Sabtu, 18 Agustus 2007

Momentum Hari Kemerdekaan: Kebangkitan dari Keterpurukan

Bulan Agustus ini, bangsa Indonesia merayakan hari kemerdekaannya yang ke-61. Sebuah tradisi turun-temurun yang diwariskan oleh para pendahulu kita untuk mengingatkan kembali bahwa kemerdekaan yang diraih tidak mudah. Ia diraih dengan kucuran darah dan deraian air mata kepedihan. Umat Islam menjadi lakon utama teraihnya kemerdekaan bangsa ini.
Pada usianya yang telah melewati setengah abad, Allah Swt memberikan “kado” perayaan dengan bencana demi bencana yang datang silih berganti. “Kado” perayaan yang telah dipersiapkan oleh Allah Swt dalam suratan takdir-Nya, “Tiada suatu musibah pun yang menimpa di muka bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam kitab (lawh mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya, yang demikian itu adalah amat mudah bagi Allah.” (Q.S. al-Hadîd [57]: 22).
Bencana demi bencana hebat di negeri ini dalam dua tahun terakhir kian meneguhkan predikat kita sebagai bangsa yang hidup akrab dengan bencana. Di balik tanah subur yang menumbuhkan berbagai macam tanaman, tumbuhan, dan pepohonan, ibarat tongkat kayu jika ditancapkan pasti akan berubah menjadi tanaman, rupanya menyimpan kekuatan maha dahsyat destruktif yang tersembunyi dan—sayangnya—laten..
Negeri ini terletak di tengah-tengah gugus garis khatulistiwa yang menjadikan kita berada di daerah tropis dengan sumber kekayaan alam hewani dan nabati yang melimpah ruah. Tetapi, sayang, alam tropis itu semakin hari semakin tidak ramah, bahkan kerap kali marah. Kerak bumi bergerak, bawah laut menggeliat, air tumpah ruah ke daratan berpuluh-puluh meter tingginya menyapu garis pantai seolah-olah menunjukkan keperkasaannya, gunung-gunung yang menyimpan panas api ribuan derajat celcius mulai bangkit kembali dari tidur panjangnya.
Di atas udara negeri, gumpalan awan dari uapan air laut yang menyiklus menjadi air hujan tampaknya juga mulai enggan menjatuhkan diri ke bumi-bumi tropis Sulawesi, Kalimantan, Jawa, dan Sumatera. Akibatnya, sejumlah kekeringan mulai unjuk gigi. Titik-titik api di wilayah-wilayah berhutan lebat juga mulai tampak. Beberapa di antaranya malah telah mewujud nyata menjadi api yang melalap hutan-hutan yang kehausan karena defisit air hujan.
Ketika defisit itu semakin bertambah besar, oknum-oknum tidak bertanggungjawab, minus nurani dan akal sehat, konsisten dan semakin bersemangat dengan aktivitas hariannya: bekerjasama dengan oknum-oknum aparat agar kayu-kayu ilegal (illegal logging) bernilai ekspor tinggi, aman dijual secara ilegal pula. Hutan dipangkas habis, reboisasi tidak pernah kita dengar menjadi agenda urgen pemerintah saat ini. Negara rugi puluhan miliar bahkan triliunan rupiah. Sementara itu, negara tetangga dekat kita, Malaysia, mulai kasak-kusuk mengkhawatirkan dampak kebakaran hutan. Hutan kita terbakar dan mengasapi negara tetangga. Malukah kita? Kata Rasulullah saw, “Tanyalah hati nuranimu.” (HR al-Bukhari-Muslim).
Itu di luar jantung pemerintahan. Di dalam jantung pemerintahan (ibukota), rutinitas banjir di setiap musim hujan tiba, tidak pernah terselesaikan. Padahal, di negeri ini, pakar-pakar teknologi di berbagai bidangnya cukup melimpah. Salahkah pakar-pakar itu jika tidak “bermanfaat” karena kurangnya dukungan pemerintah? Jangan salah, Bandung yang tempo dulu dikenal sebagai kota terbersih, tahun ini berubah seratus delapan puluh derajat menjadi kota terkotor pertama se-Indonesia.
Di negeri ini, darat, laut, dan udara, sama berbahayanya. Bangsa ini sepenuhnya sadar dan tahu akan ancaman bencana. Tetapi, kesadaran itu rupanya kerap kali disikapi setengah hati oleh para pengelola negeri (pemerintah). Pemerintah tergagap ketika bencana telah terjadi tanpa pernah kita dengar sekali pun keberhasilan pemerintah menyelamatkan warga sebelum bencana itu tiba. Dari mulai tsunami di Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) hingga tsunami di perairan selatan Jawa.
Pemerintah kita tahu persis kalau sepanjang pantai barat Sumatera hingga selatan Jawa masuk dalam zona ring of fire (cincin api) yang potensial bergerak menyeimbangkan diri pasca tsunami di Aceh dan Sumut akhir Desember 2004 namun berdampak destruktif buat manusia yang menghuni di atasnya. Pemerintah juga tahu persis apa yang harus dilakukan untuk mengantisipasi itu.
Tetapi, sayang, kerap kali langkah antisipasi dilakukan hanya dalam hitung-hitungan potensi dana asing dan dalam negeri yang akan mengalir deras menambah tebal rekening dan kantong-kantong pejabat setelah bencana itu menghancurkan semuanya, bukan dalam hitung-hitungan pembangunan sarana dan prasarana antisipasi pra bencana. Suatu ironi yang menyakitkan rakyat.
Benarkah alam sudah tidak bersahabat lagi dengan kita, seperti liriknya lagu Ebiet G Ade? Padahal, sekian ratus tahun lampau alam kita memberikan berkah yang tiada tara. Bencana-bencana semacam itu, di masa lalu, memang terjadi, tetapi intensitasnya tidak sesering sekarang ini. Pasti ada yang salah dengan mekanisme kita dalam memperlakukan alam. Sayangnya, kita kerap kali bersikap acuh tak acuh dengan mekanisme yang salah itu. Tanpa sadar, kita tengah membuat alam semakin marah.
Senin (17/07/2006), pesisir selatan Jawa (Tasikmalaya, Ciamis, Cilacap, Kebumen, dan Yogyakarta) diguncang gempa berkekuatan 6,8 skala Richter dengan pusat gempa 170 km ke arah selatan Pantai Sindang Barang, Cianjur, Jawa Barat, sebelum disusul dengan hantaman gelombang tsunami hingga menewaskan lebih dari 700 orang. Bencana ini menjadi bencana ke sekian kalinya yang menimbulkan kerugian yang tidak sedikit. Belum selesai soal gempa di Yogyakarta atau Banjir di beberapa daerah di Kalimantan dan Sumatera, atau banjir lumpur panas di Sidoarjo akibat keteledoran PT Lapindo Brantas yang hingga kini semakin membesar, bencana baru kembali menerpa.
Di tengah gempuran bencana yang melanda negeri ini, pemerintah kita mengucurkan dana lebih kurang Rp. 18 triliun untuk membayar gaji ke-13 pada bulan Juli lalu. Gaji itu akan diberikan kepada pegawai negeri, pejabat negara, dan penerima pensiunan/tunjangan, seperti tertuang dalam peraturan pemerintah (PP) No. 25 tahun 2006.
Kucuran dana pemerintah ini dinilai oleh banyak kalangan sebagai bentuk ketidakpekaan dan aksi kontraprihatin pemerintah terhadap berbagai bencana yang sebetulnya jauh lebih penting untuk diurusi dan didahulukan. Sementara itu, wakil presiden (wapres) M Jusuf Kalla mengatakan, jika pemerintah tidak memberikan gaji itu, berarti pemerintah melanggar Undang-Undang (UU).
Pemerintah sekarang ini, seperti yang disesalkan oleh banyak pihak, kurang bisa memprioritaskan skala yang jauh lebih besar. Pemberian gaji ke-13 pada bulan di mana berbagai bencana terus mengalir tanpa jeda, adalah gambaran konkretnya. Hal lainnya, pemerintah lebih serius mengurus soal gaji-gaji para pejabat negara daripada serius mengurus para korban bencana.
Tengoklah Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) saat ini. Proses rekonstruksi dan rehabilitasi di wilayah itu belum juga kunjung usai, malah terkesan lamban. Belum lagi, desas-desus adanya korupsi besar-besaran yang tengah terjadi. Meski itu dibantah oleh penanggung jawab rekonstruksi di sana. Benarkah tidak ada korupsi di tengah gelimangan dana luar biasa besar dalam rekonstruksi Aceh dan Sumut? Audit Badan Pengawas Keuangan (BPK) yang akan membuktikannya.
Tengok pula rekonstruksi dan rehabilitasi yang tengah berlangsung di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pasca gempa pertengahan Juni lalu. Hingga saat ini, persoalan bantuan yang belum merata masih menjadi perbincangan hangat di sana. Janji-janji bantuan senilai Rp 30 juta untuk setiap kepala keluarga yang rumah yang rusak berat masih sebatas janji-janji manis. Implementasi pastinya, entah kapan. Masyarakat setempat terus menuntut pemerintah yang tidak kunjung mencairkan dana bantuan seperti yang dijanjikan.
Benarkah anggapan sebagian masyarakat bangsa ini bahwa pemerintah justru “gembira” dengan adanya bencana-bencana yang datang silih berganti karena akan banyak aliran dana besar, baik dari dalam maupun luar negeri untuk dijadikan sebagai komoditas proyek para pejabat di negeri ini? Sebagian masyarakat mengiyakannya. Sebagian lagi masih meragukan karena pernyataan-pernyataan pejabat negara yang manis di bibir. Soal kejujuran pernyataan para pejabat negara, wallâh a‘lam (hanya Tuhan Yang Mahatahu).
Pemerintah bisa saja berkelit bahwa ada banyak hal di negeri ini yang mesti juga diurusi. Sepakatkah kita mengatakan bahwa pemberian gaji ke-13 oleh pemerintah pada para pejabat negara—yang sudah berpenghasilan lebih dari cukup—pada saat musibah melanda negeri terus-menerus dianggap sebagai hal yang wajar, terutama dari perspektif kemanusiaan, keadilan, maupun kepekaan sebagai bagian dari masyarakat bangsa? Patutkah para pejabat itu “kebanjiran” uang-uang pemerintah sementara masyarakat “kebanjiran” berbagai musibah bencana alam?
Demi prioritas dan alasan kemanusiaan, sebetulnya, pemerintah—karena alasan darurat—bisa saja berinisiatif mengubah PP itu. Misalnya, PP perubahan itu berisi pengalihan gaji ke-13 bagi para pejabat negara diperuntukkan bagi penanganan bencana dan para korbannya. Sementara itu, gaji ke-13 lebih tepat hanya untuk pegawai negeri dan pensiunan yang berpenghasilan rendah. Sehingga, citra pemerintah semakin berkibar di mata masyarakat sebagai “abdi” bangsa dan negara, bukan “abdi” para pejabat yang sebetulnya telah lebih dari cukup menikmati pendapatannya saat ini.
Masalahnya, saat ini, pemerintah lebih khawatir terhadap sebagian elit-elit politik birokratik yang suka membuat kebijakan yang menguntungkan diri sendiri tanpa peduli rakyat, daripada menjadikan legitimasi rakyat pada pemilu 2004 lalu sebagai kekuatan pemerintah membuat kebijakan yang benar-benar pro rakyat yang telah menahbiskannya untuk berkuasa hingga 2009.
Di sinilah, pada hemat penulis, perlunya pemerintah memantapkan politik prioritasnya. Hal-hal sederhana, seperti pemberian gaji ke-13, bisa saja diprioritaskan di bawah prioritas musibah bencana rakyat yang jauh lebih genting. Jika tidak bisa melakukan itu, pemerintah berarti telah mengkhianati “tahbis” rakyat yang sangat berharap bahwa pilihan mereka pada pemilu 2004 lalu bisa menjadi “bapak asuh” yang baik.
Pemerintah saat ini “beruntung” mendapat “perhatian” dari Tuhan, walaupun bentuknya adalah musibah yang silih berganti. Ujian, laknat, atau justru berkah-Nya? Bisa jadi semua itu terakumulasi bersamaan untuk negeri yang dipenuhi dengan kepongahan-kepongahan ini. Yang pasti, bangsa ini tidak perlu “mengambinghitamkan” Tuhan. Karena, yang “dikambinghitamkan” pun tidak akan memberikan jawaban secara langsung, cukup dengan fenomena alam yang tidak mampu manusia prediksi, bahkan oleh alat secanggih dan semodern apa pun.
Masalah bencana mutlak menjadi masalah para pengelola negara dan bangsa (pemerintah). Jika pemerintah benar-benar memikul amanat rakyat, skala prioritas terhadap semua penyelesaian persoalan bangsa mutlak dilakukan. Jika pemerintah sukses, minimal, pada titik prioritas ini, alam yang mengamuk tak pandang suku, ras, budaya, dan agama, bisa jadi kembali tenang dan ramah bak angin ganas yang berubah sejuk dan semilir mengelus tubuh.
Rasanya, tidak terlalu sulit kalau hanya untuk menetapkan bahwa bencana-bencana itu adalah agenda utama untuk setengah tahun akhir 2006 ini. Setelah semua itu berlalu, pemerintah bisa memikirkan hal-hal lain. Bukankah, seperti yang disebutkan dalam salah satu hadis Rasulullah saw, “Setiap bencana akan menghapus dosa-dosa kesalahan manusia.” (HR al-Bukhari-Muslim). Jika pemerintah meyakini ini, bukankah bencana itu justru menjadi berkah?
Pertanyaannya, sudikah pemerintah mendapat predikat “dewa bangsa” karena kesuksesan menangani masalah bencana secara baik. Atau, sebaliknya, lebih suka dipredikati sebagai “iblis bangsa” yang tertawa-tawa di atas penderitaan dan tetesan air mata para korban bencana yang selalu mengulurkan tangan meminta bantuan pada orang-orang di jalanan, karena merasa pemerintah tidak memedulikannya dan lebih memedulikan urusan gaji ke-13 buat para pejabat yang tidak ada urgensinya sama sekali bagi mereka yang sudah “berkecukupan”?
Bencana demi bencana semakin memperpuruk kondisi bangsa. Segenap energi terserap untuk mengurus itu. Selain para pejabat yang tidak pernah kenyang dengan kekayaan demi kekayaan yang diraih di atas penderitaan dan keterpurukan rakyat, dalam waktu dekat, para pejabat juga akan merasa “tenteram” dan “nyaman” saat merancang alokasi anggaran belanja daerahnya tanpa perlu merasa takut dengan “kehadiran” aparat kepolisian atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang akan “mengobrak-abrik” kantornya karena dugaan korupsi. Pasalnya, M Jusuf Kalla dengan tangan terbuka mengabulkan “derita pejabat” yang merasa kurang secure soal dana-dana anggaran.
Sebelumnya, para pejabat memang “menderita” karena setumpuk aturan terus mengincar dan membatasi syahwat korup mereka untuk tidak main-main dengan soal anggaran. Sebut misalnya, Tap MPR No XI/1998 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Lalu, UU No 25/2003 Tentang Perubahan Atas UU No 15/2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Lalu, UU No 30/2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lalu, UU No 20/2001 juga Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU No 28/1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. PP No 24/2004 Tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD. PP No 71/2001 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Inpres Tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.
Sejak 2004 hingga kini, tercatat ada 7 gubernur dan 60 bupati/wali kota, yang diizinkan presiden untuk diperiksa. Selain itu, ada 735 anggota DPRD kabupaten/kota dan 327 DPRD propinsi, yang juga “diobok-obok” aparat kepolisian. Laporan Menteri Keuangan, Sri Mulyani, menyebutkan bahwa sampai dengan minggu ketiga April anggaran negara tahun 2006 yang terserap baru mencapai 13,84% atau Rp 30,36 triliun dari keseluruhan yang mencapai Rp 219,46 triliun.
Belum terserapnya anggaran belanja negara secara maksimal membuat Wapres mengusulkan perlunya payung hukum untuk melindungi pejabat publik. Hingga saat ini, belum jelas apa bentuk payung hukum yang dimaksud. Apakah bentuknya peraturan presiden, peraturan pemerintah, atau undang-undang. Saat ini, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN), tengah mengkaji beberapa peraturan yang ada, antara lain tentang administrasi pemerintah, etika penyelenggaraan negara, dan pelayanan publik.
Tampaknya, aturan perlindungan pejabat akan terus melaju seiring debat pro-kontra di kalangan masyarakat maupun akademisi. Apa pun peraturan yang muncul, dipastikan seratus persen mengakomodasi kepentingan pejabat. Pejabat menjadi “dewa” yang semakin sulit diduga korupsi dengan alasan kebijakan. Mengutip M Jusuf Kalla, “Kita siapkan peraturan yang lebih baik sehingga tidak semudah itu pejabat ditangkap. Kita ingin membedakan yang mana kebijakan dan yang mana kejahatan. Kalau kebijakannya salah, maka masuk ke pengadilan Tata Usaha Negara (TUN), tidak pidana.”
Dipastikan pula, para pejabat “di atas angin” dan merasa “diuntungkan.” Sementara rakyat, apa keuntungan yang diperoleh dari aturan itu? Ada tidaknya aturan, rakyat tetap tidak diuntungkan. Aturan itu sendiri murni demi dan untuk kepentingan pejabat, yang mungkin, plus penjahat. Rakyat tidak perlu dilibatkan. Rakyat “diproteksi” untuk tidak “mempertanyakan” bahkan “menggugat” pejabat, yang, di mata mereka menyeleweng. Toh, penyelewengan pejabat korup itu ada nantinya akan diselesaikan oleh pejabat (korup?) juga. Untungnya pejabat, korupsi yang lekat jadi watak permanennya juga akan terlindungi. Aturan itu nanti akan semakin meneguhkan pendapat kalau kejahatan korupsi pun dilindungi aturan, dilindungi undang-undang, bahkan dilindungi negara.
Bersih-bersih rumah sendiri yang dicanangkan oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), bisa jadi berubah menjadi bersih-bersih pejabat dari gugatan atau “kejaran” aparat penegak hukum tindak pidana korupsi. Bagaimana masa depan pemberantasan korupsi, terutama di kalangan pejabat? Rasanya, masih terlalu dini mengatakan kalau korupsi pejabat semakin memudar seiring gencarnya KPK “menyergap” pejabat korup. Atas nama kebijakan, pejabat menjadi kebal pengusutan KPK. Korupsi yang dilakukan secara telanjang oleh pejabat tetap “terlindungi” aturan. Jawaban mudah para pejabat korup nantinya, “Ini kebijakan.” Padahal, jelas-jelas itu “kebejatan.”
Aturan perlindungan pejabat sebetulnya tidak terlalu urgen dibutuhkan. Pertama, ketakutan atau kekhawatiran pejabat tidak beralasan kuat. Jika alokasi belanjanya berdasar asas kepentingan rakyat, penganggarannya jelas tidak di-mark up, misalnya, mereka tidak perlu takut. Ketakutan itu hanya muncul pada para pejabat yang memang berwatak korup, yang tidak ingin kejahatannya dibongkar atau terbongkar.
Kedua, segenap komponen bangsa ini sedang gencar-gencarnya melakukan perang terhadap kejahatan korupsi, terutama di jajaran birokrasi. Segenap aturan dibentuk untuk itu. Konsekuensinya, tidak ada yang tidak tersentuh aturan itu, terutama para pejabat. Atas nama “perang melawan korupsi,” mereka harus tunduk pada aturan main yang ada. Toh, nanti bisa dibuktikan apakah kebijakan mereka rasional sesuai aturan atau justru kejahatan. Pembuktian ini mutlak diperlukan dalam konteks untuk menciptakan clear and good government.
Ketiga, sebagian pejabat masih berwatak korup. Parahnya, jajaran birokrat di bawahnya pun ikut tertular. Akibatnya, terjadi lingkaran korup birokrasi. Kejahatannya kian sistematis. Guna mengurainya, perlu shock therapy dan reformasi sistemik yang lebih serius dan berani. Maka, kalau ada usulan agar para pejabat dilindungi, perlu dipertegas apa yang mesti dilindungi? Watak korupnya atau keleluasaan mengeluarkan kebijakan? Jika terakhir yang harus dilindungi, bukankah setumpuk aturan yang “mengincar” mereka sekaligus juga untuk menyeleksi apakah kebijakan itu sesuai atau tidak dengan aturan yang benar. Tidak ada alasan untuk takut atau khawatir.
Jika aturan perlindungan para pejabat benar-benar lahir, kita akan menyaksikan babak baru perlawanan berselubung “aturan” terhadap upaya-upaya penegakkan hukum kejahatan korupsi. Kita perlu mencermati aturan-aturan itu dan mengkritisinya. Jangan berikan peluang sedikit pun pada pejabat untuk bermain-main dalam lingkaran korup sistematisnya. Perang terhadap korupsi masih berjalan di jalur lambat. Apa jadinya jika “sasaran tembak” perang itu justru menemukan senjata pelindung yang, ironisnya, legal and legitimated.
Keterpurukan bangsa akibat ulah pejabat-pejabat korup yang terus-menerus mencari-cari payung hukum demi kejahatannya, keterpurukan akibat krisis multidimensi bangsa yang tak kunjung terurai sehingga penyelesaiannya terkesan asal-asalan, plus bencana-demi bencana yang seolah menjadi klimaks dari keterpurukan itu tidak mesti kita sikapi dengan pesimistis. Harapan ke depan untuk bisa keluar dari itu semua masih terbuka lebar.
Bencana demi bencana yang melanda jelas bukan “kado” yang diberikan oleh Tuhan tanpa makna apa-apa. Seperti yang dinyatakan oleh Allah Swt dalam Alquran, “Sungguh, Kami tidak menciptakan langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya secara sia-sia.” (Q.S. Shâd [38]: 27). Makna tersiratnya, ada pesan atau hikmah di balik setiap yang terjadi, baik di langit maupun di bumi.
Sebagai hamba-hamba-Nya yang beriman, kita mesti meyakini bahwa ada pesan-pesan penting yang sedang disampaikan oleh Allah Swt melalui bencana-bencana itu. Salah satunya adalah sebagai peringatan bagi kita semua untuk semakin mawas dan mengintrospeksi diri. Dibandingkan dengan kebaikan yang dilakukan, kesalahan dan dosa-dosa kita mungkin jauh lebih banyak.
Lalu, apa pesan di balik serentetan bencana di negeri ini? Setidaknya, ada empat pesan yang bisa disimak. Pertama, menyadarkan bangsa ini bahwa alam bisa marah kalau para pengurus dan pengelola bangsa menerapkan mekanisme kebijakan yang keliru. Kedua, bencana alam adalah sesuatu yang unpredictable secara pasti. Karena itu, langkah antisipasi mutlak dilakukan secara sungguh-sungguh.
Ketiga, alam tengah menujukkan kalau dirinya juga bisa pongah sepongah, bahkan melebihi, pongahnya para elit pejabat yang menilap duit rakyat untuk kepentingan diri sendiri. Keempat, menyadarkan bangsa akan kemahakuasaan Tuhan pencipta alam. Jika Tuhan sudah merestui alam untuk mengamuk, air laut yang diam bisa menjadi monster berpuluh-puluh meter tingginya. Jika gunung yang indah sudah mual dan muak melihat kepongahan manusia, restu Tuhan bisa membuat gunung memuntahkan semua isinya. Semoga, bencana-bencana itu hanya ujian, bukan azab-Nya.
Jika ujian, berarti kita tengah diperingatkan oleh Tuhan untuk semakin mendekatkan diri kepada-Nya dengan jalan sabar bagi yang terkena langsung, dan syukur bagi yang tidak. Yang merasakan bencana secara langsung kuantitasnya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan yang tidak. Maka, dengan jumlah “selamat” yang lebih banyak itu seharusnya menjadikan kita semakin sadar betapa ketidaksyukuran kita membuat orang lain menderita.
Sudahkah bangsa ini bersyukur dengan karunia sumber daya alam (SDA) yang melimpah? Sudahkah bangsa ini bersyukur dengan limpahan rahmat-Nya yang mengucur dari langit, laut, dan bumi? Dan, dalam konteks yang lebih aktual lagi, sudahkah kita bersyukur dengan limpahan kemerdekaan yang diberikan 61 tahun silam?
Pertanyaan-pertanyaan ini mesti kembali menjadi bahan renungan bersama agar kita semakin sensitif dengan “sentilan-sentilan” Allah Swt. Rahmat kemerdekaan ternyata sering kali membuat kita lalai untuk bersyukur. Padahal, syukur adalah salah satu cara manusia berterima kasih kepada Allah Swt. Allah Swt akan menambah limpahan rahmat-Nya jika kita bersyukur. Sebaliknya, Allah Swt akan menimpakan bencana demi bencana akibat ketidakbersyukuran kita.
Allah Swt berfirman, “Jika kalian bersyukur, niscaya Aku tambahkan nikmat-nikmat-Ku. Tetapi, jika kalian kufur, sesungguhnya azab-Ku sangat pedih. Musa berkata, ‘Jika kalian dan semua yang ada di muka bumi ini kufur, sesungguhnya Allah tetap Mahakaya dan Maha terpuji.’” (Q.S. Ibrâhîm [14]: 6–7).
Ketika Rasulullah saw dan kaum muslimin berhasil menaklukkan, membebaskan, dan memerdekakan Mekkah (fath makkah) pada tahun ke-8 H dari cengkeraman orang-orang kafir, Allah Swt menyuruh mereka untuk bertasbih, bertahmid, dan beristigfar sebagai wujud rasa syukur.
Allah Swt berfirman, “Ketika pertolongan dan kemenangan dari Allah telah tiba. Dan, kamu melihat orang-orang memeluk agama Allah secara berbondong-bondong, bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan beristigfarlah kepada-Nya. Sesungguhnya, Allah Maha penerima tobat.” (Q.S. al-Nashr [110]: 1–3).
Pada ayat yang lain disebutkan bahwa Allah Swt tidak akan mengazab suatu kaum yang orang-orangnya beristigfar, “Sesungguhnya, Allah tidak akan mengazab suatu kaum yang engkau (Muhammad) bersama mereka. Dia juga tidak akan mengazab kaum yang banyak beristigfar.” (Q.S. al-Anfâl [8]: 33).
Kemerdekaan adalah wujud nyata karunia Allah Swt, di samping karunia-karunia-Nya yang lain, yang diberikan kepada bangsa ini dan bisa kita nikmati hingga saat sekarang ini. Sebagai hamba-hamba-Nya yang meyakini bahwa kemerdekaan adalah karunia-Nya, syukur adalah jawaban konkret kita kepada Allah Swt.
Bencana demi bencana dan keterpurukan demi keterpurukan yang tengah Allah Swt ujikan kepada bangsa ini sudah seharusnya kita jadikan sebagai pelecut untuk makin membuat kita tambah bersyukur. Semakin rasa syukur kita bertambah, semakin Allah Swt tambah pula karunia-Nya. Jika tidak, bencana demi bencana bisa saja terus terjadi.
Bulan Agustus ini, di segenap pelosok negeri ini berkibaran dan bertebaran bendera merah putih, dengan ukurannya yang beragam. Pada setiap sudut rumah, jalan-jalan, dan gang-gang, hampir pasti ada bendera kebanggaan kita yang berkibar. Antusiasme segenap masyarakat bangsa ini menggambarkan bahwa harapan besar dan tinggi tengah coba “dikibarkan” oleh bangsa ini. Dengan kibaran itu, bangsa ini ingin mengatakan bahwa, biarlah bencana demi bencana atau keterpurukan demi keterpurukan masih terus terjadi, eksistensi dan integrasi bangsa ini harus tetap terjaga.
Kibaran bendera di seantero nusantara ini sudah seharusnya menyadarkan para oknum pejabat yang merangkap penjahat dan pengkhianat bangsa sadar bahwa usia kemerdekaan bangsa ini sudah cukup lama. Bangsa ini sudah lepas dari penjajahan imperialisme Barat. Bangsa ini tidak ingin dijajah lagi. Bangsa ini ingin meneruskan sisa-sisa perjuangan bangsa di masa lalu dalam bentuk pembangunan bangsa secara menyeluruh sehingga rakyat hidup tenteram, aman, damai, dan sejahtera.
Harapan rakyat digantungkan ke pundak para pengelola bangsa dan negara ini. Karena, rakyat yakin, di tangan mereka, harapan itu bisa mewujud nyata. Tetapi, dalam kenyataan saat ini, harapan rakyat belum sepenuhnya terwujud akibat kekeliruan dan kesalahan fatal yang diakibatkan oleh sebagian oknum pengelola bangsa dan negara ini. Bangsa ini masih terpuruk dalam krisis multidimensi. Momentum hari kemerdekaan ke-61 ini sudah selayaknya kita jadikan sebagai hari kebangkitan dari keterpurukan. Selamat Hari Ulang Tahun Republik Indonesia (HUT RI) ke-61, majulah negeriku, majulah bangsaku, Tuhan bersama kita. Wallâh al-Musta‘ân.

Jurnal Manajemen Kemasjidan TA‘MIR MASJID Vol. V, No. 2, Oktober 2006

Tidak ada komentar: