Sabtu, 18 Agustus 2007

Reinterpretasi Islam dan Urgensi Ijtihad

Dalam perjalanan sejarahnya, interpretasi atas doktrin-doktrin Islam telah melewati fase demi fase dan generasi demi generasi yang cukup mengagumkan dengan karakteristik pada setiap penafsir yang khas dan beragam. Islam telah diinterpretasi dalam banyak ragam dan corak, seperti fikih, kalam, tasawuf, dan filsafat.
Sejak pertama kali digemakan oleh Nabi Muhammad, doktrin Islam terus mengalir deras menembus tirai-tirai budaya dan peradaban di luar jazirah Arabia. Dengan kekuatan doktrin dan kemampuan para pemikir di setiap masanya masing-masing, Islam terus menjadi wacana tanpa batas yang dapat dikembangkan oleh siapapun, di manapun, dan kapanpun. Itulah wajah Islam yang beragam karena ditopang dengan sikap toleransi dan saling menghargai.
Memudar
Namun, seiring berjalannya waktu pula, ibarat roda pedati yang suatu saat di atas dan pada saat yang lain di bawah, kemajuan dalam pemikiran itu berangsur-angsur memudar akibat perpecahan dan peperangan pemikiran yang cenderung kurang sehat antarumat Islam sendiri. Masing-masing pihak kerap kali mengklaim bahwa hanya pendapatnyalah yang paling benar sementara yang lainnya salah.
Hal ini lantas diperparah dengan fatwa-fatwa sebagian ulama untuk menutup rapat-rapat pintu ijtihad. Doktrin Islam yang mulanya openable terhadap tafsir apapun, dinamis, dan kontekstual, dikukuhkan secara “sepihak” menjadi seperangkat hukum-hukum agama yang final dan tidak boleh diutak-atik keberadaannya.
Hukum-hukum itu lalu menjadi harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Akibatnya, kejumudan berpikir melanda sebagian besar dunia muslim. Mereka tidak memiliki daya pikir kreatif untuk membaca doktrin-doktrinnya kembali. Otoritas ulama yang “dimanfaatkan” oleh penguasa semakin mengkristal hingga orang-orang dipaksa mengikuti ulama vis a vis penguasa. Itulah tragedi buruk dalam sejarah Islam.
Para ulama dan pemikir yang seharusnya independen rupanya banyak yang berkolaborasi dengan kekuatan penguasa politik demi dan untuk kepentingan dan keuntungan penguasa. Akibatnya, sulit dicerna mana yang otentik doktrin Islam dan mana yang bukan. Ajaran Islam kian tambah kabur ditelan ambisi politik dan nafsu kekuasaan yang mengebiri kreativitas dan kebebasan berpikir kritis.
Sering kali terjadi pendapat ulama dianggap otentik agama, padahal itu hanyalah tafsir mereka. Pada titik inilah, maka cukup relevan untuk bercermin pada masa lalu. Jika pemikir berkolaborasi dengan penguasa, pemikiran menjadi mandek dan stagnan. Reinterpretasi adalah jawaban konkret dalam melawan kejumudan yang ada.
Tantangan
Islam saat ini dihadapkan pada tantangan-tantangan yang cukup serius. Di satu sisi, mesti konsisten dengan nilai-nilai otentik luhur yang dikandungnya, pada saat yang sama, dituntut agar berpartisipasi menyelesaikan persoalan kemanusiaan terus mengalir deras. Tafsir atas doktrin-doktrin Islam masa klasik tentu tidak seratus persen bisa diandalkan.
Pun pemikiran-pemikiran kaum modernis tentang Islam saat ini. Sebab, pemikiran modernis disebut-sebut juga masih memiliki kelemahan, di samping keunggulan yang cukup mengagumkan. Fazlur Rahman dalam Roots of Islamic Neo-Fundamentalism-nya, menyebutkan setidaknya ada dua kelemahan itu. Pertama, kaum modernis, dalam pendekatan mereka terhadap Alquran, bersifat pilih-pilih. Mereka tidak dengan jelas mengusahakan adanya metodologi untuk interpretasi sistematis dan komprehensif Alquran dan sunnah guna melandasi konsep Islam tentang moral dan hukum, dan untuk mengoreksi beberapa kekurangan dari ekses sistem klasik Islam. Kedua, banyak kaum modernis yang menunjukkan kecenderungan yang berbahaya karena sikap apologetik berkenaan dengan beberapa hal penting tertentu, khususnya bila memberi tafsiran pada sejarah Islam karena terkadang melupakan akar-akar penganut Islam yang masih awam. Hal ini tentu menjadi persoalan juga.
Pada hemat penulis, ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk membentuk kembali wajah Islam yang baru guna menghadapi tantangan-tantangan saat ini, tanpa perlu menyunat tradisi yang diwarisi hingga kini. Pertama, komitmen untuk terus-menerus membukan dan melakukan ijtihad. Muhammad Iqbal, seorang pemikir muslim asal Pakistan, pernah mengatakan bahwa ijtihad adalah kekuatan penggerak bagi Islam. Artinya, kemajuan dan wajah Islam di manapun dan kapanpun amat tergantung pada bagaimana umatnya mengembangkan daya akalnya untuk berijtihad secara terbuka. Dalam karya monumentalnya, As-Syifa, Ibnu Sina juga pernah mengatakan bahwa ijtihad merupakan elemen urgen. Dalam setiap zaman, harus ada orang-orang spesialis dan benar-benar tahu bagaimana menerapkan dasar-dasar Islam pada setiap zaman yang senantiasa berubah.
Kedua, kesiapan umat Islam untuk bisa menerima pandangan-pandangan lain yang lebih baik, walaupun itu berbeda dengan pandangan mereka sebelumnya. Hal ini penting, karena salah satu persoalan yang hingga saat ini cukup sulit diterima mereka adalah sikap menghargai pendapat orang lain. Kebanyakan umat Islam apatis dengan pandangan orang lain, parahnya, mereka sendiri enggan berpikir kritis-rasional. Mereka kerap kali hanya mampu menyalahkan, tapi tidak mampu memberikan solusi yang terbaik bagi problem-problem yang dihadapi. Padahal, jauh-jauh hari, Imam Ali bin Abi Thalib, menantu Nabi Muhammad, pernah mengatakan bahwa kebenaran adalah barang paling berharga yang hilang dari umat Islam, karena itu, ambillah ia di manapun kita menemukannya.
Ijtihad dan kesiapan membuka diri untuk berdialog secara terbuka dengan cara-cara elegan, akan mampu memberikan warna Islam yang teduh dan menyejukkan sekaligus menjawab tantangan yang ada. Ijtihad tentu bukan sembarang ijtihad, ia mesti dilandasi dengan kapasitas keilmuan yang memadai, sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Ijtihad bukan pula hanya mengulang-ulang pendapat masa lalu kemudian dimodifikasi dalam bentuk baru. Lebih dari itu, ijtihad lebih dimaksudkan untuk menemukan solusi-solusi terbaik dari berbagai pandangan yang ditawarkan.
Wajah Islam dengan demikian berpotensi mampu menampilkan jawaban-jawaban, meskipun sudah barang pasti tidak sempurna memuaskan, bagi problem-problem kemanusiaan yang sedang terjadi. Rasanya, hal itu tidak sulit untuk diwujudkan secara kolektif. Tinggal umat Islam sendiri, mau atau tidak mengambil bagian dan perannya yang cukup signifikan dalam sejarah umat manusia di dunia saat ini dan ke depan. Wallahu a’lam.

Duta Masyarakat, Jumat 23 Februari 2007

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Lucky Club Online Casino
Lucky Club is an online casino offering live dealer games to online gamblers. Play free casino games and win big with the Lucky Club. Register now and 카지노사이트luckclub start playing today! Rating: 5 · ‎1 vote