Sabtu, 18 Agustus 2007

Musibah Bangsa, Berkah bagi Siapa?

Pergantian tahun yang diharapkan membawa angin perubahan bagi kondisi bangsa yang diterpa berbagai musibah, baik di darat, di laut maupun di udara, ke arah perubahan yang lebih baik ternyata belum juga terwujud. Alam memiliki “logikanya” sendiri, sebagaimana manusia juga memiliki “logikanya” sendiri. Kedua “logika” yang kadang sulit dikompromikan bersama. Manusia ingin alam terus-menerus ramah, tetapi alam tidak selalu seperti yang diinginkan manusia.
Dalam konteks musibah, yang secara kasat mata dilihat juga sebagai akibat kondisi alam yang tidak diinginkan oleh manusia, tetapi bagi alam itulah “logikanya,” kerapkali membuat manusia selalu mempersalahkan alam sebagai kambing hitam berbagai musibah. Padahal, jelas, “logika” alam akan berjalan sebagai dampak lanjutan dari “logika” manusia yang kurang mengindahkan “logika” alam.
Sebagai contoh, musibah banjir yang menghancurkan beberapa wilayah Aceh akhir tahun lalu. Logika kita tidak sepenuhnya bisa mempersalahkan alam, karena logika kita juga melihat bagaimana penyebab terjadinya banjir adalah juga karena “logika” manusia yang error karena merusak hutan (illegal logging) tanpa memedulikan dampak buruk. Di sini, “logika” alam berlaku dan terjadi nyata, tanpa dapat dikompromi. Buntutnya, yang dirugikan dan menderita bukannya orang-orang yang memiliki “logika” error itu, tetapi rakyat kecil yang tidak tahu-menahu dan tidak berdosa.
Derita Rakyat
Selalu saja rakyat yang jadi korban setiap hal buruk yang terjadi di negeri ini. Sayangnya, rakyat yang jadi korban tidak disuguhi perbaikan-perbaikan lebih serius dan mendayagunakan mereka untuk meningkatkan taraf kehidupan yang telah musnah porak-poranda menjadi lebih baik, tetapi disuguhi dengan retorika-retorika dan janji-janji manis. Beruntung jika retorika dan janji itu benar-benar terwujud. Nyatanya, yang terjadi justeru lebih banyak sebaliknya. Parahnya, rakyat yang menderita itu dianjurkan bersikap sabar dan menyerahkan semuanya kepada Tuhan karena itu adalah suratan takdir-Nya.
Benarkah musibah itu adalah takdir Tuhan? Kenapa takdir-Nya buruk buat rakyat lemah, kecil, dan tak berdaya, bahkan tidak tahu-menahu, sementara takdir baiknya buat para pemilik “logika” error, yakni oknum-oknum yang berseliweran di mana-mana tetapi sulit ditangkap dan diadili? Jika Gus Dur, dalam salah satu bukunya, pernah mengatakan “Tuhan jangan dibela” karena Dia bisa membela diri-Nya sendiri, kenapa Tuhan tidak bisa membela rakyat lemah, kecil, dan tak berdaya, dari penindasan semacam di atas?
Salahkah Tuhan? Atau, jangan-jangan yang salah adalah persepsi kita tentang Tuhan yang kita anggap berbuat salah. Yang pasti, Tuhan tidak bisa dikonfirmasi langsung untuk mengetahui hakikat sejati di balik penderitaan rakyat akibat musibah yang terjadi. Maka, dalam titik ini, Tuhan sama sekali tidak layak disangkut-pautkan, apalagi dikambinghitamkan. Relasi Tuhan dan manusia terpisahkan oleh jarak dunia yang berbeda. Yang seharusnya dilakukan, berdialog dengan diri sendiri, orang lain, dan alam (lingkungan). Diri sendiri, orang lain, ataukah alam yang mengganas, yang salah?
Melihat kenyataan musibah yang terjadi, faktor alam seringkali dikambinghitamkan. Padahal, alam, dengan kemampuan berpikir manusia yang luar biasa, dapat diprediksi, disimulasi, lalu dibuat langkah-langkah antisipatif dengan berbagai bentuknya. Meski, tidak sepenuhnya dengan itu alam lantas di bawah kendali manusia. Tetapi, setidaknya itu bisa meminimalisasi dampak yang lebih besar. Pengambinghitaman terhadap alam bisa dibaca sebagai tidak hanya mencerminkan kelemahan (baca: keterbatasan) manusia, tetapi upaya pelarian dari tanggung jawab yang sudah seharusnya dilakukan secara baik dan maksimal oleh pihak terkait (pemerintah dan lembaga-lembaga penanggung jawab).
Sayangnya, keterbatasan manusia dan upaya pelarian dari tanggung jawab ini menjadi langkah pertama yang ditempuh, sekaligus menyuguhkan sebentuk gambaran persoalan akut pemerintah kita: selalu terlambat dan gagap dalam mengantisipasi. Padahal, berbagai prediksi sudah dilakukan dan direkomendasikan. Sayangnya, musibah terus-menerus menelan korban dalam jumlah maksimal. Tahun berganti tahun ternyata membuat semakin banyak nyawa rakyat yang hilang sia-sia. Di manakah peran tercepat dan tersigap pemerintah yang selalu diimpikan rakyat korban musibah?
Berkah bagi Siapa?
Di tengah kondisi rakyat yang demikian, kondisi kontras ternyata diperlihatkan pemerintah legislatif, yudikatif, dan (apalagi) eksekutif di negeri ini. Legislatif menuntut kenaikan gaji dari tahun ke tahun. Yudikatif masih dikelilingi mafia-mafia peradilan yang kian menumbuhsuburkan praktik-praktik suap dan ketidakadilan bagi rakyat. Sedangka eksekutif menganggap telah sukses menyejahterakan rakyat, padahal jutaan orang menganggur, kemiskinan dalam tataran ril bertambah, anak-anak kecil busung lapar, daya beli rakyat rendah, dan musibah terus datang tak kunjung berhenti. Lengkap sudah rakyat menjadi pelengkap penderita, justru sebagai akibat dari “perbuatan” tidak bertanggungjawab elite-elite yang mereka pilih sendiri.
Siapa yang menuai berkah dari kepedihan rakyat? Mengapa para pelaku dan big boss (aktor sentral) penebangan-penebangan liar yang mengakibatkan banjir belum pernah kita dengar tertangkap dan diusut tuntas, sekaligus dituntut bertanggung jawab mengembalikan kondisi hutan? Mungkin, saat ini, mereka ikut membantu para korban, seolah memiliki solidaritas dan kepekaan sosial yang tinggi. Atau, mungkin, mereka tengah tertawa terbahak-bahak menikmati hasil menguntungkan bersama oknum-oknum aparat atau oknum-oknum elite politik yang melindungi mereka selama ini.
Berkah bagi mereka, derita bagi rakyat. Sangat mungkin kalimat ini yang pantas kita ucapkan bersama-sama, hingga detik ini. Pemerintah harus introspeksi total jika ingin dianggap masih memegang prinsip “bersama kita bisa!” []

Duta Masyarakat, Selasa 06 Februari 2007
Investor Daily, Rabu 14 Februari 2007

Tidak ada komentar: