Minggu, 12 Agustus 2007

Dekulturisasi Kekerasan

Kekerasan adalah salah satu fakta sosial serius yang harus secepatnya ditanggulangi melalui berbagai pendekatan yang tidak hanya tepat tetapi juga bersifat humanis. Berbagai media massa nasional, cetak maupun elektronik, hampir setiap edisi memberitakan fakta ini. Beberapa waktu lalu, kampus Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) yang sebelumnya bernama Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) kembali heboh dengan tewasnya Cliff Muntu akibat tindak kekerasan yang dilakukan praja seniornya.
Sumber kekerasan
Apakah kekerasan sudah menjadi semacam “takdir” Tuhan terhadap umat manusia (kultural sifatnya)? Ataukah, justru kekerasan lebih merupakan ekspresi ketidakpuasan segelintir orang terhadap kenyataan yang —setidaknya menurut pelaku— tidak memuaskan? Atau, mungkin memang kekerasan itu murni lahir dari sikap gelap nurani manusia itu sendiri? Lalu, dari mana sumber kekerasan hakikatnya?
Dari sudut pandang agama-agama pada umumnya, kekerasan merupakan tindakan yang tidak dibenarkan Tuhan. Tuhan sudah me-wanti-wanti dalam kitab-kitab suci-Nya untuk menghindari segala macam bentuk kekerasan dan mendorong umat-Nya lebih mengedepankan sikap kasih-sayang. Artinya, dengan demikian, sumber kekerasan sebetulnya ada pada manusia itu sendiri.
Dari sudut pandang sosial-politik, kekerasan adalah sebentuk ekspresi terhadap berbagai bentuk ketidakadilan sosial yang terjadi. Fakta sosial yang timpang akibat sistem yang mengatur tata kehidupannya tidak ditegakkan secara baik, malah terkesan ada politisasi dengan berbagai bentuknya. Inilah yang menumbuhsuburkan benih-benih kekerasan.
Poso dan wilayah-wilayah konflik jadi contohnya. Dan, negara, sebagai institusi pembuat peraturan itu, jika tidak menegakkan peraturan secara baik, secara tidak langsung menjadi sumber kekerasan.
Dari sudut pandang psikologis, kekerasan biasanya dipicu oleh adanya kondisi internal dan eksternal jiwa seseorang yang tengah bermasalah. Jiwa internalnya mencoba berontak ketika sisi eksternal di luar dirinya tidak sesuai dengan yang diinginkan. Berbagai macam cara akan coba dilakukan. Dari yang lembut, sedang-sedang, hingga yang kasar dan keras. Kekerasan dari sudut pandang psikologis merupakan akumulasi sisi jiwa internal manusia yang tidak direspons oleh sisi eksternalnya secara baik. Akumulasi ini akhirnya meledak menjadi sebuah kekuatan yang tak terbendung.
Dari sudut pandang ekonomi, kekerasan juga bisa lahir oleh karena kondisi perekonomian yang labil dan kurang memberikan keberpihakan terhadap nasib orang-orang yang terpuruk tanpa daya. Kebijakan ekonomi lebih berpihak pada elitee kaya. Elitee miskin di level bawah hanya dapat mengharap belas kasih, meratap, dan merintih menahan derita setiap saat. Sementara, elitee kaya di atas dengan suka-cita mempermainkan dan memonopoli segmen-segmen yang seharusnya menjadi milik dan potensial buat manusia yang terpuruk itu untuk meningkatkan taraf hidupnya.
Dekulturisasi kekerasan
Dari berbagai sudut pandang di atas, setidaknya dapat ditarik benang merah bahwa kekerasan bukanlah kultur dasar manusia, tetapi suatu akibat dari suatu perbuatan tertentu sebelumnya yang kian lama kian mengkristal, memapan, hingga akhirnya menjadi kultur. Ini berarti, kekerasan adalah kultur buatan manusia, bukan hakikat inheren pada manusia.
Beberapa premis berikut bisa menjadi titik tolak untuk mendekulturisasi kekerasan yang sudah telanjur mengultur kuat.
Pertama, kekerasan hakikatnya bukanlah tabiat dasar manusia. Jika kekerasan merupakan tabiat dasar manusia yang alamiah, maka sudah tentu, kekerasan mendapatkan legalitas kemanusiaan universal. Semua meyakini bahwa kekerasan bukanlah jalan terbaik dalam menyelesaikan masalah, justru kekerasan melahirkan masalah-masalah baru.
Kedua, kekerasan adalah perbuatan lanjutan dari suatu sebab sebelumnya yang melatari. Kekerasan yang terjadi di IPDN, misalnya, tidak bisa semata-mata dipandang dari sisi tindak amoral pelaku, sehingga hanya yang terkait yang dieksekusi hukuman. Padahal, pelaku sendiri sering kali adalah juga korban dari sebab jaring-jaring sistem yang secara tak tertulis mengabsahkannya. Atau, adanya hirarki kekerasan struktural yang mengabsakannya. Membiarkan kekerasan itu terjadi sudah terkategori mengabsahkan. Rektor IPDN yang menyangkal penyebab tewasnya mahasiswa karena kekerasan, dekan-dekan, dosen-dosen, dan para praja yang bungkam, adalah wujud dari legalisasi kekerasan sistematis dan strukturalis.
Ketiga, kekerasan adalah fakta sosial riil. Oleh karena itu, ia juga harus disikapi dengan solusi yang riil dan nyata juga. Tidak mengambang, apalagi mengawang tak terselesaikan. Tahun 2003, kekerasan yang dilakukan 10 orang praja yang menewaskan Wahyu Hidayat di IPDN terjadi. Lalu, tahun 2007 kembali terjadi dengan tewasnya Cliff Muntu. Artinya, penyelesaian yang dilakukan tidak menyeluruh dan serius, sebatas mengubah nama, tidak mengubah kultur kekerasan.
Kekerasan adalah problem serius yang harus dicarikan solusinya secara tepat dan cepat. Jika kekerasan lahir karena kultur bentukan yang diwariskan secara terus-menerus, maka secepatnya mata rantai itu diputus dan diberangus hingga ke akar-akarnya. Opsi tidak menerima murid baru untuk satu angkatan, bisa jadi sama dengan upaya meredam sesaat gejolak masyarakat seperti yang terjadi setelah tewasnya Wahyu Hidayat. Investigasi mutlak dilakukan secara serius dengan melibatkan tidak hanya dari unsur pemerintah, tetapi juga nonpemerintah. Semuanya demi perbaikan yang permanen. Kalau sudah sulit diperbaiki, IPDN memang harus dibubarkan. Kita tidak ingin pemimpin-pemimpin bangsa lahir dari institusi-institusi “preman.” []

Duta Masyarakat, Kamis 10 Mei 2007

Tidak ada komentar: