Selasa, 14 Agustus 2007

Karikatur Nabi dan Sentimen Anti-Barat

Karikatur Nabi Muhammad yang digambarkan memakai sorban berbentuk bom pertama kali muncul di media Denmark, Jyllands-Posten, September 2005, dan lalu disebarkan secara “sengaja” oleh sejumlah media massa Barat seperti Perancis, Norwegia, dan Slowakia, memicu reaksi masyarakat Islam di beberapa belahan dunia.
Spanduk anti-Barat dan demonstrasi besar-besaran digelar menuntut pemerintah terkait untuk mengecam “penghinaan” Barat terhadap sosok “mulia” panutan umat Islam. Lebih jauh, segala bentuk hubungan diplomatik dengan Barat segera diputuskan jika Barat tidak meminta maaf secara politik kepada seluruh umat Islam di penjuru dunia.

Reaksi
Para pemimpin dunia Islam tidak kalah merespon karikatur itu. Mantan Presiden Iran, Akbar Hashemi-Rafsanjani, pada salat Jumat pekan lalu di Teheran, menyebut karikatur menghina Nabi Muhammad sebagai “siasat tergalang terhadap Muslim untuk memaparkannya sebagai teroris.”
Ia melanjutkan, “Ini langkah paling kasar sejumlah suratkabar, karena menghina kesucian 1,6 miliar Muslim seluruh dunia. Jika menghina sosok tersuci 1,6 miliar orang dinyatakan sebagai kebebasan mengungkapkan pendapat, maka Muslim juga dapat membuat dirinya melakukan kebebasan serupa dan masuk ke panggung melawan Anda (Barat), bahkan lebih buruk daripada yang sudah dilakukan.”
Di Barat sendiri, beberapa pemimpin juga sudah melayangkan protes senada. Menteri Luar Negeri Inggris, Jack Straw, pekan lalu mengecam dengan menyebut tidak peka dan kurang ajar terhadap keputusan sejumlah media Eropa menerbitkan karikatur melecehkan Nabi Muhammad. “Bahwa ada kebebasan berbicara, kita menghormatinya. Tapi, tidak ada kewajiban apa pun untuk menista atau menghasut secara serampangan. Saya percaya bahwa penerbitan ulang karikatur itu tidak perlu, tidak peka dan salah,” katanya.
Straw memuji media Inggris, yang menunjukkan kepekaan dan tanggungjawab matang dengan tidak menerbit-ulangkan gambar tersebut. “Ada larangan di setiap agama. Itu bukan masalah ada celah dalam menghormati semua unsur upacara Kristen atas nama kebebasan berbicara,” kata Straw.
Di Indonesia, Wakil Presiden Jusuf Kalla, sebagai orang Islam, mengaku sangat keberatan atas pemuatan karikatur itu. Berbagai kelompok Islam, seperti Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), hingga Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), juga bereaksi keras mengecam pemuatan itu. Lebih jauh, kelompok-kelompok Islamis ini menekan pemerintan Indonesia secara resmi melayangkan protes politis pada pemerintah Denmark lewat dubesnya di Jakarta.
Aksi-aksi itu terus berlanjut akhir-akhir ini. Organisasi-organisasi Islam, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) juga tidak kalah kencangnya mengecam. Dipastikan, isu karikatur ini akan semakin memanaskan tensi umat Islam di seluruh penjuru dunia untuk waktu yang cukup lama, selama pihak Barat yang media massanya masih memuat karikatur tersebut.

Anti-simpati Barat
Pemuatan karikatur itu, pada hemat penulis, jelas-jelas menggambarkan sikap Barat yang “keterlaluan.” Sudah rahasia umum, sentimen anti-Barat di dunia Islam lama “membara” walau dalam “sekam.” Hal yang, mungkin, kurang terlalu diperhitungkan Barat. Hanya beberapa negara di dunia Islam yang secara terang-terangan menyatakan sentimen itu dalam forum politis, seperti Iran dan Afghanistan saat didominasi kekuatan Taliban. Itupun lebih karena persoalan politik dan ekonomi kapitalis Barat yang terlalu dominan di dunia Islam.
Tersebarnya karikatur Nabi Muhammad, makin menambah reaksi anti-Barat lebih menggelora. Karena, telah memasuki wilayah “sakral” umat Islam. Nabi Muhammad adalah sosok mulia panutan umat Islam di seantero penjuru bumi. Ia adalah sosok agung utusan Tuhan yang menyebarkan ajaran damai (Islam) yang menjadi rahmatan lil ‘alamin. Bukan sosok “haus darah” yang, bahkan, sorbannyapun berbentuk bom!
Karikatur itu kembali mengingatkan memori umat Islam atas beberapa pemikir orientalis masa silam yang menghina Nabi Muhammad melalui karya-karyanya. Sebut misalnya, Dante dalam Devine Comedy yang meletakkan sosok Nabi Muhammad di neraka tingkat delapan.
Juga, karya orang-orang Bizantium tempo dulu yang menyebut umat Islam dengan istilah Saracens, sebagai orang-orang musyrik penyembah Muhammad. Muhammad sendiri mereka sebut sebagai tukang sihir atau setan yang selalu didongengkan kepada anak-anak nakal untuk menakut-nakuti mereka sebelum tidur. Lebih keji lagi, Muhammad digambarkan sebagai sosok manusia “haus seks,” naudzubillah min dzalik.
Tetapi, dalam perkembangannya, banyak pemikir-pemikir Barat yang meninggalkan pemikiran pendahulu-pendahulunya itu. Mereka, banyak yang justru memuji sosok Nabi Muhamad dan menempatkannya pada posisi yang tinggi dan penuh simpati. Sebut, misalnya, Peter the Venerable (1142), John Segovia dan Nicholas Cusa pada abad ke-15, Barthelmy d’Herbelot dalam Bibliotheque Orientale, lalu Louis Massignon, H.A.R. Gibb, Henri Corbin, Annemarie Schimmel, Marshal G.S Hodgson, Wilfred Cantwell Smith, Maxime Rodinson, Nikki R. Kiddie dan Giles Kepel, dan Roy Mottahedeh.

Menyiram bara
Bara yang telah tersulut memanas dan berubah menjadi api kebencian menjadi-jadi mesti segera disiram air sehingga padam walau pada akhirnya menyisakan warna hitam gosong. Hal itu akan jauh lebih baik daripada dunia terus mengecam model kebebasan berekspresi Barat yang “kelewat batas.”
Seperti yang diungkapkan oleh tokoh-tokoh di Barat sendiri, kebebasan memang dijamin sedemikian rupa. Tetapi, kebebasan yang tidak menghina keyakinan dan kepercayaan orang beragama. Maka, tepat, apa yang dikatakan oleh ketua Konferensi Uskup Slowakia, Monsinyur Frantisek Tondra, dan di Praha oleh kepala Katolik Ceko, Kardinal Miloslav Vlk. bahwa karikatur Nabi Muhammad itu keterlaluan.
“Tak seorang pun dibolehkan mencampuri lambang dan ungkapan paling suci umat berjumlah sangat besar di planet kita ini, kata Tondra. “Kebebasan manusia tidak tak terbatas,” kata Vlk, “Ada batasnya, yakni saat itu menyangkut kebebasan orang lain.” Tondra menyatakan bahwa orang bukan Muslim harus menunjukkan kepedulian serupa dengan yang mereka harapkan dari Muslim, dan pengecam karikatur itu hendaknya tidak menghasilkan kekerasan. Vlk menyatakan, Muslim sekarang merasakan seperti yang dirasakan banyak orang Nasrani bila Yesus dihina.
Jawaban terhadap kecaman itu tentunya berpulang pada pihak Barat sendiri. Apakah akan semakin memperbesar api atau justru meredamnya dengan permintaan maaf disertai aksi konkret: tidak memuat karikatur itu kembali untuk selamanya demi menjaga kaharmonisan hubungan Barat-Islam yang mulai tumbuh mekar dan damai. Wallahu a’lam.

Duta Masyarakat, Rabu 15 Februari 2006

Tidak ada komentar: