Sabtu, 18 Agustus 2007

Paradigma Penyeimbangan Alam

Bencana demi bencana melanda bumi Nusantara. Mulai bencana tsunami, tanah longsor, gempa bumi, semburan lumpur panas, banjir, dan kebakaran hutan. Semua itu menambah daftar “penderitaan” bangsa yang sudah dicabik-cabik oleh gempuran krisis multidimensi sebelumnya yang hingga saat ini masih belum sepenuhnya bisa diatasi pemerintah kita.
Pertanyaan yang sering kali muncul dalam benak kita antara lain, benarkah berbagai krisis dan bencana alam itu menjadi tanda (sign) bahwa alam sudah bosan hidup damai dengan manusia? Lebih jauh lagi, apakah Sang Pencipta alam benar-benar “marah” akibat ulah tangan-tangan kotor manusia yang tidak bertanggungjawab, apalagi mempertanggungjawabkannya?

Teologi alam
Perdebatan soal penciptaan alam pada awal mula hingga saat ini berkisar pada tiga pandangan umum. Pertama, pandangan bahwa alam diciptakan oleh Tuhan dalam sekejap melalui satu kata, “Jadilah,” maka terwujudlah alam raya. Kedua, pandangan bahwa alam ini tidak diciptakan langsung oleh Tuhan, tetapi melalui suatu proses alamiah yang dalam dunia fisika dikenal dengan istilah “lepasnya energi-energi super kuat yang berkontraksi satu sama lain.”
Dan, ketiga, alam pertama kali diciptakan Tuhan, tetapi dalam perkembangannya, alam melakukan proses “ekspansi” sendiri. Ekspansi ini bahkan diyakini masih berlangsung saat ini dan seterusnya.
Tulisan ini tidak ingin membicarakan detail perdebatan tiga pandangan di atas dengan teori-teori dan argumen-argumen masing-masing. Tulisan ini ingin membicarakan perihal alam dalam hubungannya dengan manusia dan Tuhan, Sang Penciptanya, serta bagaimana manusia mesti “berdamai” dengan alam.
Di sini, penulis berangkat dari pandangan bahwa alam diciptakan Tuhan, lalu melakukan prosesi perkembangan alamiahnya sendiri. Karena itu, penulis yakin, sebagaimana keyakinan banyak orang, bahwa mustahil tidak ada keterkaitan antara Tuhan, alam, dan manusia, serta dampak-dampak yang terjadi akibat hubungan-hubungan itu.
Berdasarkan pandangan ini, alam diyakini diciptakan oleh Tuhan dan Tuhan kemudian menyerahkan “mandat-Nya” kepada umat manusia agar memelihara, menjaga, dan memanfaatkannya untuk kemaslahatan mereka. Inilah yang dalam doktrin agama populer disebut dengan istilah “pertanggungjawaban misi kekhalifahan manusia.” Suatu pertanggungjawaban yang meniscayakan upaya-upaya positif manusia dalam memperlakukan alam.
Tuhan menitahkan umat manusia agar memperlakukan alam secara baik. Karena, alam yang kita kenal ramah dan memberikan apa yang kita butuhkan bisa saja berubah seratus delapan puluh derajat menjadi murka. Jika alam sudah murka, ia tidak bisa diajak dialog, kompromi, atau negosiasi. Dampak destruktifnya luar biasa. Sedikit pergerakan, pergeseran, hingga tumbukan lempeng-lempeng di dalam bumi bisa menghancurkan manusia.
Peristiwa tragis yang terjadi di bumi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Sumatera Utara (Sumut), Thailand, dan Srilanka, serta beberapa negara di pesisir Samudera Hindia tepat sehari setelah perayaan Natal Desember 2004, berwujud terjangan gelombang tsunami, membuktikan perubahan drastis alam ini. Meskipun peristiwa itu adalah peristiwa alamiah yang murni, bukan akibat ulah tangan manusia, kaum agamawan tetap meyakini bahwa itu adalah akibat ulah tangan manusia yang penuh dengan dosa dan maksiat. Itu peringatan Tuhan yang paling keras buat umat manusia.
Dampak religius pasca tsunami itu terasa. Lantunan doa-doa, perkabungan-perkabungan, dan pertobatan-pertobatan, nyaring terdengar. Manusia menyadari kemahatidakberdayaannya di hadapan kuasa Tuhan. Anggapan banyak orang, bumi NAD yang dikenal sebagai bumi yang ditempati oleh masyarakat religius saja masih ditimpa bencana mahadahsyat, apalagi masyarakat lainnya. Tuhan atau alam yang murka, setiap manusia memiliki anggapan masing-masing. Yang pasti, bencana itu menyatukan solidaritas religius manusia untuk “memberikan” sebagian miliknya kepada para korban bencana.Paradigma terhadap alam
Bumi Nusantara ini menyimpan potensi sumber daya alam (SDA) yang luar biasa. Tetapi, di balik potensi itu ternyata tersimpan kekuatan “lain” yang setiap saat menjadi petaka bagi penghuni di atasnya. Sejak tsunami Desember 2004, tsunami-tsunami lainnya diprediksi para ilmuwan bakal terjadi lagi, meskipun dengan kekuatan yang lebih lemah, di sepanjang pesisir barat Sumatera dan selatan Jawa hingga Nusa Tenggara.
Prediksi itu terbukti. Pada Senin, 17 Juli 2006, lepas tengah hari menjelang sore, pesisir selatan Jawa (Tasikmalaya, Ciamis, Cilacap, Kebumen, dan Yogyakarta), mendapat “kehormatan” diterjang tsunami. Bencana itu menelan lebih dari 600 korban jiwa plus kerusakan sarana dan prasarana fisik lainnya. Korban jiwa dan kerusakan itu memang masih kalah jauh dibandingkan dengan korban di NAD dan Sumut yang menelan hingga lebih dari 200 ribu jiwa.
Itu bencana yang sifatnya alamiah dan sulit dipastikan kapan terjadinya secara tepat. Bencana-bencana lain yang murni akibat kesalahan manusia juga terjadi. Sebut misalnya banjir, kebakaran hutan, dan semburan lumpur panas di Porong, Sidoarjo. Ketika tangan-tangan manusia ringan menggunduli hutan tanpa reboisasi, ketika pembukaan lahan-lahan baru dengan cara pembakaran, dan ketika eksplorasi SDA tanpa perhitungan dan pertimbangan dampak yang terjadi, bencana dan petaka tinggal menunggu waktu.
Pada kasus kesalahan manusia (human error) ini, paradigma baru perlakuan terhadap alam perlu diubah secara revolusioner. Paradigma yang ada saat ini adalah paradigma eksplorasi minus pelestarian. Pengerukan asal-asalan tanpa pertimbangan dampak lanjutan. Pemanfaatan besar-besaran tanpa pemikiran kemadharatan yang bakal terjadi.
Manusia harus memperlakukan alam dengan paradigma yang berintikan pada penjagaan keseimbangan. Pada titik ini, manusia sebetulnya mampu mengupayakannya. Keseimbangan alam bisa mencegah terjadinya prahara dan petaka. Manusia memang hanya bisa berupaya. Selama upaya-upaya penyeimbangan itu bisa dilakukan, kenapa tidak? Semoga bencana demi bencana yang telah terjadi menjadi bencana yang terakhir kalinya.

Duta Masyarakat, Selasa 5 September 2006

Tidak ada komentar: