Selasa, 21 Agustus 2007

Spirit Hijrah: Berjuang Membangun Bangsa

Bangsa ini masih belum beranjak keluar dari berbagai macam krisis. Dari mulai krisis yang paling kecil hingga yang paling besar. Krisis itu bahkan ada di segala bidang; politik, ekonomi, sosial, bahkan agama (baca: krisis keberagamaan). Akibatnya, beban yang harus ditanggung untuk melangkah ke depan terasa sulit. Belum lagi ditambah dengan beban rekonsiliasi terhadap sejarah masa lalu yang berdarah-darah yang pelakunya justru sesama warga bangsa, belum tercipta secara maksimal.
Pada titik ini, menjadi relevan untuk membicarakan berbagai hal yang solutif demi kondisi bangsa. Salah satunya adalah modal optimisme yang dilandasi dengan spirit konstruktif yang dilakukan secara massif, oleh segenap komponen bangsa, tanpa terkecuali.
Momentum tahun baru hijrah 1428, selain menjadi bahan perenungan juga bisa dijadikan spirit itu. Tanpa spirit semacam itu, bangsa ini akan tetap berjalan di tempat. Kalaupun beranjak, jalannya begitu pelan. Padahal, laju perjalanan dunia begitu cepat. Kita tentunya tidak ingin tertinggal jauh.

Spirit hijrah
Tahun baru umat Islam, 1 Muharram 1428 H, akan segera datang mengganti tahun sebelumnya. Itulah perguliran masa yang oleh Allah SWT singgung dalam firman-Nya, “Itulah hari-hari yang Kami pergilirkan di antara manusia.” (QS Ali ‘Imran [3]: 140).
Hari kemarin, saat ini, dan saat yang akan datang, tidaklah sama. Karena itu, amatlah merugi jika perputaran hari itu tidak diisi dengan niat yang tulus dan amal saleh manusia. Parahnya, kebanyakan manusia justru lebih memilih kerugian daripada keberuntungan, tanpa mereka sadari.
Allah SWT berfirman, “Demi masa. Sesungguhnya, kebanyakan manusia itu berada di dalam kerugian. Kecuali, orang-orang beriman dan beramal saleh. Dan, orang-orang yang saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.” (QS Al-’Ashr [103]: 1-3).
Kerugian tidak akan pernah dialami oleh orang-orang beriman dan beramal saleh. Juga orang-orang yang peka dengan kondisi lingkungan sekitar. Serta mereka yang peduli akan pentingnya amar makruf nahi mungkar sebagai wujud konkret ejawantah saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.
Momentum hijrah kali ini adalah satu di antara momentum-momentum penting ajang introspeksi dan retrospeksi diri untuk perjalanan ke depan yang konstruktif. Sudah sejauh mana kualitas iman dan takwa seseorang, di samping sudah sejauh mana perannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain kesadaran diri betapa banyak dosa dan kesalahan yang telah dilakukan selama ini. Rasulullah SAW bersabda, “Introspeksi dirilah kalian sebelum kalian diintrospeksi oleh orang lain.” (HR Bukhari-Muslim).
Sudah jamak diketahui bahwa kata hijrah, salah satunya, bermakna “berpindah,” yang berarti juga menandai adanya suatu perubahan mendasar yang bermisi dan bervisi konstruktif. Setidaknya, ada dua hal penting terkait dengan hijrah itu. Pertama, hijrah dalam pengertian fisik (kontekstual). Dan, dua, hijrah dalam pengertian non-fisik (kontekstualisasi atau aktualisasi).
Hijrah dalam pengertian pertama bermakna sebagai perpindahan (eksodus) sekumpulan orang-orang dari “Darul Kuffar” menuju “Darul Islam.” Secara kontekstual, inilah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya saat meninggalkan Mekkah demi menyelamatkan iman (keyakinan) mereka dari rongrongan, teror fisik dan psikis orang-orang kafir Quraysy. Mereka pergi menuju Madinah yang sebelumnya bernama Yastrib.
Hijrah dalam pengertian kedua bermakna sebagai hijrah dari perilaku atau sikap; juga sifat yang buruk menuju ke perilaku atau sikap, juga sifat yang baik. Serta, berhijrah untuk taat kepada yang Allah SWT dan Rasul-Nya perintahkan, dan meninggalkan yang dilarang. Semua itu dilakukan berlandaskan tuntunan ajaran Allah SWT dan Rasul-Nya. Rasulullah SAW bersabda, “Orang-orang muhajir (yang berhijrah) adalah mereka yang berhijrah meninggalkan yang dilarang oleh Allah.” (HR Bukhari-Muslim).
Makna hijrah dalam pengertian kedua adalah makna yang cukup relevan untuk konteks bangsa ini. Bangsa ini sudah saatnya kembali tersadarkan, dengan datangnya momentum hijrah, bahwa segala persoalan dan krisis maha dahsyat yang sedang melingkupi berakar dari pola hidup, sikap, dan sifat yang kurang memperhatikan tuntunan ilahi.
Maka, tidak ada kata lain bagi bangsa ini selain menyaringkan “hijrah” sebagai bentuk komitmen perbaikan menuju yang lebih baik dalam segala segi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sudah saatnya bangsa ini melihat kembali akar-akar mendasar krisis yang rupanya berasal dari mindset bangsa ini sendiri. Spirit hijrah adalah jawaban yang tepat untuk modal perbaikan bangsa yang lebih konstruktif.

Berjuang pantang menyerah
Namun, spirit hijrah juga tidak ada maknanya jika tidak dijadikan sebagai tema perjuangan pantang menyerah segenap bangsa. Suatu perjuangan yang membutuhkan waktu tidak sebentar. Perjuangan yang sama sudah dilakukan oleh para nabi dan rasul di masa lampau.
Allah SWT berfirman, “Sungguh, di dalam cerita-cerita (para nabi dan rasul) ada pelajaran barharga bagi orang-orang yang memiliki akal pikiran.” (QS Yusuf [12]: 111).
Simak, misalnya kisah Nabi Musa AS. Ketika belia beranjak dewasa dalam asuhan keluarga Raja Firaun di Mesir, pikirannya mulai berontak ketika ia melihat penderitaan yang dialami oleh bangsanya, Bani Israil, akibat tindak lalim dan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh Firaun, yang sekaligus adalah ayah asuhnya sendiri. Ia tidak dapat menahan diri lagi terlalu lama. Maka, ketika suatu hari ia bertemu dua orang dari dua bangsa yang berbeda; orang Mesir yang berkelahi dengan seorang Bani Israil, serta merta, Nabi Musa AS memukul orang Mesir itu hingga meninggal dunia.
Dalam Alquran tercatat, “Musa masuk ke kota Mesir ketika penduduknya sedang lengah, di tengah jalan, ia bertemu dengan dua orang, satu dari Bani Israil dan satunya lagi dari orang Mesir (pengikut Firaun) yang berkelahi. Ketika melihat Musa, orang dari Bani Israil itu meminta tolong Musa. Dengan cekatan, Musa memukul orang Mesir itu hingga meninggal dunia. Tiba-tiba Musa sadar dengan apa yang telah dilakukannya, ia bertaubat dan langsung berkata, ‘Ini adalah perbuatan setan, padahal setan itu adalah musuh nyata yang menyesatkan.’” (QS Al-Qashash [28]: 15).
Setelah kejadian itu, Musa menjadi buronan Firaun untuk dibunuh. Sadar dengan keadaan yang gawat itu, Musa lalu lari menuju negeri Madyan. Selama delapan tahun lebih, Musa menjadi murid Nabi Syu’ayb sekaligus menjadi menantunya. Di dalam negeri itu, rupanya banyak hal baru yang ia pelajari.
Masa delapan tahun lebih yang ia jalani di Madyan dijadikan satu kesempatan untuk menyusun strategi meruntuhkan kekejaman Firaun. Hingga tiba saatnya, Musa harus berhadapan langsung dengan Firaun, dan mengajaknya menyembah Tuhan Yang Esa. Singkat cerita, Musa mampu membawa Bani Israil keluar dari kekejaman dan penindasan Firaun, sekaligus meruntuhkan tahta kepongahan yang bertahun-tahun diusung Firaun.
Contoh lain adalah Nabi Muhammad SAW. Dalam perjuangannya, beliau juga mengalami hal yang tidak jauh berbeda seperti yang dialami oleh para nabi sebelumnya. Lebih kurang tiga belas tahun, sejak beliau diangkat oleh Allah SWT sebagai rasul untuk mendakwahkan ajaran kebenaran di Mekkah. Beliau rela untuk mengungsi terlebih dahulu ke Madinah guna menyusun rencana dan strategi, selain menghindari kekejaman orang-orang kafir Quraisy. Tepat di tahun ke delapan hijrah, kota Mekkah berhasil ditaklukkan dan dibersihkan dari unsur-unsur syirik yang ada. Berbagai patung berhala yang menjadi simbol kemusyrikan dan ketergantungan pada benda-benda keramat berhasil diruntuhkan oleh Nabi SAW.
Apa yang dilakukan oleh Nabi Musa dan Nabi Muhammad SAW, juga para nabi sebelumnya, memberikan gambaran kepada kita semua, bahwa perjuangan meruntuhkan kekejaman, penindasan, dan kelaliman, juga kepongahan perlu waktu, tidak langsung berubah total dalam jangka yang sangat singkat. Ini sekaligus memberikan motivasi kepada kita semua untuk tidak cepat pesimis dalam meraih cita-cita mulia.
Semua nabi berjuang dalam tempo yang tidak sebentar untuk meruntuhkan kemusyrikan dari muka bumi. Susah payah, sedih, dan cucuran keringat, bahkan tetesan air mata dan darah rela mereka keluarkan guna meraih tujuan mulia dan suci: menegakkan kebenaran risalah Allah SWT.
Maka, tidak ada alasan bagi seorang yang komit berjuang menegakkan kebenaran dan ajaran Allah SWT untuk pesimis. Perjuangan membutuhkan perencanaan dan strategi yang jitu. Dan semua itu membutuhkan waktu. Perjuangan untuk merubah sesuatu yang telah membudaya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Para nabi Allah SWT rela mengorbankan waktunya untuk meraih hasil maksimal.
Sukses membangun bangsa
Perjuangan tanpa kenal lelah seperti dipaparkan di atas, relevan dilakukan saat ini, di negeri yang memulai kehidupan baru setelah berbagai macam model pemerintahan diberlakukan, tetapi masih belum juga mampu mengangkat kondisi bangsa ke tahapan ideal, bahkan maju. Sebagai warga Indonesia, kita tentu tidak menginginkan negeri yang sudah dibangun oleh para pendahulu kita ini jadi runtuh dan ambruk begitu saja. Pembangunan negeri harus tetap menjadi prioritas utama kerja seluruh komponen bangsa. Segala bentuk penyimpangan dan penyelewengan dalam urusan kenegaraan harus disingkirkan dari bumi nusantara ini.
Pembangunan negeri tidak sekadar dari sisi infrastruktur fisik, tetapi sisi moralitas juga harus menjadi hal utama yang tidak boleh dilupakan. Hal demikianlah yang pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam sejarah Islam, kita tahu ketika Nabi SAW dan kaum muslimin tiba dari Mekkah di Madinah, langkah awal yang dicanangkannya adalah pembangunan masjid. Satu tempat yang multiguna, baik itu sebagai pusat musyawarah penduduk Madinah, juga merupakan tempat pengembangan pendidikan Islam di samping ibadah.
Dalam buku Tauhid Sosial-nya, M. Amien Rais menawarkan lima kunci dalam meraih kesuksesan dalam pembangunan negeri. Pertama, mempunyai keberanian moral. Setiap elemen masyarakat bangsa harus memiliki keberanian untuk mengatakan bahwa yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Dalam satu hadis disebutkan bahwa, “Katakanlah yang benar, meski itu menyakitkan.” (HR Ibn Hibban).
Kedua, memiliki sikap istikamah, konsisten dan teguh pendirian. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya, orang-orang yang menyatakan bahwa Tuhan kami adalah Allah, kemudian dia istikamah dengan apa yang dia ucapkan, maka para malaikat akan turun memberikan keamanan dan ketenangan untuknya,” (QS Fushshilat [41]: 30). Dua hal yang menjadi idaman setiap orang adalah ketenangan dan keamanan. Dalam istikamah inilah Allah SWT menjanjikan keduanya.
Ketiga, memiliki konsep yang jelas. Suatu pembangunan, betapapun besar dan fantastisnya, tidak akan membawa manfaat apa-apa kalau tidak ditunjang dengan konsep yang jelas. Untuk apa, oleh siapa, dan bagaimanakah pembangunan itu, tergantung konsep. Karena itu kejelasan konsep mutlak diperlukan.
Allah SWT berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaknya setiap diri melihat (merencanakan) apa yang akan dilakukan untuk masa ke depan. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya, Dia Maha waspada terhadap yang kalian perbuat.” (QS Al-Hasyr [59]: 18). Pada ayat yang lain, “Jika kamu selesai dengan suatu pekerjaan, maka segeralah melanjutkan dengan pekerjaan lain. Dan, hanya kepada Tuhan, kamu harus menggantungkan harapan.” (QS Al-Syarh [94]: 78).
Keempat, memperoleh dukungan rakyat atau masyarakat. Dalam sebuah negara, elemen rakyat tidak dapat diabaikan begitu saja. Merekalah sesungguhnya yang menjadi pilar utama sukses tidaknya sebuah pembangunan. Dukungan rakyat akan menambah daya bangun sebuah bangsa.
Allah SWT berfirman, “Karena rahmat dari Allahlah, kamu berlaku lembut pada mereka. Seandainya kamu berbuat kasar dan berhati keras, mereka pasti akan lari meninggalkanmu. Karena itu, maafkanlah mereka dan mintakan ampunan untuk mereka, dan ajaklah mereka bermusyawarah mengenai suatu hal. Jika kamu telah berniat, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya, Allah mencintai orang-orang yang bertawakal.” (QS Ali ‘Imran [3]: 159).
Kelima, memiliki visi ke depan yang jelas, tidak mengambang (niat yang jelas). Sebuah negara sejatinya adalah sebuah wadah penampung aspirasi rakyat. Akan dibawa ke mana dan bagaimana, tergantung oleh negara/pemerintah. Negara yang baik adalah negara yang mampu memberikan jaminan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Karena itu, sebuah negara harus memiliki pandangan visi ke depan yang jelas dan terencana dengan matang. Semuanya bertujuan demi kepentingan dan kemaslahatan rakyat.
Rasulullah SAW bersabda, “Setiap amal hendaknya dimulai dengan niat. Karena, setiap orang akan mendapatkan sesuatu sesuai dengan niat sebelumnya. Siapa yang berniat hijrah karena ingin mendapatkan dunia atau ingin mendapatkan perempuan untuk dinikahinya, maka ia akan mendapatkannya.” (HR Bukhari-Muslim dari ‘Umar ibn al-Khaththab). Pada riwayat lain, ada tambahan, “Siapa yang berniat hijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka ia akan mendapati (berhijrah kepada) Allah dan Rasul-Nya.” (HR Abu Dawud al-Sijistani, Ibn Majah, Ibn Hibban, Abu Dawud al-Thayalisi, Thabrani, Bayhaqi, Thahawi, Abu Nu’aym al-Ashbihani, Humaydi, dan Qadha’i, dari ‘Umar ibn al-Khaththab). Wallah a’lam.

Al-Waasit, Jumat 26 Januari 2007

Tidak ada komentar: