Jumat, 17 Agustus 2007

Meraih Keuntungan Ganda dalam Usaha

Pada hakikatnya, setiap manusia oleh Allah SWT sudah ditetapkan rizkinya, sejak mereka berada di dalam kandungan sang ibu. Tercatat dalam salah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Rasulullah SAW bersabda, “Hakikatnya, proses penciptaan kalian itu, dahulu berada di dalam perut ibu kalian selama lebih kurang empat puluh hari. Kemudian (percampuran sperma dengan ovum) menjadi segumpal darah. Lalu berubah lagi, menjadi segumpal daging. Setelah itu, Allah memerintahkan kepada malaikat-Nya untuk menuliskan empat hal yang berkaitan dengan janin tersebut. Allah berkata kepada malaikat, ‘Tulislah amalnya, rizkinya, ajalnya, dan nasibnya (sengsara atau bahagia).’” (HR Bukhari dari Abdullah bin Mas’ud).
Dalam bahasa Arab, usaha mencari rizki untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia disebut dengan al-kasb (jamak: al-Makasib). Dalam hadis yang lain, Rasulullah SAW bersabda, “Makanan yang paling baik untuk dimakan adalah yang seseorang hasilkan dari usaha (kasb)-nya.” (HR Tirmidzi, Abu Dawud, Nasai, Ibnu Majah, dan Ahmad). Dalam versi yang lain, Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada usaha paling baik yang dilakukan oleh seseorang selain dari usaha tangannya sendiri.” HR Ibnu Majah).
Al-Mubarakfuri, pen-syarah Sunan At-Tirmidzi dalam Tuhfah al-Ahwadzi bi Syrah Jami’ at-Tirmidzi-nya menjelaskan bahwa maksud dari min kasbikum (dari usaha kalian) adalah usaha mandiri sendiri sebagai bentuk tawakalnya kepada Allah SWT, tanpa menggantungkan hidup dan kehidupan kepada orang tua, kerabatnya, maupun anak-anaknya. Apa yang seseorang hasilkan adalah murni usahanya.
Dengan demikian, bekerja atau berusaha untuk mencari rizki guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, merupakan salah satu perbuatan yang mulia, dan memiliki nilai tinggi di sisi Allah SWT. Allah SWT sendiri telah menjamin bahwa setiap orang akan mendapatkan rizkinya jika berusaha. Apa yang manusia hasilkan, merupakan buah kerjanya.
Namun, dalam kenyataan yang terlihat di sekitar kita, banyak orang yang sudah berusaha sekuat tenaga. Ibarat memeras keringat membanting tulang, namun hasilnya ternyata tidak sesuai dengan upaya maksimalnya. Tidak jarang malah ada yang usahanya minimal, tapi hasilnya maksimal. Apakah dari hal demikian, Allah SWT menyalahi janji-Nya?
Jawabannya tentu tidak. Nilai sejati usaha manusia sebenarnya tidak mesti dan melulu dilihat dari jumlah nominal. Tapi juga bisa dilihat dari sisi lain, yaitu nilai berkah yang terkandung di dalamnya. Karena itu, dalam hadis yang lain Rasulullah SAW tegaskan bahwa apa yang dihasilkan dari usaha seseorang hendaknya atas dasar upaya positif, atau jalan yang baik, tidak curang, “Perbaguslah kalian dalam usaha mencari rizki, karena Allah akan memberikan kemudahan dari apa yang telah Ia ciptakan untuk kalian.” (HR Ibnu Majah).
Maka, usaha maksimal maupun minimal sebetulnya bukan penentu satu-satunya hasil. Hasil sudah pasti akan didapat ketika seseorang berusaha. Dan, hasil itu tidak mesti dipandang sebagai sebuah nilai dari upaya sebelumnya. Artinya, nilai dari hasil yang ia dapatkan dari usaha, justru ditentukan dari cara atau langkahnya dalam berupaya itu. Karena itu, usaha akan bernilai ganda jika dilakukan dengan jalan yang baik sesuai petunjuk dan tuntunan Allah SWT. Nilai positif bagi diri sendiri di dunia, sekaligus nilai mulia tak terkira di sisi Allah SWT di akhirat.
Karena itu, praktik-praktik penipuan, pencurian, dan kecurangan, dalam hal perdagangan yang dilakukan tidak dibenarkan dalam ajaran Islam. Usaha manusia harus pula mengindahkan norma-norma baku ajaran luhur Islam. Islam telah mengatur tata cara untuk memperoleh harta yang halal, dalam usaha apa pun, termasuk usaha perdagangan. Nilai keuntungan tidak semata-mata dari sisi materi, tetapi juga sisi keberkahan yang Allah SWT janjikan pada para usahawan yang jujur lagi dermawan.
Dalam satu kesempatan, Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang kami beri tanggung jawab menangani suatu urusan kemudian kami memberinya gaji, maka janganlah sekali-kali ia mengambil apa pun dari luar gaji yang sudah ditentukan itu. Karena, itu adalah penipuan (korupsi).” (HR Abu Dawud dari Abu Buraidah).
Harus diakui memang, bahwa salah satu sifat mendasar yang dimiliki oleh setiap manusia adalah keinginan untuk menumpuk kekayaan sebanyak mungkin. Dengan berbagai macam cara dan jalan yang ditempuh. Asalkan harta kekayaan yang ia impikan melimpah, dapat diraih. Tidak jarang, manusia menggunakan cara-cara licik seperti penipuan dan pencurian. Baik hal itu dilakukan secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi.
Termasuk kategori penipuan dan pecurian adalah korupsi. Karena, di dalam korupsi ada unsur-unsur manipulasi data dalam bentuk proyek-proyek fiktif. Atau, menyalahgunakan atau menyimpangkan dana dari ketentuan yang sudah direncanakan sebelumnya. Semua itu termasuk kategori penipuan dan pencurian yang itu adalah bagian dari bentuk-bentuk tindak kriminalitas.
Pada zaman Rasulullah SAW, tepatnya, saat penaklukan Mekkah (fathu Makkah), ada salah seorang putri pembesar Suku Makhzumiah bernama Fathimah al-Makhzumiyah yang tertangkap basah mencuri. Beberapa orang dari suku itu meminta keringanan hukuman kepada Rasulullah SAW melalui Zaid bin Haritsah yang dikenal dekat dengan Rasulullah SAW. Mereka bahkan mendesak Zaid agar meminta Rasulullah SAW untuk tidak jadi menghukum Fathimah.
Mendengar penuturan Zaid, Rasulullah SAW marah besar. Di hadapan para sahabatnya yang lain, Rasulullah SAW berkhutbah, “Wahai manusia, sesungguhnya, hal utama yang membuat umat-umat sebelum kalian hancur adalah disebabkan oleh ketidakadilan dalam menghukum. Jika para pejabat yang kuat melakukan kejahatan, mereka tidak dihukum. Justru, saat orang lemah melakukan kejahatan, mereka dihukum. Demi Allah, jika Fathimah putri saya sendiri terbukti mencuri, saya sendiri yang akan memotong tangannya.” (HR Bukhari-Muslim).
Korupsi merupakan kejahatan besar yang harus dibasmi di muka bumi ini. Karena, akibat yang ditimbulkan oleh kejahatan korupsi sangat mengerikan. Harta manusia diambil untuk kepentingan diri para koruptor sendiri. Mereka sibuk memperkaya diri dengan korupsi tanpa pernah sadar bahwa akibat perbuatan mereka, rakyat menderita lahir batin.
Para koruptor hakikatnya telah berbuat zalim terhadap orang lain. Padahal, Allah SWT menegaskan bahwa Dia tidak menyukai segala bentuk kezaliman terjadi di antara umat manusia. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya, Allah sangat benci terhadap segala tindak kezaliman. Karena itu, janganlah kalian saling menzalimi terhadap sesamanya.” (HR Bukhari-Muslim).
Kekayaan yang diraih dari hasil korupsi tidak akan pernah membuat seseorang bahagia dan tenteram. Kehidupannya tidak diberkahi Allah SWT. Sudah jauh-jauh waktu, Rasulullah SAW mengingatkan kepada umat manusia untuk menjauhi korupsi dalam bentuk larangan untuk mengambil apa pun di luar gaji yang sudah ditentukan.
Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang memiliki seorang pekerja, maka hitunglah gajinya dengan memperhitungkan pula keberadaan istri, pembantu, dan tempat tinggalnya. Barangsiapa yang mengambil di luar itu, maka ia berarti telah menipu atau mencuri.” (HR Abu Dawud dari Al-Mustaurid bin Syaddad).
Sistem ekonomi Islam yang biasa disebut dengan ekonomi syariah menawarkan sesuatu yang memberikan keuntungan ganda, tidak hanya keuntungan secara material melalui sistem bagi hasil yang transparan dan dapat dipertanggungjawabkan oleh masing-masing pihak, tetapi juga menjamin bahwa keuntungan itu diperoleh melalui cara-cara yang sehat sehingga dapat dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah SWT. Di situ ada usaha manusia yang membawa hasil signifikan. Juga, nilai sehat yang dihasilkan di dalamnya.
Jika Allah SWT sudah mewanti-wanti manusia untuk bermuamalah secara sehat, kenapa di antara sesama manusia masih saja ada yang mempraktikkan cara-cara sebaliknya. Semua pihak mesti ikut berpartisipasi menjawab dan menemukan solusi yang tepat demi terciptanya tata kehidupan muamalah yang sehat dan bernilai berkah. Wallahu a’lam bi as-Shawab.

Modal Sharia Business, Maret 2006

Tidak ada komentar: