Selasa, 21 Agustus 2007

Vulgaritas Politik Memburu Kekuasaan

Jika hakikat politik tiada lain adalah merebut dan mendapatkan kekuasaan, maka pengajuan diri untuk menjadi menteri secara langsung (melamar sendiri) maupun diajukan, menjelang reshuffle kali ini, mudah dipahami. Alasan bahwa yang bersangkutan mampu semakin memperjelas betapa “nafsu” berpolitik semacam itu begitu kuat. Tanpa perlu mendebat, semua sepakat bahwa reshuffle sepenuhnya adalah prerogatif presiden. Artinya, tanpa melamar pun, jika presiden melihat seseorang itu dinilai kapabel dan bagus, potensi menjadi menteri terbuka lebar.

Vulgaritas politik
Melamar menteri tiada lain sama dengan meminta jabatan menteri. Sahkah hal ini? Sepanjang yang kita tahu, di dalam konsitusi kita tidak ada yang melarang atau mencegah setiap orang untuk melamar suatu jabatan. Sepanjang, tentunya, kemampuan yang dimiliki oleh pelamar sesuai dengan jabatan yang diinginkan. Artinya, melamar menteri, baik secara tersirat maupun tersurat, sah-sah saja. Tetapi, bagaimana jika lamaran itu dilakukan secara terbuka sambil secara pede mengatakan sebagai orang yang mampu?
Ada sebuah kisah menarik pada zaman Nabi Muhammad. Suatu saat, Abdurrahman bin Samurah meminta wasiat kepada beliau perihal jabatan. Beliau mengatakan, “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah sekali-kali kamu meminta jabatan atau kekuasaan. Karena jika engkau memperolehnya karena sebab meminta, maka engkau akan menanggung beban yang begitu berat. Tapi jika jabatan atau kekuasaan itu engkau peroleh bukan karena engkau memintanya, maka engkau akan akan dibantu oleh Tuhan dalam melaksanakannya.”
Dalam maknanya yang lebih luas, wasiat itu bisa dibaca dalam konteks etika berpolitik yang santun. Yakni, meski seseorang ingin mendapatkan jabatan, hendaknya tidak secara vulgar mengatakan keinginannya itu. Pada titik ini, istilah malu-malu tetapi mau justru lebih baik daripada secara terang-terangan memintanya. Sayangnya, etika itu kerap kali terpinggirkan karena “nafsu” berpolitik yang, meminjam istilah Anthony Downs, lebih menonjolkan keinginan untuk dipilih atau untuk menang dan berkuasa.
Soal kemampuan memang bisa diukur, sehingga dengan ukuran-ukuran itu seseorang merasa mampu mengemban suatu jabatan. Masalahnya, dalam konteks lamaran menteri, selain kemampuan adalah pertimbangan bahwa publik melihat betapa yang bersangkutan begitu pede. Saking pedenya, sampai-sampai meyakinkan presiden bahwa ia mampu. Sikap pede ini, pada satu sisi berpotensi tercitrakan oleh publik sebagai “bernafsu memburu” kekuasaan, meski pada sisi yang lain menggambarkan semangat untuk memberantas budaya “malu-malu tetapi mau” atau budaya “tawar-menawar di bawah meja.”
Apa pun alasannya, yang pasti publik melihat bahwa anggota legislatif berlomba-lomba melamar menjadi eksekutif. Padahal, tugas di lembaga legislatif belum tuntas dan memuaskan publik. Publik juga melihat bahwa legislatif, sebagai satu-satunya harapan rakyat untuk mewakili aspirasi ke pemerintah justru menjadikannya sebagai batu loncatan meraih kekuasaan. Secara radikal bisa dikatakan bahwa tujuan wakil rakyat sejatinya adalah mencari-cari peluang untuk mendapatkan kekuasaan, meski itu harus “meninggalkan” rakyat. Pendek kata, melamar menteri maupun jabatan-jabatan lain, menyemburatkan suatu ironi vulgaritas politik.
Masalahnya bukan terletak pada boleh atau tidak, karena memang sah-sah saja, tetapi politik yang jamak diketahui memang bertujuan untuk mendapatkan kekuasaan, tidak perlu secara vulgar digambarkan seperti itu. Godaan kekuasaan, memang masih terlalu kuat, pada saat yang sama elit-elit politis terlalu rapuh untuk menempatkan dirinya sebagai para pemain politik yang mendarmabaktikan segala kemampuan untuk kepentingan rakyat, bukan kepentingan kekuasaan.

Orientasi
Paradigma berpolitik vulgar dalam bahasa dan tindakan yang menggambarkan politik dalam perspektif “merebut kekuasaan” menyiratkan sebentuk penyakit laten bahwa segala perkataan maupun tindakan adalah berorientasi kekuasan. Ketika sudah memasuki gelanggang politik praktis hanya ada satu cobaan: kekuasaan. Apalagi, Indonesia yang betul-betul demokratis ini masih terlalu muda. Demokrasi masih baru dalam tahap terlaksananya pemilu-pemilu yang melibatkan partisipasi rakyat secara terbuka, di samping keberadaan partai-partai politik, dan adanya jaminan kebebasan berpendapat sebagai modal dasar menuju demokrasi sejati.
Pandangan Giuseppe Di Palma, seorang ilmuwan politik “transisi ke demokrasi”, yang menyebutkan bahwa demokrasi tiada lain adalah a matter of political crafting (persoalan menciptakan kiat-kiat politik), hendaknya tidak diterjemahkan sebagai sebatas memburu kekuasaan di tengah besar dan terbukanya peluang untuk itu dengan kiat-kiat semacam lamaran menteri atau tawar-menawar “bawah meja.” Keberhasilan suatu negara, menurut Di Palma, dalam membangun kehidupan sosial-okonomi dan politik yang demokratis akan sangat ditentukan oleh kesediaan elit nasional untuk menempuh kiat-kiat politik tertentu, yang tentunya berorientasi tidak hanya untuk memburu kekuasaan.

Media Indonesia, Rabu 9 Mei 2007

Tidak ada komentar: