Selasa, 21 Agustus 2007

Tanggungjawab Sosial-Keberagamaan Pascahaji

Ibadah haji tahun ini diwarnai dengan tragedi kelaparan hingga 2 hari di padang Arafah (wukuf) dan Mina yang memilukan akibat buruknya pelayanan haji yang melibatkan pihak pemerintah kita (Departemen Agama) dan pemerintah Arab Saudi. Suatu tragedi yang menuai reaksi keras dari berbagai pihak di dalam negeri, hingga berbuntut tuntutan agar Menteri Agama, Maftuh Basyuni, menanggalkan jabatannya sebagai wujud pertanggungjawaban konkret, tidak sekadar meminta maaf pada para jamaah.
Alih-alih memenuhi tuntutan itu, pihak pemerintah membuat tim investigasi khusus untuk mengetahui penyebab sesungguhnya tragedi. Karena, desas-desus yang terdengar, setidaknya menurut versi Departemen Agama selaku pihak penyelenggara ibadah haji, ada sabotase di pihak Arab Saudi, terutama dari penyedia jasa katering makanan lama (muasasah) yang “sakit hati” karena setelah 24 tahun memberikan pelayanan ditinggalkan, diganti dengan penyedia jasa katering baru yang, katanya lebih murah, baik, dan cepat, meski belum berpengalaman (Ana for Development). Tetapi, tetap saja, alasan Departemen Agama dianggap hanya pembelaan, setidaknya oleh berbagai kalangan di dalam negeri.
Terlepas dari persoalan ketidakbecusan berbagai pihak penyelenggara, yang jelas, kita semua tidak ingin itu terjadi di tahun-tahun berikutnya. Perbaikan mutlak harus dilakukan. Entah perbaikan itu dengan jalan mencopot jabatan sang menteri, atau yang lainnya. Tulisan ini tidak bermaksud memperpanjang daftar “penghakiman” terhadap pihak-pihak tertentu, tetapi ingin menyuguhkan ibadah haji dalam perspektif keberagamaan pasca haji, yakni setelah para jamaah pulang kembali ke tanah air.

Tidak sekadar ritual
Pada hakikatnya, ibadah ritual, apa pun bentuknya, seperti yang diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya—mengikuti alur pemikiran Fazlur Rahman—diharapkan dapat membekas di dalam jiwa pelakunya melalui upaya-upaya peresapan nilai-nilai mulia yang terkandung di dalamnya. Tetapi, nilai-nilai yang diresapi itu juga belum melahirkan dampak positif dalam bentuk hasil nyata kemanfaatan yang bernilai lebih baik jika terbatas hanya pada perolehan kemanfaatan untuk diri sendiri. Karenanya, nilai-nilai yang telah diresapi harus diaktualisasikan ke dalam bentuk amaliah positif kehidupan nyata.
Singkat kata, ibadah ritual, seperti shalat, puasa, zakat, atau haji, harus pula memberikan dampak positif bagi orang lain, tidak hanya bagi diri sendiri. Ibadah shalat, misalnya, jika diresapi maknanya secara lebih mendalam, lalu nilai-nilainya membekas dan diterapkan dalam kehidupan sosial, maka dapat memberikan sesuatu yang bermanfaat. Inilah manfaat nyata yang disebutkan oleh Allah di dalam firman-Nya, “Dirikanlah shalat. Sesungguhnya, shalat itu mencegah keburukan dan kemungkaran.” (QS Al-‘Ankabut [29]: 45).
Demikian pula dengan ibadah haji. Ibadah ini sarat dengan nilai-nilai dasar yang bertujuan untuk menguatkan daya spiritual (ruhaniah) pelakunya. Tidak hanya itu, di balik praktik-praktik ritual ibadah ini, terdapat nilai-nilai lebih dalam yang akan didapat kemudian jika dipraktikkan oleh pelakunya setelah ibadah ini dilakukan berkaitan dengan kehidupan sosialnya ke depan.
Sebagai contoh, seperti yang diungkapkan oleh Ali Syariati, pada saat di padang Arafah (wukuf), semua orang berkumpul melepaskan atribut-atribut dan status sosial yang disandang. Semuanya dibungkus dengan kain putih yang sama dan di tempat yang sama pula berbaur satu sama lain melakukan penyembahan pada Allah Yang Mahaesa. Tidak ada perbedaan sama sekali. Yang ada, persamaan dari sisi kemanusiaan, persaudaraan, rasa solidaritas, dan kepekaan yang tinggi terhadap sesama.
Ritual ibadah haji dilakukan hanya beberapa hari saja yang telah ditentukan dalam satu tahun (bulan Dzulhijjah, tanggal 8-10). Di luar ibadah haji, ada bentuk-bentuk ibadah lain yang intensitasnya jauh lebih lama dilakukan, seperti shalat, zikir, atau yang lainnya. Karenanya, momen haji yang beberapa saat itu akan jauh lebih bermakna jika itu kemudian tercermin dalam perilaku pelakunya setelah pulang berhaji.

Haji yang mabrur
Haji mabrur yang disebutkan oleh Rasulullah akan dibalas dengan hadiah surga, “Tidak ada haji yang balasannya surga selain haji yang mabrur,” (HR Bukhari-Muslim) harus menjadi cita-cita final orang-orang yang berhaji. Namun, cita-cita itu bisa jadi hanya mimpi jika haji yang dilakukan sama sekali tidak membekas dalam sanubari yang itu tampak dalam perilakunya sehari-hari pasca haji. Atau, jika ibadah haji yang dilakukannya ternyata tidak membuat seseorang jera dalam melakukan tindak kejahatan dan keburukan.
Sepanjang sejarah kehidupan Rasulullah, beliau hanya sekali saja melakukan ibadah haji, yaitu haji Wada’ (haji perpisahan). Padahal, beliau memiliki kesempatan yang sangat luang. Setidaknya pasca Fathu Mekkah pada tahun ke-8 H. Namun, faktanya beliau tidak melakukannya secara rutin setiap tahun.
Para ulama fikih, seperti Al-Syafi‘i, menyatakan bahwa kewajiban haji hanya sekali. Selebihnya hanyalah sunah. Sementara umrah adalah ungkapan kerinduan dan napak tilas sejarah Nabi Ibrahim diisi dengan nilai-nilai ibadah kepada Allah. Dengan kata lain, nilai ibadah haji adalah untuk orang yang bersangkutan. Haji dalam dataran ini merefleksikan kepatuhan total terhadap apa yang Allah syariatkan. Pendek kata ia bertujuan untuk melatih daya spiritual atau batiniah.
Pada hadis lain, Rasulullah mengatakan bahwa haji mabrur adalah haji yang tidak diiringi, baik pada masa haji maupun setelahnya, dengan prektik-praktik negatif pasif dalam kehidupan sosialnya, “Siapa yang berhaji dengan niat semata-mata karena Allah, tidak berkata kotor dan berbuat fasik, maka ia akan menjadi sosok suci seperti bayi yang dilahirkan oleh ibunya.” (HR Bukhari).
Haji adalah upaya pembersihan jiwa dengan jalan melakukan ibadah melalui alur napak tilas seorang Nabi yang dikasihi Allah, Ibrahim dan keluarganya (istri dan anaknya, Ismail). Melalui ibadah ini, umat manusia diarahkan untuk kembali kepada satu alur jalan yang lurus, yaitu tauhid. Inti ibadah haji secara praktikal ritual adalah tauhid. Maka orang yang hajinya mabrur, sejatinya menggambarkan secara total kepribadian yang bersih suci, siap mental menghadapi kehidupan ke depan, untuk membina masyarakat berdasarkan nilai-nilai haji yang sudah didapatkan.
Rasulullah tercatat hanya sekali melakukan ibadah haji, itu pun di tahun-tahun akhir menjelang kewafatan beliau. Ini menyiratkan bahwa ibadah haji itu bertujuan melatih kekuatan spiritual guna menghadapi tantangan kehidupan yang lebih riil, yakni pembangunan religiusitas masyarakat tempat di mana para jamaah berdiam. Dengan demikian, ibadah di ranah sosial jauh lebih urgensif dilakukan. Inilah haji mabrur, haji yang membawa para pelakunya mengamalkan prinsip-prinsip keberagamaan yang lebih bisa membawa kemanfaatan bagi semuanya, masyarakat bangsa tanpa perbedaan. Wallah a‘lam.

Indo Pos, Minggu 28 Januari 2007

Tidak ada komentar: