Jumat, 17 Agustus 2007

Menimbang Kembali Gagasan Fikih Pluralis

Disadari maupun tidak, selama ini, fikih yang kita terima dan kita praktikkan dalam kehidupan sehari-hari lebih banyak yang bersifat taken for granted, bukan dari hasil upaya pengembangan-pengembangan yang bersumber dari landasan pemikiran kita sendiri.
Akhirnya, pada satu sisi, fikih kurang begitu mampu dalam merespon penuh segala problematika kontemporer yang terjadi di sekitar kita. Fikih pada akhirnya cenderung beku, kaku, dan hanya berisi dogmatisme membatu. Hal ini, salah satunya, diakibatkan oleh karena kita kurang terbiasa dalam menghadapi wacana keagamaan kontemporer.
Berbagai disiplin ilmu sosial modern yang tumbuh dan berkembang semakin maju, seperti sosiologi dan antropologi, oleh sebagian kita masih dianggap sebagai ‘bukan’ bersumber dari ajaran agama, sehingga tidak layak untuk dijadikan sebagai pertimbangan dalam tafsir agama.
Parahnya, sebagian kita malah cenderung menganggap bahwa fikih dan kaidah-kaidah yang menjadi landasannya telah final di titik puncaknya, dan tidak dapat dirubah atau diutak-atik sedemikian rupa. Maka, jangan heran jika ada yang mencoba mengutak-atik, bahkan sampai merubahnya, harus siap-siap—baik mental maupun fisik—dianggap sebagai ‘pembuat bidah’ atau ‘murtad,’ bahkan—yang lebih menakutkan lagi, ‘kafir.’
Sebetulnya, segala bentuk pemasungan dan pemaksaan pemikiran tertentu terhadap pemikiran pihak lain bukanlah inti sejati ajaran Tuhan. Daya nalar yang manusia miliki memiliki kapasitas dan potensi yang beragam. Semua itu ditujukan agar di antara manusia saling melengkapi segala kekurangannya. Jadi, selalu ada proses dialogis dalam membentuk sebuah peradaban yang humanis dan kosmopolit.
Keberbedaan kultur budaya dan geografis, serta tingkat daya intelektualitas dalam membaca realitas di sekelilingnya, seharusnya disikapi secara legawa dan lapang dada. Toh, di sana masih ada proses dialogis bagi pihak-pihak yang pembacaannya berlainan untuk saling mengemukakan argumennya masing-masing, bukannya malah menganggap pemikirannya paling benar, sedangkan yang lainnya salah dan harus disingkirkan.
Nabi Muhammad SAW saja, dalam kapasitasnya sebagai utusan Tuhan, tidak pernah mendeklarasikan kebenaran mutlak ada padanya. Beliau bahkan menyatakan bahwa dirinya hanyalah manusia biasa seperti juga yang lainnya. Hanya bedanya, beliau diberi ijasah untuk menyampaikan pesan Tuhan.
Dan, pesan itu tidak akan bermakna apa-apa ketika tidak mampu masuk dalam relung-relung kehidupan Arab kala itu. Akan menjadi sia-sia ketika pesan yang disampaikan Tuhan menghadapi ruang kosong dan hampa, yang sama sekali tidak berkaitan dengan konteksnya.
Maka, dalam hal ini, konteks menjadi urgen dalam memutuskan segala sesuatu, terutama hukum. Fikih pun seharusnya memperhatikan konteksnya. Ajaran agama yang ditafsirkan dalam bentuk fikih (ajaran praktis), dengan manafikan konteksnya justru semakin akan mengaburkan maksud dan tujuan dari agama itu sendiri. Alih-alih ingin mengamalkan ajaran secara kaafah, malah terjebak dalam kumparan dogmatisme yang cenderung membelenggu kebebasan berpikirnya.
Ketika kita dihadapkan dengan konteks keragaman dan keberbedaan, terutama dalam hal agama, atau ketika kita mau tidak mau harus berinteraksi dengan orang yang berbeda agama, sedangkan pada saat yang sama, fikih yang kita pegang adalah fikih eksklusif ataupun tertutup, dengan memarjinalkan atau menganggap pihak-pihak lain agama sebagai pihak inferior yang layak dimusuhi atau ditekan sedemikian rupa, maka pada hakikatnya kita telah gagal dalam mempola keberagamaan kita dalam konteks global.
Oktober 2003 silam, Paramadina meluncurkan buku cukup kontroversial berjudul Fikih Lintas Agama. Pelbagai macam kritik di satu sisi, dan apresiasi positif di sisi yang lain, mengalir deras. Majelis Ulama Indonesia (MUI) langsung merespon agar buku itu dihentikan dari peredaran karena dinilai sesat dan menyesatkan. Bahasa khas MUI yang sering terlontar untuk orang-orang yang pemikiran keagamaannya berbeda.
Namun, upaya MUI gagal total. Buku itu, hingga saat ini masih saja beredar dan tidak berpeluang untuk dibredel pemerintah. Sebetulnya, kalau dicermati lebih dalam, ada beberapa sebab kenapa selama ini wacana fikih pluralis—seperti yang digagas oleh tim Paramadina dan yang sealiran dengannya—dianggap sebagai hal tabu, sehingga terasa kurang begitu mendapat respon positif dari banyak kalangan.
Pertama, kurangnya penghargaan terhadap hasil-hasil pemikiran (ijtihad) orang lain. Hal ini, misalnya, terlihat dengan beberapa klaim terhadap para pemikir sebagai orang yang tidak memiliki ‘hak’ atau tidak ‘ahli’ dalam bidang fikih, sehingga tidak mempunyai nilai apa-apa ketika berbicara fikih. Klaim-klaim semacam ini tentu saja merupakan bentuk pemasungan terhadap pemikiran.
Kedua, pengaruh yang sangat kuat dari lembaga atau institusi tertentu yang dekat dengan kekuasaan. Atau, kalangan-kalangan tertentu yang sengaja menekan—bahkan mengintimidasi—sehingga mereka tidak memiliki kesempatan yang luas untuk mengembangkan diri.
Hal ini terlihat, misalnya, dengan munculya respon-respon negatif yang kemudian dihembuskan kepada masyarakat untuk bersikap hati-hati dalam menerima pemikiran yang ‘berbeda’ dengan yang selama ini mereka pegang erat. Kalau perlu sesegera mungkin menolaknya tanpa pertimbangan, karena pemikirannya sesat dan tidak sesuai dengan ajaran tertentu yang mereka anggap mutlak benar.
Ketiga, budaya eksklusif yang telah berakar kuat. Sebuah budaya yang anti kemajuan, dan tabu dengan keterbukaan, sehingga pada saat muncul gagasan-gagasan yang hakikatnya berupaya memajukan masyarakat, malah dianggap sebagai budaya impor yang tidak layak masuk dalam ajaran agamanya.
Akhirnya, budaya ini makin membikin manusia sebagai sosok yang berpikiran sempit, picik, dan akhirnya arogan, temperamental. Ujung-ujungnya, permusuhan, kebencian, dan provokasi, serta kecurigaan yang dihembuskan, bukannya kedamaian dan kesejahteraan atau kemaslahatan manusia yang diprioritaskan bersama.
Keempat, kepatuhan (taklid) buta terhadap sosok atau elit agamawan di kalangan tertentu. Ini, misalnya, teraktualisasi dalam bentuk kultus individu, atau kultus terhadap pemikiran-pemikiran masa lalu yang mereka anggap memiliki autoritas dan kesalehan tinggi, sehingga dianggap maksum (terhindar dari dosa). Maka, hanya mereka yang patut diikuti. Karenanya, tidak heran, jika mereka sering merujuk masa lalu sebagai masa yang paling baik. Sedangkan masa sekarang, kalau tidak baik maka lebih buruk lagi.
Mencermati hal ini, upaya pengembangan fikih pluralis memang cukup berat, tapi itulah kenyataan yang harus dihadapi oleh fikih pluralis. Namun, yang jelas, fikih pluralis telah mendapatkan pijakan teologis maupun filosofis, juga sosiologis yang kokoh, sehingga langkah ke depan cukup terbuka.
Apalagi, saat ini, interaksi antar umat beragama kian intens. Satu kredit poin berharga untuk mengembangkan wacana fikih pluralis lebih jauh, lengkap, dan lebih membawa maslahat bagi umat beragama, khususnya di bumi Indonesia.
Fikih pluralis yang meniscayakan adanya dialog konstruktif pada wacana-wacana fikih klasik untuk dihadirkan dalam konteks saat ini, merupakan upaya maju yang perlu didukung oleh semua kalangan. Fikih pluralis adalah fikih responsif terhadap persoalan aktual di masyarakat yang sedikit banyak mengadopsi pemikiran-pemikiran ulama klasik, tanpa mau mengkritisinya lebih jauh.
Dengan fikih pluralis, sebetulnya kita diberikan kesempatan untuk kembali menelaah wacana-wacana yang berkembang saat ini dalam perspektif fikih dialogis-inklusif. Bukan dalam perspektif fikih dogmatis-eksklusif. Karena fikih model terakhir ini tidak akan dapat berbuat banyak untuk menggiring kemajuan umat manusia.
Fikih pluralis, hemat penulis, bisa menjadi salah satu alternatif jawaban terhadap wacana realitas plural yang masyarakat kita hadapi saat ini. Dengan tetap berpijak pada wacana-wacana klasik yang terpinggirkan, fikih model ini mencoba mendaur ulang, atau membangkitkan kembali gairah pengembangan ijtihad kontekstual yang seakan lama terkubur dalam peti mati.
Fikih ini adalah refleksi problem-problem keumatan kontemporer yang memerlukan jawaban yang menggiurkan dan solutif juga memuaskan semua pihak. Dalam pengertian, berbagai sekat primordialisme yang membelenggu tidak menjadi halangan untuk menyelesaikan persoalan. Masing-masing pihak akan merasakan betapa keputusan yang diambil memiliki landasannya yang terbuka. Wallahu a’lam.

Duta Masyarakat, Senin 12 Desember 2005

Tidak ada komentar: