yang menarik. Tidak ada yang menyangkal bahwa Alquran adalah kitab yang diturunkan kepada masyarakat Arab, sehingga mesti menggunakan bahasa Arab yang sudah terstruktur dalam bentuk-bentuknya yang heterogen. Alquran dengan demikian mesti menyesuaikan diri dengan struktur bahasa yang sudah ada pada saat itu.
Kajian historis terhadap Alquran menurut Luthfi Asyaukanie, sangat membantu di antaranya, untuk menjelaskan persoalan-persoalan klasik hubungan antara wahyu, kitab suci, dan risalah kenabian, secara umum. Untuk selanjutnya, masalah ini juga dapat membantu kita menjelaskan peran dan fungsi agama-agama di dunia saat ini bagi umat manusia.
Menurutnya, kajian terhadap Alquran dengan melihatnya sebagai sebuah satu-kesatuan kitab suci dan juga sekaligus melihat detail-detail peristiwa kesejarahannya yang manusiawi, seperti kita memahami sejarah alam semesta.
Menurut para astrofisikawan, alam semesta tak bisa dipahami kecuali dengan menggabungkan dua teori utama: (i) yang berkaitan dengan hal-hal maha-besar seperti big bang, gravitasi, dan ekspansi; dan (ii) hal-hal maha-kecil seperti quantum, singularity, dan string. Begitu juga Alquran, ia tak bisa dipahami dengan baik jika kita hanya melihat satu dimensi saja dan mengabaikan dimensi lainnya. Dimensi historis Alquran adalah modal penting guna memahami fungsi dan peran Alquran yang sesungguhnya.
Pada waktu turunnya Alquran, ada banyak sekali suku-suku bangsa Arab yang bertebaran, lengkap dengan ragam dialeknya masing-masing. Jazirah Arab yang letaknya sangat terisolasi, demikian Taufik Adnan Amal menulis dalam Rekonstruksi Sejarah Alquran-nya, baik dari sisi daratan maupun lautan. Kawasan ini sebetulnya berada di pojok kultural yang mematikan.
Sejarah besar dunia telah jauh meninggalkannya. Perselisihan yang membawa peperangan antar suku berlangsung dalam skala besar-besaran di stepa-stepa jazirah tersebut. Dari sudut pandang negara-negara adikuasa, Arabia merupakan kawasan terpencil dan biadab, sekalipun memiliki posisi yang cukup penting sebagai kawasan penyangga dalam ajang perebutan kekuasaan politik di Timur Tengah, yang ketika itu didominasi oleh dua imperium raksasa: Bizantium dan Romawi.
Keragaman suku bangsa di Jazirah Arab inilah yang kemudian memunculkan banyak spekulasi bahwa bacaan-bacaan Alquran itu tidak tunggal. Konsep Sab’ah Ahruf misalnya lebih merupakan gambaran konkret bagaimana keragaman bacaan Alquran itu menemukan argumennya yang kuat. Alquran dengan demikian dipersepsikan sebagai kitab suci yang mesti tunduk pada aturan-aturan bahasa Arab yang beragam dengan bentuk dialeknya masing-masing kala itu.
Ada banyak sekali riwayat-riwayat yang menggambarkan betapa beragamnya bacaan-bacaan Alquran. Semua itu memang menjadi konsekuensi logis agar Alquran dapat dipahami secara lebih mendalam oleh masyarakat Arab. Riwayat-riwayat yang berkaitan dengan keragaman bacaan (qiraah) Alquran misalnya, hadis yang diriwayatkan dari Ibn Abi Mulaykah, dari Umm Salamah, ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah Saw memotong-motong bacaannya pada saat membaca ayat Alhamdu lillâhi rabb al-‘âlâmîn. Kemudian beliau berhenti sejenak sebelum melanjutkannya. Kemudian membaca al-rahmân al-rahîm, beliau kemudian berhenti lagi. Kemudian membaca lagi Maliki (dengan membaca pendek huruf mim) yawm al-dîn.” (HR. al-Tirmidzi dalam Sunan-nya, no. 2936).
Sementara itu, pada riwayat yang lain, ada bacaan lain yang berbeda pula ketika membaca kata malik tersebut, seperti dalam hadis yang diriwayatkan dari al-Zuhri, dari Anas bin Malik, ia berkata, “Sesungguhnya Nabi saw, Abu Bakar, dan Umar, aku juga mengira ‘Usman juga sama, mereka semua membaca mâliki (membaca mim dengan panjang).” (HR. Tirmidzi dalam Sunan-nya, no. 2937).
Ibn ‘Abdurrahim al-Mubarakfuri dalam Tuhfah al-Ahwadzi bi Syarh Jâmi’ al-Tirmidzi-nya mengutip pendapat Imam al-Hafidz Ibn Katsir yang menyatakan bahwa pembacaan malik dan maalik adalah sahih lagi mutawatir. Kedua-duanya ada termasuk ke dalam qiraah sab’ah. Ada pula yang membaca kata tersebut dengan malik atau malki. Ada pula yang membacanya maliik. Imam Nafi’ malah membacanya malikiy.
Semuanya adalah bacaan yang sahih dan benar. Imam Al-Zarkasyi dalam al-Burhan fi ‘Ulum Alquran-nya merajihkan bacaan malik sebagai bacaan Ahl al-Haramain, karena ada ayat Alquran liman al-mulku al-yaum (Qs. Ghafir [40]: 16) dan juga ayat al-haqqu wa lahu al-mulku (Qs. al-An’am [6]: 43). Dalam salah sebuah riwayat, Imam Abu Hanifah membaca kata maliki sebagai fiil (malaka), fail (malik/maalik), dan maf’ul (mulk). Namun ini adalah bacaan yang szadz gharib sekali.
Atau juga beberapa riwayat yang menggambarkan bagaimana Nabi Saw membaca salah satu ayat di Surat Huud, seperti yang diterima dari Ummu Salamah, ia berkata, Sesungguhnya Nabi Saw membaca ayat, innahu ‘amila (bentuk fiil) ghaira (nasab, karena menjadi objek) shalih (Qs. Hud [11]: 46).” (HR. Tirmidzi dalam Sunan-nya no. 2940).
Dengan riwayat lain yang membaca pula kata ‘amila ghaira dengan ‘amalun ghairu, yaitu hadis yang diterima pula dari Ummu Salamah, ia berkata, “Sesungguhnya Nabi Saw pernah membaca ayat ke-46 dalam Surat Hud dengan bacaan annahu ‘amalun (isim) ghairu shalih.” (HR Tirmidzi dalam Sunan-nya, no. 2941).
Imam al-Mubarakfuri dalam kitab yang sama menjelaskan perbedaan bacaan ini dengan mengutip pendapat al-Khazin yang menyatakan bahwa al-Kisai, dan Ya’qub membacanya innahu ‘amila ghaira shalih. Sedangkan yang lainnya membaca seperti yang ada pada Mushaf Utsmani yaitu dengan bacaan amalun ghairu shalih.
Maksud ayat itu dengan demikian adalah bahwa “permintaanmu kepadaku supaya dia (anak Nuh) selamat dari bencana banjir) adalah perbuatan yang kurang baik, karena meminta keselamatan kepada Allah SWT untuk orang-orang kafir setelah ditakdirkan hancur adalah hal yang tidak mungkin terkabul.
Empat riwayat di atas sudah cukup untuk memberikan gambaran konkret bahwa memang heterogenitas bacaan Alquran itu sudah ada dan berlaku, meskipun riwayat-riwayat itu memiliki status yang berbeda-beda, ada yang sahih, hasan, dan dhaif. Lalu apa sesungguhnya maksud dari adanya perbedaan bacaan itu sendiri dan bagaimanakah fenomena itu dijelaskan secara logis?
Keragaman qiraah amat terkait erat dengan doktrin Sab’ah Ahruf. Meskipun konsep ini masih menjadi bahan perdebatan yang amat panjang, namun keterkaitannya dengan perbedaan itu cukup beralasan. Pertama, riwayat-riwayat yang berbicara tentang sab’ah ahruf lebih merupakan upaya Nabi SAW untuk memudahkan bacaan orang-orang Arab yang berbeda-beda dialeknya.
Kedua, Alquran tidak diturunkan dalam komunitas masyarakat yang tidak memiliki bahasa. Justru bahasa yang sudah ada kala itulah yang menjadikan Alquran mesti “tunduk” pada struktur-struktur kebahasaan yang sudah ada kala itu. Ketiga, bahwa permintaan Nabi SAW agar Allah SWT menurunkan Alquran hingga tujuh huruf merupakan bukti bahwa umat Nabi SAW adalah beragam yang tidak mungkin diseragamkan dalam satu bacaan.
Ada sementara pihak yang menduga bahwa penyeragaman bacaan Alquran yang dilakukan oleh Khalifah Utsman bin Affan lebih merupakan alasan politis untuk menjaga stabilitas pemerintahan, karena disinyalir ada beberapa kaum di Jazirah Arab yang membangga-banggakan bacaan Alqurannya, dan menganggap bahwa bacaannyalah yang paling benar sesuai dengan apa yang Nabi SAW bacakan.
Hal ini kemudian menyulut perselisihan dan pertentangan berkepanjangan sehingga khalifah segera mengambil langkah-langkah strategis untuk mengantisipasi perpecahan yang akan timbul itu. Namun, kalangan Jumhur Ulama menolak dugaan semacam ini.
Dengan adanya heterogenitas bacaan itu, apakah masing-masing pihak akan memiliki pemahaman yang berbeda-beda pula? Tentu saja hal itu mungkin terjadi, namun itu hanya sebagian kecil saja terjadi.
Umumnya, ragam bacaan yang berbeda-beda itu hanya sebatas pada beberapa kata atau kalimat yang memiliki maksud yang sama. Atau ia hanyalah sebatas sinonim. Sama halnya dengan bahasa keseharian kita yang kebanyakan berbeda, namun merujuk pada satu maksud yang sama.
Heterogenitas bacaan (qiraah) Alquran dengan demikian adalah satu kenyataan yang menjadi ciri khas Alquran sendiri dalam merespon konteksnya kala itu. Dengan demikian, wajah Alquran selalu berupaya agar para pembacanya mudah dalam membacanya.
Selain itu, keragaman bacaan adalah gambaran konkret yang memberikan peluang untuk memahami Alquran lebih inklusif. Karena, sebagai wahyu Tuhan, Alquran mesti turun membumi bersama budaya yang ada pada saat itu, kini, dan akan datang. Wallahu a’lam

Duta Masyarakat, Jumat 22 Juli 2005

Vulgaritas Politik Memburu Kekuasaan

Jika hakikat politik tiada lain adalah merebut dan mendapatkan kekuasaan, maka pengajuan diri untuk menjadi menteri secara langsung (melamar sendiri) maupun diajukan, menjelang reshuffle kali ini, mudah dipahami. Alasan bahwa yang bersangkutan mampu semakin memperjelas betapa “nafsu” berpolitik semacam itu begitu kuat. Tanpa perlu mendebat, semua sepakat bahwa reshuffle sepenuhnya adalah prerogatif presiden. Artinya, tanpa melamar pun, jika presiden melihat seseorang itu dinilai kapabel dan bagus, potensi menjadi menteri terbuka lebar.

Vulgaritas politik
Melamar menteri tiada lain sama dengan meminta jabatan menteri. Sahkah hal ini? Sepanjang yang kita tahu, di dalam konsitusi kita tidak ada yang melarang atau mencegah setiap orang untuk melamar suatu jabatan. Sepanjang, tentunya, kemampuan yang dimiliki oleh pelamar sesuai dengan jabatan yang diinginkan. Artinya, melamar menteri, baik secara tersirat maupun tersurat, sah-sah saja. Tetapi, bagaimana jika lamaran itu dilakukan secara terbuka sambil secara pede mengatakan sebagai orang yang mampu?
Ada sebuah kisah menarik pada zaman Nabi Muhammad. Suatu saat, Abdurrahman bin Samurah meminta wasiat kepada beliau perihal jabatan. Beliau mengatakan, “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah sekali-kali kamu meminta jabatan atau kekuasaan. Karena jika engkau memperolehnya karena sebab meminta, maka engkau akan menanggung beban yang begitu berat. Tapi jika jabatan atau kekuasaan itu engkau peroleh bukan karena engkau memintanya, maka engkau akan akan dibantu oleh Tuhan dalam melaksanakannya.”
Dalam maknanya yang lebih luas, wasiat itu bisa dibaca dalam konteks etika berpolitik yang santun. Yakni, meski seseorang ingin mendapatkan jabatan, hendaknya tidak secara vulgar mengatakan keinginannya itu. Pada titik ini, istilah malu-malu tetapi mau justru lebih baik daripada secara terang-terangan memintanya. Sayangnya, etika itu kerap kali terpinggirkan karena “nafsu” berpolitik yang, meminjam istilah Anthony Downs, lebih menonjolkan keinginan untuk dipilih atau untuk menang dan berkuasa.
Soal kemampuan memang bisa diukur, sehingga dengan ukuran-ukuran itu seseorang merasa mampu mengemban suatu jabatan. Masalahnya, dalam konteks lamaran menteri, selain kemampuan adalah pertimbangan bahwa publik melihat betapa yang bersangkutan begitu pede. Saking pedenya, sampai-sampai meyakinkan presiden bahwa ia mampu. Sikap pede ini, pada satu sisi berpotensi tercitrakan oleh publik sebagai “bernafsu memburu” kekuasaan, meski pada sisi yang lain menggambarkan semangat untuk memberantas budaya “malu-malu tetapi mau” atau budaya “tawar-menawar di bawah meja.”
Apa pun alasannya, yang pasti publik melihat bahwa anggota legislatif berlomba-lomba melamar menjadi eksekutif. Padahal, tugas di lembaga legislatif belum tuntas dan memuaskan publik. Publik juga melihat bahwa legislatif, sebagai satu-satunya harapan rakyat untuk mewakili aspirasi ke pemerintah justru menjadikannya sebagai batu loncatan meraih kekuasaan. Secara radikal bisa dikatakan bahwa tujuan wakil rakyat sejatinya adalah mencari-cari peluang untuk mendapatkan kekuasaan, meski itu harus “meninggalkan” rakyat. Pendek kata, melamar menteri maupun jabatan-jabatan lain, menyemburatkan suatu ironi vulgaritas politik.
Masalahnya bukan terletak pada boleh atau tidak, karena memang sah-sah saja, tetapi politik yang jamak diketahui memang bertujuan untuk mendapatkan kekuasaan, tidak perlu secara vulgar digambarkan seperti itu. Godaan kekuasaan, memang masih terlalu kuat, pada saat yang sama elit-elit politis terlalu rapuh untuk menempatkan dirinya sebagai para pemain politik yang mendarmabaktikan segala kemampuan untuk kepentingan rakyat, bukan kepentingan kekuasaan.

Orientasi
Paradigma berpolitik vulgar dalam bahasa dan tindakan yang menggambarkan politik dalam perspektif “merebut kekuasaan” menyiratkan sebentuk penyakit laten bahwa segala perkataan maupun tindakan adalah berorientasi kekuasan. Ketika sudah memasuki gelanggang politik praktis hanya ada satu cobaan: kekuasaan. Apalagi, Indonesia yang betul-betul demokratis ini masih terlalu muda. Demokrasi masih baru dalam tahap terlaksananya pemilu-pemilu yang melibatkan partisipasi rakyat secara terbuka, di samping keberadaan partai-partai politik, dan adanya jaminan kebebasan berpendapat sebagai modal dasar menuju demokrasi sejati.
Pandangan Giuseppe Di Palma, seorang ilmuwan politik “transisi ke demokrasi”, yang menyebutkan bahwa demokrasi tiada lain adalah a matter of political crafting (persoalan menciptakan kiat-kiat politik), hendaknya tidak diterjemahkan sebagai sebatas memburu kekuasaan di tengah besar dan terbukanya peluang untuk itu dengan kiat-kiat semacam lamaran menteri atau tawar-menawar “bawah meja.” Keberhasilan suatu negara, menurut Di Palma, dalam membangun kehidupan sosial-okonomi dan politik yang demokratis akan sangat ditentukan oleh kesediaan elit nasional untuk menempuh kiat-kiat politik tertentu, yang tentunya berorientasi tidak hanya untuk memburu kekuasaan.

Media Indonesia, Rabu 9 Mei 2007

Tiga Sebab Kemandekan Fikih

Hingga kini, sebagian besar umat Islam masih meyakini bahwa fikih yang dihasilkan ulama-ulama masa keemasan Islam bisa menyelesaikan berbagai persoalan kekinian. Namun, fikih sebagai produk intelektual pada masa dan dalam konteks tertentu yang bersifat dinamis kini berubah menjadi stagnan serta kaku. Sebenarnya hakikat fikih bukan mengajarkan kekakuan, tapi pelaksana fikih itu yang menganggapnya demikian.
Menurut saya, ada tiga penyebab mengerasnya kecenderungan mempertahankan produk fikih klasik tersebut sampai kini. Pertama, fikih diidentikkan dengan syariat. Padahal, dari sisi kebahasaan saja, fikih yang berarti “paham” sangat berbeda dari syariat yang berarti “jalan.” Perbedaan itu berlanjut pada dataran istilah. Abdul Wahhab Khallaf dalam Ilmu Usul Fikih mendefinisikan fikih sebagai pengetahuan tentang hukum-hukum syariat yang praktis yang diambilkan dari dalil-dalilnya secara rinci.
Dalam hal ini, fikih dimaknai sebatas pengetahuan mengenai syariat dan keduanya tidak identik. Terdapat pembedaan yang tajam antara pengetahuan soal syariat dan hukum syariat itu. Fikih akhirnya memiliki ranah yang berbeda dari ranah syariat. Syariat sejatinya adalah ajaran-ajaran ilahi yang universal dan ditujukan untuk kemaslahatan seluruh manusia. Syariat dalam pengertian seperti itu tidak bersifat diskriminatif pada kelompok atau inidividu tertentu.
Sebagai sebuah “jalan,” syariat ibarat rambu-rambu yang mengontrol pengguna jalan agar selamat sampai tujuan. Berbeda dari fikih sebagai pemahaman mengenai “jalan” itu. Jalannya satu. Tapi, karena setiap orang tidak tahu persis jalan sebenarnya, mereka lalu mendeteksi jalan tersebut dengan sudut pandang masing-masing, sehingga muncullah keragaman jalan. Karena itu, dalam ruang lingkup pemahaman (fikih), tidak ada yang memiliki autoritas tertinggi, sehingga bisa menyalahkan pemahaman lain dan mengklaim pandangannya sendiri adalah yang paling benar.
Fikih selalu memberikan ruang yang luas bagi pemaknaan lain mengenai sebuah “jalan” tersebut. Karena itu, dalam sejarah pertumbuhan fikih, perbedaan pendapat antara ulama yang satu dan lainnya bukan merupakan hal baru. Perbedaan antara Imam Syafii sebagai guru dan Imam Ahmad bin Hanbal sebagai murid tidak berdampak apa-apa bagi hubungan keduanya. Tidak ada yang mengklaim kebenaran berada di pihak mereka saja.
Persoalan kedua menyangkut asumsi tentang sakralitas fikih. Ketika fikih diidentikkan dengan syariat, konsekuensinya, ia akan dianggap sakral. Umat memandang fikih sebagai barang yang sakral karena diambil dari dalil-dalil Alquran dan hadis. Dengan pandangan ini, mengubah fikih dipahami sebagai tindakan mengubah syariat yang sakral.
Pandangan tersebut diperkuat hadis yang dipahami secara keliru, “Barangsiapa yang membuat hal-hal yang baru dalam masalah agama, maka dia tertolak.” Atau, hadis yang menyatakan, “Sebaik-baik petunjuk adalah Kitab Allah dan sunah Rasul-Nya. Dan, seburuk-buruknya adalah bidah (inovasi), karena setiap bidah adalah sesat.”
Tidak ada yang keliru pada kedua sabda Rasulullah itu. Tapi, pemahaman yang kurang tepat merintangi kedinamisan serta keterbukaan fikih. Betul bahwa syariat pada hakikatnya adalah sakral dan absolut. Karena itu, mengubah syariat adalah terlarang. Karena syariat bersifat absolut dan mutlak, ia adalah universal, bisa berlaku di segala tempat dan keadaan. Berbeda dari fikih, ia terbatasi konteks penafsir dan berlaku dalam kurun serta tempat tertentu.
Persoalan ketiga adalah tentang hegemoni kalangan konservatif yang sudah lama bercokol, sehingga dianggap memiliki autoritas tertinggi dalam menentukan hukum-hukum agama. Misalnya, dalam konteks Indonesia, kalangan yang dianggap memiliki autoritas itu telah menjadi institusi nasional yang mendapatkan legalitas negara.
Setiap saat mereka siap dimintai fatwa atau memfatwakan hukum yang bisa jadi berlaku pada skala nasional. Pendek kata, fikih telah menjadi institusi di bawah kendali pemerintah yang setiap saat potensial diundang-undangkan. Karena itu, tidak mengherankan, menguatnya suara-suara yang menuntut ditegakkannya syariat Islam (juga) ditopang keberadaan institusi legal tersebut.
Mereka yang menuntut syariat menjadi undang-undang negara biasanya berangkat dari asumsi bahwa syariat adalah sakral -karena berasal dari Tuhan-, sehingga harus diundangkan untuk mengikat seluruh umat. Namun, itu sungguh keliru. Sebab, mereka sebetulnya menyuarakan fikih yang dianggapnya sebagai syariat.
Misalnya, mengenai hukum potong tangan, mereka menganggapnya sebagai syariat. Padahal, itu hanyalah sebuah produk fikih. Syariat atau hal yang menjadi substansi ajaran potong tangan, yaitu larangan merugikan orang lain secara sengaja, sama sekali tidak disinggung. Ia hanya disinggung dalam dataran hikmah hukum.
Akibatnya, paham sakralitas dan autoritas hampir selalu mewarnai kemandekan fikih dalam menyikapi realitas kekinian. Dari situlah muncul “kelas khusus” yang seakan mempunyai hak eksklusif dalam menafsirkan ajaran agama. Itulah persoalan mendasar fikih.
Padahal, konteks hukum yang selalu berubah dan perkembangan zaman yang menuntut partisipasi fikih merupakan fenomena yang tak terbantahkan. Pergantian dan perubahan dari satu hukum ke hukum lain menjadi hal yang mesti terjadi. Dalam ilmu fikih dikenal istilah nasikh dan mansukh, yaitu dalil hukum yang meralat dan diralat.
Dalam penafsiran teks agama, doktrin tersebut sungguh sangat urgen karena memungkinkan kita menjawab persoalan baru yang datang silih berganti. Evolusi pelarangan khamar dari status bisa ditoleransi hingga dilarang total merupakan indikasi bahwa hukum bersifat dinamis.
Hukum muncul seiring alasan dan argumentasi logis yang dikenakan pada objeknya. Dalam bahasa fikih, hal tersebut disebut illat, yaitu alasan mendasar ada-tiadanya hukum. Karena itu, hukum bukan merupakan sesuatu yang sakral, tapi bisa saja berubah sesuai illat-illat-nya.
Bertolak dari situ, sudah saatnya fikih ditempatkan dalam tataran wacana agama. Berkembang dan mandeknya produk fikih akan sangat bergantung pada pemaknaan tiap individu mengenai apa itu fikih. Sejatinya, fikih memang harus selalu memberikan berbagai alternatif pandangan demi tujuan kemanusiaan yang lebih relevan serta bermaslahat.
Sementara itu, asumsi tentang sakralisasi fikih dan terkungkungnya autoritas penafsiran syariat pada individu tertentu tidak akan mampu menjawab persoalan umat manusia yang kian kompleks. Wallâh a‘lam.

Indo Pos, Minggu 7 Maret 2004 dan Islamlib.com, Senin 8 Maret 2004

Terorisme, Agama, dan Problem Pemahaman

Sabtu malam (1/10), Bali diguncang bom berkekuatan lumayan besar. Dugaan sementara pihak berwajib menyatakan bahwa bom yang meledak di Jimbaran dan Kuta Square dan menelan 25 orang lebih korban tewas serta 200-an lebih korban luka-luka, dilakukan dengan cara bunuh diri. Jumlahnya diperkirakan ada 3 orang.
Simpatipun terus mengalir dari berbagai pihak, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid, menyebut pelaku pengeboman yang mengorbankan orang-orang tak berdosa itu sebagai ateis (tidak percaya adanya Tuhan). Ia menolak jika pelaku dikaitkan dengan umat Islam. Sebab, katanya, Islam tidak mengajarkan pembunuhan dengan cara keji.
Di tempat lain, mantan Ketua PP Muhammadiyah, Ahmad Syafii Maarif, menyatakan bahwa pengeboman tersebut merupakan perbuatan maha biadab. Hal itu tidak mungkin dilakukan oleh orang-orang yang beragama. Sebab, lanjutnya, agama melarang tindakan tidak berperikemanusiaan tersebut.
Sementara itu, dari luar negeri, beberapa kepala pemerintahan menyatakan hal senada. Organisasi Konferensi Islam (OKI) mengutuk ledakan itu dan menyebut s sebagai tindakan teroris yang berlawanan dan menodai nilai-nilai dan ajaran Islam. Di tempat lain, Sekretaris Jendral (Sekjen) PBB, Kofi Annan, menyatakan bahwa serangan itu merupakan tindakan pengecut.
Apa pun itu, yang pasti, peristiwa ini merupakan peristiwa yang ke sekian kalinya terjadi dan menggambarkan betapa terorisme telah menjadi momok yang sangat fenomenal, tidak hanya di dalam negeri ini tapi juga di segala penjuru muka bumi. Terorisme bisa dilakukan oleh siapa pun, di manapun, dan kapanpun. Dengan berbagai macam dalih dan alasan, yang tentunya, diyakini oleh pelakunya sebagai tindakan 'mulia' dan akan dibalas dengan ‘kemuliaan’ pula nantinya.
Dari sini muncul tudingan, meskipun masih dalam tahap dugaan, bahwa pelaku pengeboman di Bali itu, sama dengan di tempat-tempat lain, diilhami oleh motif keagamaan. Dengan kata lain, agama telah menginspirasi seseorang untuk melakukan tindakan demikian. Tetapi, benarkah agama sejatinya memberikan 'peluang' bagi para pemeluknya untuk bertindak sedemikian kejamnya? Hal yang disangkal justru oleh tokoh-tokoh agamawan?

Islam dan tudingan
Peristiwa paling fenomenal menghebohkan dunia yang mengawali milenium baru ini adalah tragedi mengerikan yang menewaskan ribuan orang tak berdosa dalam serangan sekelompok orang yang kemudian diklaim sebagai para teroris ke menara gedung kembar World Trade Center (WTC) dan Pentagon di Amerika Serikat, 11 September 2001 lalu.
Peristiwa ini selain mengawali abad baru sejarah umat manusia dalam kepiluan, juga telah memberikan dampak yang luar biasa bagi persoalan agama, terutama Islam, pasca peristiwa itu. Hal ini dimungkinkan oleh sebab pengakuan sebagian kelompok yang mengatasnamakan Islam (Osama bin Laden dan para pengikutnya) yang terang-terangan mengaku bahwa mereka terlibat dalam peristiwa itu.
Beberapa hari setelah peristiwa itu, tepatnya 20 September, di hadapan Kongres dan masyarakat Amerika, Presiden AS, George W. Bush menyatakan dengan sangat tegas, “Para teroris mempraktikkan suatu bentuk eksteremisme Islam yang telah ditolak oleh sarjana-sarjana Muslim dan mayoritas ulama Muslim—suatu gerakan pinggiran yang menyelewengkan ajaran kedamaian.” (Robert Spencer, Islam Unveiled: Disturbing Questions about The World’s Fastest-Growing Faith, 2002).
Spencer mengutip beberapa kalangan agamawan Muslim terkemuka, seperti Syeikh Saleh al-Lehaydan, ketua Mahkamah Islam di Arab Saudi, “Membunuh seseorang yang tidak melakukan perbuatan kriminal tergolong dosa besar dan kejahatan yang buruk sekali. Apa yang terjadi di Amerika adalah…tidak diragukan lagi perbuatan kriminal yang jelas tidak direstui Islam dan tak seorangpun menyambutnya.”
Syeikh Salih al-Suhaymi dalam salah satu fatwanya juga menegaskan, “Kaum Muslimin dilarang membunuh perempuan, anak-anak, orang tua, walaupun pada kenyataannya orang-orang yang terbunuh itu diasosiasikan terlibat dalam peperangan melawan kaum Muslim.”
Pernyataan beberapa pakar Muslim itu seakan-akan menyiratkan adanya problem serius yang sedang dihadapi oleh Islam. Selain Islam yang sudah kadung dicap sebagai pelaku utama terorisme (ekstremisme Islam), lebih jauh lagi, Islam telah tercoreng sebagai agama yang anti damai, dan suka dengan segala macam tindak terorisme.
Atau, setidaknya, pandangan-pandangan sebagian tokoh Muslim yang mengatasnamakan Islam sebagai agama damai dengan kalangan yang justru terlihat sumringah dengan apa yang menimpa WTC dan Pentagon.
Islam hingga saat ini, memang sedang menjadi bahan ‘gunjingan’ sekaligus menimbulkan rasa penasaran bagi sebagian kalangan. Pasca 11 September, misalnya, setidaknya telah membentuk tiga kelompok masyarakat besar yang menanggapi Islam dalam versi yang berbeda.
Pertama, mereka yang merasa sinis dengan Islam, kemudian selalu mengasosiasikan Islam sebagai agama yang mengajarkan kekerasan kepada umatnya. Islam diidentikkan dengan teroris. Kedua, mereka yang mencoba moderat dan mendudukkan persoalan pada tempatnya, lalu melihat secara jernih akar-akar persoalan sesungguhnya yang sedang terjadi.
Kalangan masyarakat ini secara simultan melakukan pelbagai pengkajian dan penelitian tentang Islam langsung ke jantung atau sumber otentik yang umat Islam pegangi (Alquran dan hadis). Ketiga, masyarakat yang merespon secara emosional, namun tersirat sikap apologetisme. Mereka menyatakan bahwa Islam adalah agama penebar kedamaian di manapun dan kapanpun. Namun, mereka tidak mampu menjelaskan secara konkret ketidakterkaitan Islam dengan terorisme tersebut.

Memahami kembali Islam
Hemat penulis, selain masalah ekstern yang dihadapi umat Islam, ada pula masalah intern di dalam tubuh umat Islam yang mesti dipahami, yaitu soal penafsiran atau pemahaman terhadap ajarannya. Pemahaman yang terbuka (inklusif) terhadap Islam akan makin membuka jantung Islam sebagai ajaran yang tidak saja toleran, namun selalu mengangkat persoalan manusia dan kemanusiaan setinggi-tingginya. Memahami Islam dengan terbuka, berarti akan membuka terhadap proses dialogis yang lebih hangat.
Islam sesungguhnya adalah ajaran damai yang tidak memberikan restu terhadap tindak kekerasan. Islam sama dengan agama-agama lain yang mengangkat norma kasih sayang sebagai jantungnya. Seraya mengubur dalam-dalam segala macam kekerasan yang ditimbulkan oleh bias pemahaman yang keliru.
Sebaliknya, Islam yang dipahami secara tertutup (eksklusif) hanya akan melahirkan kekerasan atas nama tuhan. Islam dipandang sebagai ajaran satu-satunya yang paling benar. Akhirnya, Islam menjadi superior. Superioritas ini lalu melahirkan satu pola pemahaman bahwa hanya ada satu kebenaran yang mesti diikuti yaitu Islam.
Akan lebih parah lagi, jika ternyata, Islam ditafsirkan secara literal, tekstual, apa adanya, tanpa mau melihat konteksnya. Pemahaman seperti ini tidak saja memberikan nilai negatif bagi Islam, tapi lebih jauh akan dapat menyeret umat pada satu titik di mana Islam menjadi agama terpinggirkan dan selalu menjadi sasaran tembak isu-isu terorisme yang berkembang. Satu pemahaman yang mesti dihindari oleh umat Islam.
Peristiwa bom di Bali sudah semestinya semakin menyadarkan kita semua untuk kembali mempola satu bentuk pemahaman yang benar terhadap ajaran agama masing-masing. Tepat, seperti yang diungkap oleh beberapa kalangan, agama tidak mengajarkan tindakan terorisme dalam bentuk apa pun. Karena, itu justru semakin berdampak buruk bagi umat manusia.

Duta Masyarakat, Jumat 14 Oktober 2005

Teror Fundamentalis dan Peran Negara

Demokrasi senantiasa menjamin kebebasan mengekspresikan paham keagamaan yang diyakini oleh setiap individu. Maka, menjadi pertanyaan besar ketika di negeri yang demokratis seperti Indonesia, kebebasan berekspresi dan berkeyakinan agama setiap individu kerap kali mendapat kecaman, tudingan, bahkan klaim-klaim “sesat-menyesatkan.” Menjadi pertanyaan pula ketika klaim-klaim itu dibiarkan leluasa oleh Negara sehingga berujung pada terjadinya tindak anarkis oleh para pengklaim itu.

Fundamentalis meneror

Kenyataan di atas tentunya begitu memprihatinkan. Di saat bangsa kita berusaha bangkit menjadi bangsa yang diperhitungkan di dunia internasional, kondisi dalam negeri masih carut-marut. Hanya karena berbeda paham dan keyakinan, sesama warga bertikai dan saling membunuh. Dan, negara, yang salah satu fungsinya adalah menjadi payung buat semua warga yang berbeda paham dan keyakinan, ternyata kerap kali dengan mudahnya terkooptasi oleh kelompok-kelompok berpaham keagamaan tertentu yang mengatasnamakan mayoritas namun sesungguhnya hanya menggeneralisasi.
Tidak hanya terkooptasi, negara kerap kali bahkan dijadikan alat oleh kelompok-kelompok berpaham keagamaan tertentu untuk mengeksekusi warga bangsa yang berbeda paham dan keyakinan. Inilah bukti kuat bahwa ketika negara telah berselingkuh dengan suatu paham dan keyakinan keagamaan intoleran suatu kelompok, petaka dan instabilitaslah yang bakal terjadi.
Dalam negara demokrasi seperti Indonesia, agama memang menjadi begitu penting. Karena itu, agama sering kali dijadikan alat politik oleh kelompok tertentu untuk menunjukkan eksistensinya dengan menerapkan nilai yang mereka anut dalam kehidupan publik. Kelompok berpaham keagamaan fundamentalis sering kali menggunakan kekerasan untuk memaksakan keinginan mereka. Kondisi tersebut mengganggu negara dalam menegakkan dan memenuhi hak asasi warga negaranya.
Keinginan kelompok berpaham keagamaan fundamentalis untuk menyatukan persoalan politik dan privat dalam satu ide primordial tertentu merupakan ancaman serius bagi penegakan demokrasi dan pemenuhan hak-hak asasi manusia. Munculnya perda-perda dengan acuan nilai-nilai agama tertentu merupakan bagian dari paham keagamaan fundamentalisme. Penunggalan gaya hidup melalui berbagai kebijakan publik terbukti sering kali merugikan kelompok masyarakat tertentu. Penyeragaman nilai moral masyarakat bertentangan dengan kondisi ril masyarakat yang beragam dan plural.
Sayangnya, kelompok berpaham keagamaan fundamentalis itu menjadikan kekerasan demi kekerasan, pemaksaan demi pemaksaan, dan teror demi teror, sebagai senjata yang menyeramkan. Parahnya, untuk menjustifikasi kalau hal itu sebagai sesuatu yang suci dan direstui Tuhan, bahasa dan simbol-simbol keagamaan diteriakkan memekakkan telinga sehingga menambah horor yang menakutkan siapa yang mendengarkan. Tidak hanya itu,dari beberapa sweeping yang dilakukan oleh aparat kepolisian, tidak jarang ditemukan berbagai macam senjata, baik tumpul maupun tajam.

Peran Negara

Dalam situasi yang carut-marut semacam itu, peran negara menjadi amat penting. Tentu, negara yang lepas/netral dari kooptasi kepentingan kelompok berpaham keagamaan tertentu. Dalam posisi ini, negara menjadi pemberi jaminan yang sama kepada semua pihak untuk bebas menjalankan apa yang diyakini dan dipahami, selama itu tidak melanggar hukum negara yang telah disepakati bersama.
Tetapi, perlu dicatat, bahwa peran negara bukan berarti negara campur tangan ke dalam wilayah agama. Negara hanya mengatur lalu-lintas hubungan kelompok-kelompok berpaham keagamaan yang variatif dan toleran dalam semangat demokrasi (state regulate social relationship). Jangan sampai negara, dengan alasan apa pun, mencederai demokrasi yang tengah dibangun bersama ini dengan, misalnya, ikut andil secara langsung maupun tidak dalam bentuk intervensi yang tidak kondusif.
Jika tidak bisa, negara berarti telah gagal (the failure state) dalam mengayomi warganya dari berbagai intimidasi dan teror yang dilakukan oleh sesama warganya sendiri. Tidak terbayangkan jika kemudian negara tidak dipercayai oleh warganya sendiri.
Kelompok berpaham keagamaan fundamentalis, seperti dikatakan oleh Oliver Roy, selalu memiliki imajinasi politik akan ketidakterpisahan antara wilayah agama, hukum, ekonomi, dan politik. Sehingga, mereka, dalam hal-hal itu selalu berupaya keras untuk memformalkan agama. Selama hal itu dilakukan secara demokratis dan tanpa kekerasan, intimidasi, maupun teror, maka hal itu diakui sebagai warna-warna indah di alam demokrasi.
Negara bisa menjadi penting perannya, salah satunya, untuk menindak kelompok-kelompok berpaham keagamaan,apa pun itu, yang melakukan tindakan anarkis, intimidasi, dan teror, sehingga membuat kelompok lain ketakutan. Sudah saatnya, persoalan-persoalan yang kurang begitu signifikan dan relevan dengan persoalan bangsa dan negara yang lebih luas menjadi agenda utama.

Jaringan Islam Liberal (JIL), Senin 09 Juli 2007

Tentara (hanya) Memilih, “Why Not?”

Wacana tentang anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjadi pemilih pada pemilu-pemilu mendatang muncul ke permukaan. Adalah Jenderal Endriartono Sutarto dan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono yang mengemukakan wacana itu menjadi diskursus cukup hangat. Hanya, keduanya berbeda pandangan tentang waktu yang tepat bagi anggota tentara untuk ikut pemilu.
Endriartono Sutarto mengatakan bahwa hak anggota tentara untuk memilih dan dipilih dapat ditetapkan pada pemilu 2009. Sementara itu, Juwono Sudarsono mengatakan bahwa pemilu 2009 belum saatnya. Ia memperkirakan, hal itu dapat dilakukan justru pada pemilu berikutnya (2014). Butuh kesiapan semua pihak untuk menerima wacana ini.
Apa pun pandangan yang dilontarkan terkait dengan hal ini, wacana tentang anggota tentara mengikuti pemilu tentu cukup menarik untuk dicermati bersama. Pertama, tentara adalah salah satu elemen penting pertahanan negara. Dan, kedua, kekuatan tentara di parlemen sudah meredup, bahkan menghilang, “dikalahkan” oleh kekuatan sipil yang sangat dominan.

Alasan
Wacana ini berkembang tentunya bukan tanpa alasan. Setidaknya, di pihak TNI sendiri. Mereka beralasan bahwa demokrasi utuh yang sedang terus-menerus dibangun di negeri ini, seharusnya, tidak membeda-bedakan elemen masyarakat. Anggota TNI, secara non institusional, adalah bagian dari warga bangsa yang juga memiliki hak pilih dalam pemilu, tanpa melupakan kewajiban mereka sebagai garda depan pertahanan negara dan bangsa.
Selain itu, dominasi kekuatan sipil di parlemen tentu saja membuat “kekuatan” politik TNI menjadi tidak diperhitungkan. Kalaupun, misalnya, TNI melakukan manuver politik dengan mulai masuk ke gelanggang politik praktis, maka sebetulnya itu akan kandas dengan sendirinya. TNI tidak lagi memiliki dwifungsi seperti pada masa Orde Baru (Orba). Maka, memilih, menurut TNI, lebih merupakan harapan anggota tentara sebagai bagian dari warga bangsa yang bebas menentukan pilihannnya.
TNI juga, secara otomatis, sudah tahu diri dan tidak akan gegabah untuk masuk ke wilayah politik praktis. TNI saat ini telah “ditempatkan” oleh kekuatan sipil, sebagai perwujudan agenda reformasi, pada posisi yang berada di luar gelanggang politik. TNI telah kembali pada “khittahnya” sebagai abdi negara guna menjaga stabilitas keamanan wilayah nusantara. Posisi yang tepat untuk TNI sesuai hakikat sejati tugas funsionalnya.
Masyarakat, tidak perlu khawatir terhadap keikutsertaan TNI pada setiap pemilu. Karena, anggota TNI hanya partisipan bukan dalam kapasitas kelembagaan. Rasanya, tidak mungkin pula mendirikan partai politik berbasis tentara (aktif). Anggota tentara akan memberikan hak suaranya pada partai-partai sipil yang telah ada. Kabar bagusnya, mereka dijamin hanya memilih, tidak akan mengikuti kampanye-kampanye partai.

Kekhawatiran
Apa pun alasan yang dikemukakan oleh TNI, sejumlah kekhawatiran masih tetap menyeruak ke permukaan. Masyarakat, mengutip pernyataan Yuddy Crisnandi dari Fraksi Golongan Karya, masih traumatik ketika lebih dari 30 tahun TNI dikooptasi menjadi alat politik penguasa yang menjadikannya tidak profesional (Kompas, 16/2).
Dwifungsi TNI (dulu ABRI) adalah gambaran nyata betapa TNI saat itu “berkesempatan” menikmati jatah politik sebagai imbalan atas jasanya memenangkan partai politik tertentu. Seiring gelombang reformasi yang menggelora di awal 1998-an, dwifungsi TNI dipersoalkan. Amanat reformasi menuntut agar dwifungsi itu dihilangkan guna mengembalikan tentara pada posnya yang hakiki.
Kekhawatiran lain, dengan hak memilih dan dipilih yang diberikan kepada anggota TNI, justru akan membuat TNI terpecah belah dalam blok-blok politik tertentu. Hal ini, tentu saja, cukup berbahaya dan harus dihindari. Iklim demokrasi dalam berpolitik selalu menyuguhkan persaingan yang menentukan. Jika anggota tentara, kemudian dilibatkan dalam iklim semacam itu, tentu cukup riskan.
Kekhawatiran yang juga muncul adalah adanya motif “terselubung” anggota tentara, yang secara diam-diam, ingin kembali ke pentas politik dan menguasainya. Bisa jadi, mereka memilih adalah agenda awal untuk itu. Sederhana memang, tetapi, secara rasional, hal itu dapat dipahami.
Anggota tentara tentu saja akan “digiring” untuk memilih tentara (yang purnawirawan). Kesuksesan seorang Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi presiden, tentu menggambarkan adanya “harapan” tinggi tentara menguasai dan mengendalikan kekuatan-kekuatan politik sipil.

Pengaturan ketat
Pada hemat penulis, alasan TNI untuk mengikuti pemilu dapat diterima. Alam demokrasi memang demikian adanya. Tetapi, TNI juga mesti menjelaskan kepada publik bahwa anggota-anggotanya yang mengikuti pemilu hanya karena alasan itu, bukan lainnya. TNI juga harus memastikan bahwa tugas profesinya bukanlah untuk masuk ke dalam gelanggang politik praktis, tetapi justru menjaga, memelihara, dan melindungi proses politik yang sedang berlangsung.
Karena itu, dibutuhkan pengaturan-pengaturan tertentu untuk mencegah tentara memasuki wilayah elit politik praktis. Larangan kepada anggota TNI untuk tidak mengikuti pawai atau kampanye partai-partai politik, tentu salah satu langkah yang cukup tepat. TNI harus memastikan bahwa anggotanya datang ke tempat pemilu hanya untuk memberikan suaranya, karena itu haknya.
Pemerintah dan anggota dewan, dengan demikian, jika wacana ini mulus dan diterima, harus membuat pengaturan-pengaturan yang ketat. Terlebih, di tubuh TNI sendiri sebagai institusi tinggi mereka sebagai wujud komitmennya untuk tetap pada khittahnya semula. Jika ini berhasil dilakukan, persoalan anggota TNI mengikuti pemilu tentunya tidak perlu dirisaukan. Dalam sistem politik yang ada, seiring semakin meningkatnya kinerja kekuatan-kekuatan politik sipil di dewan perwakilan, persoalan biasa dalam berdemokrasi mesti diantisipasi secara tidak berlebihan. Tentara (hanya) memilih, why not?

Media Indonesia, Senin 20 Februari 2006

Televisi dan Tayangan “Pembodohan”

Kian banyak dan beragamnya berbagai tayangan televisi kita di satu sisi menggambarkan kemajuan luar biasa industri pertelevisian nasional saat ini, tetapi pada sisi lain berpotensi kebablasan sehingga nilai-nilai dan isi yang terkandung di dalamnya tidak terkontrol secara baik. Akibat berikutnya, dan mungkin ini yang lebih parah, terjadi “pembodohan” publik secara masif tanpa disadari.

Infotainment dan film/sinetron
Di antara tayangan-tayangan yang disinyalir “membodohi” masyarakat adalah infotainment gosip. Entah gosip itu seputar pribadi, keluarga, maupun kehidupan para selebritis di luar rumah. Apa aspek “pembodohan” pada tayangan-tayangan ini?
Pertama, namanya juga gosip, tingkat kebenarannya rendah. Betul, di sana sini disebutkan ada klarifikasi dari pihak-pihak yang bersangkutan sehingga bobot infotainmentnya sesuai dengan asas pemberitaan pers standar. Nyatanya, klarifikasi yang dilakukan kerap kali bukan untuk tujuan verifikasi, tetapi makin menambah daftar gosip-gosip berikutnya yang kian memanas. Artinya, sama halnya masyarakat tengah “dibodohi” dengan visualisasi kebenaran yang tingkatannya rendah.
Kedua, infotainment adalah berita seputar selebritis dan kehidupannya yang “tampil beda.” Maksudnya, tidak banyak nilai-nilai positif yang diangkat dan diperoleh dari tayangan itu selain kehidupan hedonis dan glamour para selebritis di tengah kehidupan masyarakat yang penat, sulit dan terpuruk, hancur lantaknya tatanan keluarga selebritis di tengah kehidupan masyarakat yang mendambakan solusi atas hancurnya kehidupan mereka, dan gambaran kehidupan para selebritis yang berkultur transparan dan terbuka (terutama dalam hal berpenampilan) di tengah masyarakat yang berkultur sopan-santun, menghargai, dan menghormati orang lain. Artinya, di kotak ajaib bernama televisi, masyarakat disuguhi suatu visualisasi yang paradoks, bahkan bertolakbelakang dengan kondisi yang dihadapi oleh masyarakat. Keadaan ini menyemburatkan suatu gambaran keangkuhan, kepongahan, dan kesombongan, yang dipublikasikan secara sadar maupun tidak, pada masyarakat.
Ketiga, intensitas tayangan infotainment yang begitu tinggi membuat masyarakat, mau tidak mau, harus menyantapnya mentah-mentah setiap saat. Simak, setiap hari dari pagi hingga malam, bahkan larut malam dan dini hari, tayangan infotainment terus-menerus bergulir, meski itu di stasiun-stasiun televisi yang berbeda-beda. Tayangan-tayangan yang kebenarannya tergambarkan sebagai bertingkatan rendah, ditambah lagi dengan visualiasi kehidupan para selebritis yang paradoks dengan masyarakat pemirsa pada umumnya, ditambah lagi dengan intensitasnya yang tinggi, nyaris tidak menyisakan sisi edukatif sedikit pun selain “pembodohan.” Apakah hidup kita ingin terefleksikan dari visualisasi “pembodohan” semacam itu?
Tayangan-tayangan yang juga disinyalir “membodohi” adalah film/sinetron yang wajahnya tidak jauh berbeda dengan infotainment. Hanya saja, untuk mempersantun, kerap kali film/sinetron itu dibungkus dengan tema religius, bahasa religius, penampilan religius, dan ending yang juga religius (ceramah dari para ustaz pengkhotbah), namun sejatinya tampak sebagai kamuflase untuk menutupi naluri sesungguhnya di balik semua itu, yakni: menyuguhi masyarakat dengan tayangan-tayangan yang kualitasnya hanya demikian.
Aspek religiusitas sering kali identik dengan mistis, horor, yang ujung-ujungnya kemenangan tokoh bersorban, berpeci haji, bertasbih, bersarung, yang melantunkan ayat-ayat suci (meski dengan pelafalan lidah yang tidak tepat alias ‘belepotan’), guna mengatasi makhluk-makhluk gaib yang entah sejak kapan muncul di televisi sebagai trend yang – menurut rating – adalah tayangan yang paling disukai oleh para pemirsa.
Itu dari sisi tema, dari sisi jalan cerita, hampir tidak ada hal baru berkreasi cerdas (bahkan mencerdaskan), selain lingkaran memutar ayah, ibu, anak kandung, menantu, ayah tiri, ibu tiri, dan anak tiri, yang terzalimi di awal cerita namun menemukan “pencerahan” ketika yang menzaliminya terkena “kutukan” Tuhan atau sadar di penghujung. Atau, film/sinetron berlatar sekolah, dengan tokoh-tokohnya anak-anak sekolah, tetapi yang ditampilkan lebih pada gaya hidup para siswa yang hedonis, glamour, dan pergaulan tanpa kontrol, yang menyisihkan nilai-nilai sopan-santun dan keadaban kultur kita, di tempat yang sebetulnya menjadi sarana belajar bersopan-santun dan berkeadaban.
Tayangan-tayangan yang demikian, parahnya diletakkan pada primetime ketika masyarakat yang letih sudah berkumpul kembali bersama keluarga setelah siang hari berpenat-penat bekerja mencari penghidupan. Dengan kata lain, masyarakat kita yang demikian, oleh industri televisi, dianggap layak mendapat jamuan tayangan-tayangan yang begitu. Demikianlah kehidupan masyarakat kita sehari-hari. Nyaris, tidak ada ruang maupun waktu kosong yang terisi dengan hal-hal positif dari tayangan-tayangan televisi itu Singkat kata, secara tidak sadar, pikiran-pikiran kita terus-menerus diisi dengan imajinasi-imajinasi “pembodohan” yang betul-betul membuat kita kian “bodoh.”

Perlu introspeksi
Beruntung, masih ada (meski sedikit) tayangan-tayangan televisi yang kreatif menayangkan acara-acara yang edukatif dan menambah wawasan baru dan positif, membawa alam pikiran kita merenungkan hidup dan kehidupan secara lebih optimis dan positif. Namun, tetap saja tayangan-tayangan kekerasan, berdarah-darah, caci-maki, ungkapan-ungkapan tidak senonoh, masih terlalu banyak. Apresiasi positif layak diberikan untuk stasiun-stasiun televisi yang memang brand-nya dibangun tidak untuk itu, tetapi untuk menampilkan sekaligus memberikan nuansa yang edukatif-berkualitas.
Butuh waktu dan kerja keras untuk menjadikan industri televisi tidak hanya murni kepentingan bisnis, tetapi mampu memberikan hal terbaik buat masyarakat. Terbaik, tentunya dalam pengertian bahwa itu bisa membawa perubahan ke arah yang lebih baik ke depan. Tayangan-tayangan yang minim sisi edukasinya tentu bukan yang dimaksud di sini. Sudah waktunya, stasiun-stasiun televisi mengintrospeksi diri lagi, apa hal positif yang telah diberikan buat para pemirsa/masyarakat. Jika ternyata semua industri televisi sepakat bahwa pemirsa/masyarakat belum sepenuhnya diberikan hal terbaik, namun masih tetap menyuguhkan tayangan-tayangan yang tidak jauh berbeda dengan yang sebelumnya, tanya kenapa?!

Pelita, Selasa 22 Mei 2007

Tantangan Terhadap Penalaran Atas Agama

Agama sejati pada hakikatnya adalah agama yang mampu memberikan ruang kedamaian batin bagi umat manusia penganutnya, dalam rangka menghadapi problem hidup dan kehidupannya sehingga tercipta satu tatanan perikehidupan yang harmonis, aman, tenteram, dan sejahtera.
Agama akan semakin “diburu” orang, ketika ia dihadirkan dalam ranah kemanusiaan secara lebih elegan, ramah, akrab, dan “membumi.” Karena itu, upaya menafsirkan agama menjadi bagian urgen guna mewujudkan cita-cita kemanusiaan universal di atas. Agama dengan demikian mesti “rela” ditempatkan pada arena perhelatan wacana tanpa henti guna mewujudkan satu tujuan hakiki, tidak saja untuk saat ini, tetapi juga untuk masa nanti.
Di era multikulturalisme seperti saat sekarang ini, agama berhadapan dengan kenyataan yang mengharuskannya berdiri pada satu di antara dua pilihan. Pertama, agama sebagai aktor “penyelamat,” di satu sisi. Dan, kedua, menjadi aktor “penyengat.” Agama pada posisi ini akhirnya dihadapkan pada dua kenyataan sekaligus yang cukup menantang. Agama akan makin “dilanggengkan” oleh para pengikutnya, ataukah akan menemui ajal kematiannya di ujung “pedang-pedang pemberontak” agama yang tajam tak terkira.
Karena itu, upaya merumuskan kembali tafsir agama untuk saat ini dan masa depan nanti, menjadi kemestian yang tak bisa ditawar lagi. Agama sudah saatnya meninggalkan area tradisionalis dan primitifnya, karena hanya akan melahirkan penafsiran yang konservatif dan jumud. Agama sudah saatnya diwujudkan dalam bentuk apresiasi aktif umat manusia untuk menatap dan merumuskan kembali masa depannya sendiri.
Agama—meminjam istilah Hassan Hanafi—harus menjadi ide revolusi besar-besaran terhadap pola-pola hidup tradisionalis yang anti kemajuan dan modernitas. Atau menjadi ideologi pergerakan umat manusia—meminjam istilah Sayyid Quthb—yang mampu memberikan sumbangsih positif bagi peradaban umat manusia, tanpa kehilangan semangat dasar agama (baca: keimanan) sebagai teologi pembebasan dari keterkungkungan.
Sehingga, agama pada gilirannya akan makin terus memainkan peranannya yang ekstra aktif dan tetap mengisi setiap lingkup sejarah perjalanan hidup umat manusia di dunia. Ia akan mampu menumbuhkembangkan ide progresif sekaligus spirit bagi setiap gerak hidup manusia, yang pada akhirnya akan mengantarkan mereka pada satu titik persamaan visi dan misi untuk menjadikan dunia sebagai lahan subur bagi tumbuh dan berkembangnya daya kreativitas pemikiran guna mewujudkan cita-cita kemanusiaan bersama, tanpa dihalangi oleh sekat-sekat perbedaan agama.
Apakah dengan demikian, sebuah penafsiran meniscayakan kebersatuan antar agama yang ada saat ini, sebagai landasan tunggal? Ataukah mencoba format baru dalam penafsiran agama yang bisa diakses dan dipraktikkan secara seragam oleh kalangan agama mana pun, misalnya? Atau, justru mengupayakan satu bentuk reinterpretasi terhadap agama yang telah ada, dengan sesuatu yang sesuai dengan kondisi ril kehidupan umat manusia saat ini?
Pertanyaan ini makin menjadi urgen dikemukakan dengan alasan bahwa sebetulnya cukup riskan membuat satu model agama baru, pada saat yang sama, agama-agama yang ada saat ini telah lama bertahan dan mengkristal, juga sudah teruji mapan dengan kuantitas pengikutnya, sehingga menjadi kekuatan tak terbendung.
Ada beberapa tantangan baru yang dapat menjadi penghalang bagi terwujudnya format penafsiran baru terhadap agama. Pertama, ketakutan akan perubahan. Perubahan seolah-olah identik dengan penyelewengan yang mesti diantisipasi, sekaligus dicari klaim-klaim “seram” agar orang merasa takut dengan perubahan itu.
Untuk mengantisipasi hal ini, penafsiran agama mesti menjelaskan dengan jujur bahwa ia pada hakikatnya adalah upaya membuat agama lebih hidup dan membumi. Penafsiran agama-agama secara tradisional tetap dijadikan bahan pertimbangan, untuk merumuskan penafsiran agama. Dengan demikian, ada fondasi rumusan yang jelas bisa mengikat keduanya, tanpa perlu mengorbankan salah satunya.
Kedua, keterlibatan kekuatan elit agamawan yang sudah legal mapan menjadi satu kekuatan besar dan—seakan—sudah diplot sebagai “yang paling” autoritatif. Kalangan ini tidak saja membuat satu penafsiran, tapi juga mencoba mencekokkan ide-idenya untuk dan demi kepentingan kalangan-kalangan elit penguasa tertentu.
Kalangan seperti ini biasanya memiliki akses yang luar biasa rekatnya dengan kekuatan-kekuatan politik. Dalam sejarah Islam, misalnya, tercatat bahwa ide-ide elit agamawan terkadang mesti mendapat “restu” kekuasaan, atau mereka balik dipesan untuk membuat satu aturan demi menahbiskan, sekaligus melanggengkan kekuasannya, dengan menekan pihak-pihak yang akan menghancurkan reputasi kekuasaannya.
Maka tidak aneh, berbagai macam mazhab pemikiran mesti menyesuaikan dengan kekuasaan politik. Agama dalam tataran ini akhirnya menjadi hanya ide-ide kaum penjilat yang merengkuh setetes keuntungan pribadi, demi ambisi nafsu yang tak terperi. Hanya karena perbedaan pendapat, seorang pemikir harus menghadapi tiang gantungan, atau merenggang nyawa dalam kobaran api, sebagai azabnya.
Wajah penafsiran seperti ini tentu tidak ramah dan tidak bisa dipakai dalam penafsiran agama saat ini. Kebebasan mengeluarkan aneka pendapat untuk mewujudkan kemaslahatan bersama mesti dijadikan landasan utama. Sekat-sekat primordialisme kesukuan, jenis kelamin, agama, ras, budaya, geografis, atau latar belakang seseorang, sudah saatnya dijadikan kekayaan tak ternilai umat manusia, bukan menjadi sekat penghambat yang sebenarnya tidak perlu.
Semua itu sudah semestinya dihadirkan dalam ruang dialog antar peradaban dan antar pengalaman, yang pada akhirnya akan mampu mewujudkan satu kesatuan spiritual, kaya wawasan, dan bijak menyikapi persoalan kemanusiaan yang sedang berjalan. Penafsiran agama dengan demikian memungkinkan terjadinya akulturasi dan asimilasi antar peradaban umat manusia. Sehingga, bangun agama yang terbentuk tidak lagi lokalistik, namun menyentuh hampir semua kalangan, tanpa terceraikan oleh perbedaan-perbedaan yang ada.
Ketiga, adanya teologi fatalistik atau teologi-teologi sejenis. Teologi ini meniscayakan ketidakmampuan manusia untuk berbuat banyak hal di dunia ini. Pada saat yang sama, selalu berharap, campur tangan tuhan, tanpa melakukan kerja maksimal terlebih dahulu. Teologi ini tidak saja menutup rapat-rapat kemampuan manusia, dalam segala hal, namun juga menafikan manusia dan kemanusiaannya sendiri.
Orang tidak percaya lagi dengan dirinya sendiri, akhirnya, manusia menjadi umat yang pasif justru pada saat mereka diharapkan sumbangsihnya untuk mendayagunakan potensi-potensinya bagi dunia. Akhirnya, mereka selalu menjadi penentang abadi pada setiap gagasan pencerahan yang sejatinya dimaksudkan untuk membuktikan bahwa potensi-potensi itu mesti diwujudkan sehingga terwujud nyata.
Teologi seperti ini tidak akan memberi harapan bagi perubahan umat manusia. Ia hanya akan menjadi duri-duri dalam daging yang begitu menyakitkan, atau menjadi barang mati yang setiap saat melukai para “pejalan” yang melewatinya. Ia tidak bersuara namun teramat pedih dan ngilu ketika mengenai sang pengelana.
Ia selalu mengapresiasikan dirinya sebagai hamba tuhan yang paling benar, tanpa mau melek dan tahu apa sebetulnya ekses negatif yang bisa ditimbulkannya. Mereka menjadi militan-militan, namun tidak melihat realitas. Mereka mengakui realitas sebagai sebuah ajang “keharusan” bukan “kebolehan.”
Dengan kata lain, mencoba menundukkan dunia dalam kawah keharusan untuk begini atau begitu (kaca mata hitam putih), tanpa mau melihat dengan jernih apa sesungguhnya persoalan mendasar dan kompleks yang sedang dihadapi umat manusia dan bagaimana memberikan solusi untuknya. Mereka anti dengan “alternatif” yang banyak memberikan pilihan-pilihan untuk ditempuh.
Penafsiran agama sudah semestinya menjadikan teologi tidak sekedar keyakinan akan adanya Tuhan yang abadi dan mutlak dan transenden, namun lebih dari itu, ia meniscayakan adanya ruang nan luas bagi tumbuh dan berkembangnya potensi-potensi umat manusia.
Teologi qadariyyah dalam pengertian yang lebih luas, bisa menjadi landasan utama untuk melahirkan kepercayaan diri bahwasannya manusia mampu melakukan segala hal. Teologi ini tidak saja akan memberikan peluang bagi manusia untuk memulai sebelum membangun pembebasan yang diinginkan, akan tetapi juga akan melahirkan formulasi dan gagasan-gagasan masa depan jauh lebih spektakuler.
Dengan demikian, menafsir agama untuk saat ini dan seterusnya, sejatinya adalah upaya menguak kembali dimensi penafsiran agama masa lalu dikombinasikan dengan masa saat ini dengan tetap mengedepankan dialektika doktrin dengan realitas. Maka penafsiran agama akan mampu merespons problem-problem kemanusiaan universal.
Penafsiran agama model ini bisa menjadi solusi bagi krisis yang melanda manusia-manusia modern kini. Ia hakikatnya tidak menjadi agama baru, hanya formula lama yang telah lama terpendam dan enggan disentuh, lalu diangkat ke permukaan hingga melampaui batas-batas nir manusia mana pun, kapan pun, dan di mana pun. Tampaknya, agama yang lahir dari penafsiran semacam ini bisa menjadi model agama yang mampu memberikan kedamaian dan ketenangan umat manusia. Wallâh a‘lam

Duta Masyarakat, Jumat 1 Juli 2005

Tanggungjawab Sosial-Keberagamaan Pascahaji

Ibadah haji tahun ini diwarnai dengan tragedi kelaparan hingga 2 hari di padang Arafah (wukuf) dan Mina yang memilukan akibat buruknya pelayanan haji yang melibatkan pihak pemerintah kita (Departemen Agama) dan pemerintah Arab Saudi. Suatu tragedi yang menuai reaksi keras dari berbagai pihak di dalam negeri, hingga berbuntut tuntutan agar Menteri Agama, Maftuh Basyuni, menanggalkan jabatannya sebagai wujud pertanggungjawaban konkret, tidak sekadar meminta maaf pada para jamaah.
Alih-alih memenuhi tuntutan itu, pihak pemerintah membuat tim investigasi khusus untuk mengetahui penyebab sesungguhnya tragedi. Karena, desas-desus yang terdengar, setidaknya menurut versi Departemen Agama selaku pihak penyelenggara ibadah haji, ada sabotase di pihak Arab Saudi, terutama dari penyedia jasa katering makanan lama (muasasah) yang “sakit hati” karena setelah 24 tahun memberikan pelayanan ditinggalkan, diganti dengan penyedia jasa katering baru yang, katanya lebih murah, baik, dan cepat, meski belum berpengalaman (Ana for Development). Tetapi, tetap saja, alasan Departemen Agama dianggap hanya pembelaan, setidaknya oleh berbagai kalangan di dalam negeri.
Terlepas dari persoalan ketidakbecusan berbagai pihak penyelenggara, yang jelas, kita semua tidak ingin itu terjadi di tahun-tahun berikutnya. Perbaikan mutlak harus dilakukan. Entah perbaikan itu dengan jalan mencopot jabatan sang menteri, atau yang lainnya. Tulisan ini tidak bermaksud memperpanjang daftar “penghakiman” terhadap pihak-pihak tertentu, tetapi ingin menyuguhkan ibadah haji dalam perspektif keberagamaan pasca haji, yakni setelah para jamaah pulang kembali ke tanah air.

Tidak sekadar ritual
Pada hakikatnya, ibadah ritual, apa pun bentuknya, seperti yang diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya—mengikuti alur pemikiran Fazlur Rahman—diharapkan dapat membekas di dalam jiwa pelakunya melalui upaya-upaya peresapan nilai-nilai mulia yang terkandung di dalamnya. Tetapi, nilai-nilai yang diresapi itu juga belum melahirkan dampak positif dalam bentuk hasil nyata kemanfaatan yang bernilai lebih baik jika terbatas hanya pada perolehan kemanfaatan untuk diri sendiri. Karenanya, nilai-nilai yang telah diresapi harus diaktualisasikan ke dalam bentuk amaliah positif kehidupan nyata.
Singkat kata, ibadah ritual, seperti shalat, puasa, zakat, atau haji, harus pula memberikan dampak positif bagi orang lain, tidak hanya bagi diri sendiri. Ibadah shalat, misalnya, jika diresapi maknanya secara lebih mendalam, lalu nilai-nilainya membekas dan diterapkan dalam kehidupan sosial, maka dapat memberikan sesuatu yang bermanfaat. Inilah manfaat nyata yang disebutkan oleh Allah di dalam firman-Nya, “Dirikanlah shalat. Sesungguhnya, shalat itu mencegah keburukan dan kemungkaran.” (QS Al-‘Ankabut [29]: 45).
Demikian pula dengan ibadah haji. Ibadah ini sarat dengan nilai-nilai dasar yang bertujuan untuk menguatkan daya spiritual (ruhaniah) pelakunya. Tidak hanya itu, di balik praktik-praktik ritual ibadah ini, terdapat nilai-nilai lebih dalam yang akan didapat kemudian jika dipraktikkan oleh pelakunya setelah ibadah ini dilakukan berkaitan dengan kehidupan sosialnya ke depan.
Sebagai contoh, seperti yang diungkapkan oleh Ali Syariati, pada saat di padang Arafah (wukuf), semua orang berkumpul melepaskan atribut-atribut dan status sosial yang disandang. Semuanya dibungkus dengan kain putih yang sama dan di tempat yang sama pula berbaur satu sama lain melakukan penyembahan pada Allah Yang Mahaesa. Tidak ada perbedaan sama sekali. Yang ada, persamaan dari sisi kemanusiaan, persaudaraan, rasa solidaritas, dan kepekaan yang tinggi terhadap sesama.
Ritual ibadah haji dilakukan hanya beberapa hari saja yang telah ditentukan dalam satu tahun (bulan Dzulhijjah, tanggal 8-10). Di luar ibadah haji, ada bentuk-bentuk ibadah lain yang intensitasnya jauh lebih lama dilakukan, seperti shalat, zikir, atau yang lainnya. Karenanya, momen haji yang beberapa saat itu akan jauh lebih bermakna jika itu kemudian tercermin dalam perilaku pelakunya setelah pulang berhaji.

Haji yang mabrur
Haji mabrur yang disebutkan oleh Rasulullah akan dibalas dengan hadiah surga, “Tidak ada haji yang balasannya surga selain haji yang mabrur,” (HR Bukhari-Muslim) harus menjadi cita-cita final orang-orang yang berhaji. Namun, cita-cita itu bisa jadi hanya mimpi jika haji yang dilakukan sama sekali tidak membekas dalam sanubari yang itu tampak dalam perilakunya sehari-hari pasca haji. Atau, jika ibadah haji yang dilakukannya ternyata tidak membuat seseorang jera dalam melakukan tindak kejahatan dan keburukan.
Sepanjang sejarah kehidupan Rasulullah, beliau hanya sekali saja melakukan ibadah haji, yaitu haji Wada’ (haji perpisahan). Padahal, beliau memiliki kesempatan yang sangat luang. Setidaknya pasca Fathu Mekkah pada tahun ke-8 H. Namun, faktanya beliau tidak melakukannya secara rutin setiap tahun.
Para ulama fikih, seperti Al-Syafi‘i, menyatakan bahwa kewajiban haji hanya sekali. Selebihnya hanyalah sunah. Sementara umrah adalah ungkapan kerinduan dan napak tilas sejarah Nabi Ibrahim diisi dengan nilai-nilai ibadah kepada Allah. Dengan kata lain, nilai ibadah haji adalah untuk orang yang bersangkutan. Haji dalam dataran ini merefleksikan kepatuhan total terhadap apa yang Allah syariatkan. Pendek kata ia bertujuan untuk melatih daya spiritual atau batiniah.
Pada hadis lain, Rasulullah mengatakan bahwa haji mabrur adalah haji yang tidak diiringi, baik pada masa haji maupun setelahnya, dengan prektik-praktik negatif pasif dalam kehidupan sosialnya, “Siapa yang berhaji dengan niat semata-mata karena Allah, tidak berkata kotor dan berbuat fasik, maka ia akan menjadi sosok suci seperti bayi yang dilahirkan oleh ibunya.” (HR Bukhari).
Haji adalah upaya pembersihan jiwa dengan jalan melakukan ibadah melalui alur napak tilas seorang Nabi yang dikasihi Allah, Ibrahim dan keluarganya (istri dan anaknya, Ismail). Melalui ibadah ini, umat manusia diarahkan untuk kembali kepada satu alur jalan yang lurus, yaitu tauhid. Inti ibadah haji secara praktikal ritual adalah tauhid. Maka orang yang hajinya mabrur, sejatinya menggambarkan secara total kepribadian yang bersih suci, siap mental menghadapi kehidupan ke depan, untuk membina masyarakat berdasarkan nilai-nilai haji yang sudah didapatkan.
Rasulullah tercatat hanya sekali melakukan ibadah haji, itu pun di tahun-tahun akhir menjelang kewafatan beliau. Ini menyiratkan bahwa ibadah haji itu bertujuan melatih kekuatan spiritual guna menghadapi tantangan kehidupan yang lebih riil, yakni pembangunan religiusitas masyarakat tempat di mana para jamaah berdiam. Dengan demikian, ibadah di ranah sosial jauh lebih urgensif dilakukan. Inilah haji mabrur, haji yang membawa para pelakunya mengamalkan prinsip-prinsip keberagamaan yang lebih bisa membawa kemanfaatan bagi semuanya, masyarakat bangsa tanpa perbedaan. Wallah a‘lam.

Indo Pos, Minggu 28 Januari 2007

Studi atas Pemikiran Tafsir Alquran Siti Aisyah

Salah satu kekayaan yang dimiliki oleh peradaban Islam masa silam, dan masih saja terus mengalir hingga saat sekarang ini adalah kekayaan dalam bidang tafsir Alquran. Kalau kita kembali membuka lembaran masa silam, terutama pasca wafatnya Rasulullah SAW, pelbagai ragam penafsiran dengan coraknya yang masih sangat khas, yaitu tafsir bil ma’tsur, banyak dikembangkan oleh para sahabat Rasulullah SAW.
Manna’ Khalil Qaththan, misalnya, penulis kitab Mabahits fi ‘Ulum Alquran, mencatat beberapa orang sahabat yang menjadi icon ahli tafsir di daerah yang berbeda-beda pasca wafatnya Rasulullah SAW. Mereka antara lain adalah Abdullah bin 'Abbas (Ibnu ‘Abbas) yang mengembangkan tafsir Alquran di Mekkah. Ia memiliki beberapa orang murid yang kemudian menyebarkan tafsirnya. Mereka antara lain adalah Sa'id bin Jubair, Mujahid, ‘Ikrimah (pembantu Ibnu ‘Abbas), Thawus bin Kaisan al-Yamani, dan 'Atha bin Abu Rubah.
Sementara itu, di Madinah sendiri, pengembang tafsir Alquran adalah Ubay bin Ka’ab. Murid-muridnya antara lain adalah Zaid bin Aslam, Abu al-’Aliyah, dan Muhammad bin Ka’ab al-Qarazhi. Murid-murid inilah yang kemudian melestarikan dan mengembangkan model dan corak tafsir Ubay bin Ka’ab di beberapa daerah di luar Madinah.
Di Irak, sahabat yang mengembangkan model tafsirnya adalah Abdullah bin Mas’ud (Ibnu Mas’ud). Ia dikenal sebagai penafsir pertama dari kalangan sahabat yang mengembangkan model penafsiran baru terhadap Alquran. Jika para sahabat pada umumnya mengembangkan model tafsir bil ma'tsur, maka tidak dengan Ibnu Mas’ud. Ia justru selangkah lebih maju dengan model pendekatan tafsir bil ra’yi. Hal ini didorong oleh konteks yang mesti dihadapi oleh Ibnu Mas'ud sendiri kala itu.
Irak, tempat Ibnu Mas’ud berada, adalah satu daerah yang memiliki riwayat sejarah peradaban manusia yang sangat lama dan tua. Irak dikenal dengan peradaban Mesopotamianya di masa silam. Peradaban tertua, seumuran Yunani, India, dan Cina. Irak di masa lalu adalah tempat yang intens disinggahi oleh banyak orang dari pelbagai daerah di luarnya dengan kultur budaya yang berbeda-beda.
Salah satu hal yang menonjol adalah intensitasnya berhubungan dengan peradaban Yunani yang terkenal dengan tradisi intelektualnya, seperti Plato, Aristoteles, Socrates, dan lainnya. Semua tokoh-tokoh ini, meskipun tidak secara langsung datang di Irak, namun pemikiran filsafat yang rasionalis mereka banyak disebarkan oleh murid-muridnya ke beberapa daerah, antara lain Irak sendiri.
Model tafsir bil ra’yi Ibnu Mas'ud lantas diteruskan oleh para muridnya, antara lain adalah ‘Alqamah bin Qais, Masruq, Al-Aswad bin Yazid, Murrah al-Hamdzani, ‘Amir al-Sya’bi, Al-Hasan al-Bashri, dan Qatadah bin Di’amah al-Sadusi. Mereka semua di kemudian hari menjadi icon para pemikir tafsir yang bergelut lebih hebat dengan para pemikir Muslim rasionalis di Irak, terutama di daerah Kuffah dan Bashrah.
Perkembangan tafsir Alquran sebenarnya sudah dimulai sejak masa Rasulullah SAW sendiri. Beliau menerima wahyu sekaligus menafsirkannya di hadapan para sahabat. Terkadang, tafsir Rasulullah SAW disampaikan secara langsung setelah menerima wahyu Alquran. Namun, terkadang, tafsir atas suatu ayat di sampaikan saat para sahabat bertanya hal yang belum mereka pahami.

Aisyah dan tafsir Alquran
Aisyah adalah salah seorang ahli tafsir yang terkenal selain sebagai istri Rasulullah SAW sendiri. Dalam kapasitasnya sebagai seorang istri, ia telah banyak menimba ilmu secara langsung dari Rasulullah SAW, terutama soal tafsir Alquran. Banyak para sahabat yang bertanya kepadanya soal tafsir terhadap satu ayat yang belum mereka ketahui. Ia menjadi rujukan utama, terkhusus tafsir terhadap ayat-ayat Alquran yang terkait dengan urusan keluarga/rumah tangga.
Aisyah lahir di Mekkah sekitar tahun ke-6 pasca diangkatnya Muhammad sebagai seorang Rasulullah SAW. Perkiraan ini dimungkinkan soalnya saat Rasulullah SAW melamarnya, Aisyah waktu itu baru berusia 6 tahun atau tepat 2 tahun pasca meninggalnya Siti Khadijah, istri pertama Rasulullah SAW, pada tahun ke-3 sebelum hijrah ke Madinah.
Aisyah mulai membangun rumah tangga bersama Rasulullah SAW pada bulan Syawwal atau awal bulan ke-18 dari hijrahnya beliau ke Madinah. Saat itu, Aisyah baru berusia sekitar 9 tahun. Dan, pada saat Rasulullah SAW wafat, usia Aisyah baru mencapai 18 tahun.
Aisyah adalah putri Abu Bakar al-Shiddiq bin Abu Quhafah Utsman bin ‘Amir bin ‘Amr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Tayim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay. Maka, silsilah nenek moyang Aisyah bertemu dengan silsilah nenek moyang Rasulullah SAW pada Murrah bin Ka’ab. Ia adalah keturunan Bani Tayim. Namun, Aisyah tumbuh berkembang dalam asuhan orang-orang dari Bani Makhzumiyah.
Ibu Aisyah adalah Ummu Rauman Zainab bintu Amir bin Uwaimir bin ‘Abd Syams bin ‘Itab bin Uzainah bin Dahman bin al-Harits bin Ghanam bin Malik bin Kinanah. Ummu Rauman ini adalah istri Abu Bakar pada masa jahiliyah. Pada masa yang sama, ada pula istri Abu Bakar yang lain, yaitu Qailah (Qatilah) bintu ‘Abd al-'Uzza bin ‘Abd Asad. Qailah ini adalah ibu dari dua orang anak bernama Abdullah dan Asma'. Namun, Qailah oleh Abu Bakar diceraikan, juga pada jahiliyah.
Aisyah meninggal dunia pada malam Selasa, bertepatan dengan hari ke-19 di bulan Ramadhan tahun 58 H. Jenazahnya dikebumikan pada malam hari di bulan itu juga. Semua orang telah kehilangan Aisyah istri tercantik Rasulullah SAW. Seorang yang selain cantik lahir dan batin, juga seorang yang cerdas dan luas pengetahuan agamanya karena didikan langsung Rasulullah SAW.
Sebagaimana lazimnya para sahabat yang pasca Rasulullah SAW meninggal dunia menjadi para ahli tafsir, Aisyah juga tidak ketinggalan ikut mewarnai perkembangan dan dengan model tafsir yang khas. Bahkan, saat Rasulullah SAW masih hiduppun, Aisyah sering menerima banyak pertanyaan seputar maksud ayat tertentu jika sang penanya enggan bertanya langsung kepada Rasulullah SAW karena alasan bahwa pertanyaannya itu terkait dengan urusan kewanitaan dan rumah tangga. Umumnya, para penanya adalah dari kaum hawa. Namun, beberapa orang sahabat yang laki-laki juga banyak yang mempertanyakan tafsir kepadanya, terutama pasca meninggalnya Rasulullah SAW.
Kemampuannya dalam bidang tafsir sudah tidak diragukan lagi, walau usianya relatif sangat muda. Urwah bin Zubair pernah berkata, “Tidak ada seorangpun yang ketahui lebih mengetahui tentang tafsir Alquran, masalah-masalah faraidh, dan masalah-masalah halal ataupun haram, selain Aisyah.” Ibnu Hazm, dalam kebanyakan pemikirannya juga lebih mendahulukan tafsir Aisyah dibandingkan dengan tafsir sahabat lainnya yang diriwayatkan pernah memberikan fatwa akan suatu hal.
Metode dan corak tafsir Aisyah secara umum tidak jauh berbeda dengan para sahabat lainnya, yaitu menggunakan tafsir bil ma'tsur. Abdullah Abu al-Su’ud Badr dalam karyanya, Tafsir Umm al-Mukminin Aisyah, mengungkapkan bahwa sumber tafsir Aisyah mencakup empat hal. Pertama, sunnah Rasulullah SAW. Kedua, Asbabunnuzul. Ketiga, gaya bahasa dan sastra. Dan, keempat, ijtihadnya sendiri.
Jika ditelusuri lebih jauh, tulis Abdullah Abu al-Su'ud Badr, ciri khas tafsir Aisyah lebih bertitik berat pada masalah-masalah fikih, terkhusus masalah fikih wanita dan masalah keluarga. Hal itu bisa terlihat dari beberapa pertanyaan yang diajukan oleh para sahabatnya kepadanya. Abu Hurairah, misalnya, diriwayatkan bertanya kepadanya soal perempuan yang sedang mandi junub namun rambutnya rontok (HR Ad-Darimi).
Abu Musa al-Asy’ari juga pernah bertanya soal laki-laki yang menggauli istrinya lalu sang suami itu merasa lemas tapi tidak sampai ejakulasi. Apakah hal itu juga menyebabkan mandi wajib (HR Malik). Pada kesempatan lain, ia juga pernah bertanya perihal yang mewajibkan mandi wajib: keluarnya sperma ataukah karena terjadinya percampuran antara sperma itu dengan ovum istri (HR Muslim).
Semua pertanyaan itu dijawab sesuai dengan yang ia dengar langsung dari Rasulullah SAW. Aisyah, pada kesempatan yang lain juga pernah menjawab pertanyaan seputar hubungan suami dengan istrinya yang sedang haid. Ia menyatakan bahwa seorang suami dilarang menggauli istrinya yang sedang haid hanya pada bagian kelaminnya saja. Sementara bagian selain itu, maka boleh saja (HR Malik, Ad-Darimi, dan ‘Abd al-Razzaq al-Shan’ani).
Demikianlah Aisyah. Seorang yang oleh Rasulullah SAW juluki sebagai ‘Duta Nabi yang pertama untuk dunia perempuan.’ Jumlah hadis yang ia riwayatkan ada sekitar 2.210 buah hadis, menurut perhitungan Ibnu Jauzi. Aisyah telah menunjukkan kepada kita semua bahwa status ‘perempuan’ bukanlah penghalang untuk menjadi seorang ahli tafsir Alquran terkemuka dengan corak dan modelnya yang khas. Sebuah khazanah peradaban pemikiran tafsir yang tidak bisa kita abaikan dan lupakan begitu saja. Wallahu a’lam.

Duta Masyarakat, Kamis 27 Oktober 2005