Sabtu, 18 Agustus 2007

Pluralisme, Keyakinan Individu, dan Toleransi Tinggi

Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Musyawarah Nasional (Munas) VII akhir Juli silam tentang haramnya paham pluralisme, hingga saat ini masih menjadi bahan perdebatan panjang. Imbas fatwa MUI tersebut ternyata cukup ‘dahsyat.’
Mayoritas lembaga-lembaga keislaman dan Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) Islam di Indonesia mendukung total fatwa MUI tersebut. Namun, di pihak lain, ada pula yang menolak mentah-mentah fatwa tersebut. Sudah bisa diterka, kalangan ini pada umumnya adalah kalangan yang justru gencar menyuarakan pemikiran-pemikiran liberal, terutama soal paham pluralisme.
Paham pluralisme, khususnya di Indonesia, memang tergolong ‘alot’ dalam perkembangannya. Umat Islam mayoritas menolak paham ini, karena menganggap bahwa mengikuti paham pluralisme berarti sama halnya dengan menyalahi tuntutan kitab suci yang menyatakan bahwa agama yang paling benar hanyalah Islam. Di luar itu, paham-paham apa pun adalah haram.
Namun, jika ditelisik lebih dalam dari sumber primer ajaran Islam, yaitu Alquran dan hadis-hadis Nabi SAW, benarkah paham pluralisme sama sekali tidak diberikan tempat yang wajar? Sementara itu, pada sisi yang lain, seperti tercatat dalam sejarah kegemilangan Islam sendiri di masa silam, saat terjadinya penaklukan Islam atas daerah-daerah yang mayoritas beragama lain oleh umat Islam mereka terlindungi dan dijamin hak ber-agamanya. Satu hal yang tentu saja mengisyaratkan bahwa soal pluralisme bisa diterima secara ‘ikhlas.’

Debat soal pluralisme
Secara umum, setidaknya ada dua pandangan dalam memandang paham pluralisme. Masing-masing pandangan itu merupakan pandangan yang sangat kontra satu sama lain. Pandangan pertama adalah pandangan yang memahami pluralisme sebagai paham yang haram dikonsumsi oleh umat Islam.
Alasannya, pluralisme dalam hal ini sudah memasuki wilayah teologis (akidah/tauhid). Yaitu menyamakan semua agama sebagai agama yang sama-sama benar. Berbicara masalah akidah, menurut kalangan ini, yang harus menjadi pegangan umat Islam adalah dua sumber primer ajaran Islam: Alquran dan hadis Nabi Muhammad SAW. Umat Islam tidak diperbolehkan menggunakan akal dalam memahami akidah. Mutlak harus bersumber pada dua teks suci tersebut.
Kalangan ini mengutip ayat Alquran, “Sesungguhnya agama yang paling diridhai di sisi Allah hanyalah agama Islam.” (Qs. Alu Imran: 19). Selain itu, ada juga ayat, “Siapa yang mencari selain Islam sebagai agamanya, maka agama itu tidak akan diterima oleh Allah. Di akhirat, ia termasuk ke dalam golongan orang-orang yang merugi.” (Qs. Alu Imran: 85). Dua ayat ini sudah tegas mengindikasikan bahwa kebenaran hanyalah ada pada Islam. Di luar Islam, tidak ada satu agamapun yang benar.
Pandangan kedua adalah pandangan yang (juga ekstrim) dalam memahami pluralisme sebagai sebuah paham yang halal mutlak untuk dikonsumsi oleh umat Islam. Alasannya, dalam teks-teks suci Alquran sendiri, isyarat ‘diterimanya’ pluralisme adalah absah.
Dalam Alquran, misalnya, ada beberapa ayat yang menjurus pada hal itu, “Wahai ahli kitab, marilah menggunakan istilah yang sama antara kami dan kamu: bahwa kita takkan menyembah siapa pun selain Allah; bahwa kita takkan saling mempertuhankan selain Allah. Jika mereka berpaling, katakanlah: saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang tunduk pada kehendak Allah.” (Qs. Alu Imran: 64).
Selain itu, pada ayat yang lain, Allah SWT juga mengatakan, “Sekiranya Allah menghendaki, niscaya Ia akan menjadikan kamu sekalian satu umat, tapi Ia hendak menguji kamu atas pemberian-Nya. Maka, berlombalah kamu dalam kebaikan. Kepada Allah tempat kamu kembali, maka kelak akan ditunjukkan kepadamu apa yang kalian perselisihkan.” (Qs. Al-Maidah: 64).
Pada ayat yang lain, “Sesungguhnya, orang-orang yang beriman, Yahudi, Nashrani, dan Shabiun, siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat dan beramal baik, maka pahalanya ada pada sisi Allah. Tidak ada ketakutan dan tidak ada kesedihan pada diri mereka.” (Qs. Al-Baqarah: 62).
Secara umum dapat disimpulkan bahwa masing-masing pihak mengklaim menemukan dasar pijakan teologisnya masing-masing dari Alquran. Dan, oleh karena itu, masing-masing pihak, terutama yang pro pluralisme ‘menuntut’ agar paham itu ‘dibiarkan’ bersemi dan tumbuh berkembang sebagaimana paham-paham lain. Jangan sampai paham itu dilarang atau ‘diharamkan.’

Bagaimana bersikap
Pada hemat penulis, dua pandangan yang saling bertolak belakang dalam menyoal paham pluralisme berpotensi menimbulkan dampak yang kurang baik dalam ranah sosial. Mau tidak mau, imbasnya akan sangat terasa. Apalagi jika salah satu dari dua pandangan itu ‘disokong’ oleh kekuatan politik yang berkuasa. Bisa jadi, dalam tataran ini, pemahaman mendapat kekuatan dari penguasa politik. Jika ini terjadi, maka masalahnya tidak akan murni lagi wacana pemikiran, tapi sudah dipolitisir.
Hemat penulis, hal pertama yang perlu dijelaskan adalah soal definisi pluralisme itu sendiri. Soalnya, banyak pihak, dengan pandangannya masing-masing, menyatatakan haram atau halal tetapi didasari oleh definisi masing-masing yang tidak bertemu pada satu titik kesamaan. Sehingga, kesimpulan yang lahirpun dapat dipastikan berbeda.
Secara kebahasaan, pluralisme berarti paham yang mengakui kemajemukan dan keberbedaan sebagai hal yang absah. Definisi ini masih sangat umum, dapat menyangkut hal apa pun, baik itu pada hal agama, sosial, budaya, ekonomi, dan lain sebagainya. Pluralisme agama dengan demikian mengakui bahwa agama-agama yang berbeda adalah pada hakikatnya sama dalam tataran substansi walaupun dalam tataran praktek keagamaannya tidak sama.
Pluralisme lebih didasari oleh anggapan bahwa pada hakikatnya agama adalah persoalan keyakinan dari masing-masing pemeluk agama terhadap Tuhannya. Jika agama adalah persoalan keyakinan, maka tidak ada yang dapat menjamin bahwa keyakinan seseorang adalah yang paling benar sementara yang lain adalah salah. Umat Islam memiliki keyakinan yang sama terhadap Tuhannya sebagai yang paling benar. Namun, orang non muslimpun juga memiliki keyakinan yang sama akan Tuhannya sebagai yang paling benar.
Jika demikian halnya, hemat penulis, sebagai langkah moderat dan dapat dilakukan oleh semua penganut agama adalah mengedepankan sikap toleransi yang tinggi. Toleran yang diimplemantasikan dalam bentuk kerjasama sosial dan membangun rasa solidaritas antar penganut agama.
Kebenaran agama masing-masing sebagai yang paling benar hendaknya cukup diletakkan dalam tataran teologis masing-masing. Sedangkan, dalam tataran sosiologis atau pergaulan hidup, hendaknya kerjasamalah yang lebih dikedepankan berdasarkan atas kesamaan kemanusiaan.
Karena itu, pada hemat penulis, penghargaan dan penghormatan terhadap perbedaan agama mutlak dilakukan. Negara Indonesia sendiri, secara konstitusional telah menjamin akan hal itu (lihat pasal 29 ayat 2 UUD ‘45).
Negara ini bukan negara teokrasi (agama), yang memungkinkan penguasa agama tertentu menjadi tiranik. Negara ini adalah negara demokrasi yang menjamin segala perbedaan apa pun layak berada dan bersemi sesuai dengan koridor hukum negara yang berlaku.
Masalah pemahaman tidak hanya terkait dengan wacana pemikiran argumentatif semata, tapi juga terkait dengan persoalan sosial yang menggejala dan teramat pelik yang itu membutuhkan kerjasama yang tinggi dari semua pihak tanpa terhambat oleh perbedaan-perbedaan yang ada, baik itu perbedaan suku, agama, ras, atau budaya. Wallahu a’lam bi as-Shawab.

Duta Masyarakat, Rabu 5 Oktober 2005

Tidak ada komentar: