Sabtu, 18 Agustus 2007

Papuaku Sayang, Papuaku Malang

Entah kenapa Tanah Papua yang sangat potensial berbalik seratus delapan puluh derajat dengan kondisi warganya yang selalu sial. Entah pula karena alasan jarak yang jauh, pemerintah pusat seolah memandang sebelah mata Tanah Papua.
Atau, entah karena potensi terpendam Papua yang besar, pemerintah “sengaja” membiarkannya dalam kesialan demi keuntungan segelintir elite pemerintah pusat dan demi kesialan rakyat Papua yang terus-menerus “dipertahankan.” Satu lagi kegagalan pemerintah dalam membangun warganya secara baik.
Harus diakui, Tanah Papua menyimpan sejuta potensi yang jika dikembangkan dapat memberikan keuntungan cukup besar untuk bangsa ini. Dari mulai barang-barang tambang, seperti emas, perak, tembaga, besi, dan lainnya, hingga hutan-hutan belantara yang menghasilkan jutaan kayu-kayu bernilai tinggi yang belum sepenuhnya terjamah.
Belum lagi sejuta keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. Kita semua kenal, di antara sekian banyak pulau di Indonesia, hanya Tanah Papua yang cocok untuk berkembangbiaknya burung terindah di dunia, Cenderawasih. Tidak heran, di antara tanah-tanah jajahan Belanda di Nusantara, Papua adalah tanah terakhir yang dipertahankannya.
Beranekaragam kekayaan budaya, kultur, dan adat istiadat yang unik ada di Tanah Papua. Semuanya menyebar membentuk suku-suku yang independen dan memiliki ciri khasnya masing-masing. Kehidupan mereka yang natural ini kerapkali dimanfaatkan oleh segelintir elite penguasa untuk tidak membuat mereka “mengenal” dunia yang maju. Karena, jika mereka tahu “kemajuan” mereka akan hidup sejahtera karena mengerti potensi tanahnya yang luar biasa besar.
Potensi lainnya, orang-orang Papua dikenal sebagai orang-orang yang ulet dan tangguh dalam menghadapi kehidupannya. Intensitasnya dengan alam yang sangat natural telah memberikan mereka pelajaran hidup yang sangat berharga. Tidak heran, dalam cabang olahraga sepak bola, misalnya, mereka mampu meraih trofi juara Liga Djarum Indonesia 2005 dengan klub yang isinya hampir semua orang Papua asli, yakni klub Persipura.

Malang
Tetapi, malang nian nasib sebagian besar orang Papua. Potensi yang cukup besar terkandung di dalamnya, ternyata tidak membuat masyarakatnya maju. Justru, mereka menjadi masyarakat yang paling “terbelakang” di antara masyarakat-masyarakat lainnya di negeri ini.
Keterbelakangan ini, terutama, dalam bidang kesehatan dan pendidikan. Dua aspek utama yang seharusnya tidak mereka alami jika pemerintah serius mengurus masyarakat Papua pribumi.
Kita, tentunya, masih ingat betul, beberapa waktu yang lalu, negeri ini dihebohkan dengan busung lapar yang menimpa anak-anak dan warga Yakuhimo. Kenapa ini bisa terjadi justru pada saat negeri ini kencang melakukan percepatan pembangunan ekonomi, baik makro maupun mikro? Kejadian ini jelas memperlihatkan betapa pembangunan bangsa, hingga kini, harus diakui, belum menyentuh Tanah Papua secara menyeluruh.
Aspek pendidikan lebih parah lagi. Banyak anak-anak Papua yang buta huruf. Bahkan, setelah mereka lulus dari sekolah dasar, mereka belum mampu membaca dan menulis secara baik. Padahal, di era modern seperti ini, pemerintah seharusnya tidak mempunyai alasan untuk tidak memeratakan pendidikan hingga Tanah Papua. Tetapi, kenyataan telah membuktikan bahwa Papua yang kaya raya diisi dengan orang-orang yang miskin pengetahuan.
Sial, memang, nasib mereka. Sial akibat ulah segelintir elite penguasa yang tidak mau serius mengurus mereka. Sial yang diciptakan oleh orang- orang yang seharusnya menempatkan mereka pada posisi yang setara dengan masyarakat lain di negeri ini.
Sial karena selama ini mereka tetap “dibuat” bodoh agar tetap mudah “dibodohi.” Jika begitu, mereka akan tetap “tidak tahu” apa sebetulnya potensi yang mereka miliki. Inilah pembodohan struktural yang sangat berbahaya, yang dilakukan justru oleh negara.

Era kebangkitan
Pada tanggal 10 dan 11 Maret lalu, Papua dan Irian Jaya Barat (Irjabar) melangsungkan pilkada.
Pemerintah menilai, pilkada berlangsung sukses. Walau di lapangan, banyak warga yang ternyata tidak menerima undangan untuk ikut pilkada.
Itu yang membuat beberapa warga sempat emosi sebelum akhirnya undangan dibagikan. Salah satu proses demokrasi telah berlangsung di Tanah Papua. Sebentar lagi, Tanah Papua akan diisi dengan wajah-wajah baru.
Hemat saya, tahapan itu cukup penting. Tetapi, yang tidak kalah pentingnya lagi adalah komitmen dan bukti konkret kerja elite pemerintah di sana dalam mengurus masyarakat Papua menjadi masyarakat yang maju, sama dengan masyarakat lainnya di negeri ini.
Sehingga, ke depan, Papua bukanlah Papua yang selalu sial karena tidak tahu potensi yang dimiliki.
Papua mesti bangkit membangun wilayahnya sendiri. Otonomi Khusus (Otsus) yang diberikan adalah modal awal yang sangat berharga untuk melangkah ke depan lebih baik. Walau demikian, pemerintah pusat hendaknya tidak lepas tangan begitu saja.
Papua adalah persoalan bangsa yang besar. Jangan ada lagi kesialan-kesialan di Tanah Papua yang potensial.*

Suara Pembaruan, Rabu 22 Maret 2006

Tidak ada komentar: