Selasa, 21 Agustus 2007

Televisi dan Tayangan “Pembodohan”

Kian banyak dan beragamnya berbagai tayangan televisi kita di satu sisi menggambarkan kemajuan luar biasa industri pertelevisian nasional saat ini, tetapi pada sisi lain berpotensi kebablasan sehingga nilai-nilai dan isi yang terkandung di dalamnya tidak terkontrol secara baik. Akibat berikutnya, dan mungkin ini yang lebih parah, terjadi “pembodohan” publik secara masif tanpa disadari.

Infotainment dan film/sinetron
Di antara tayangan-tayangan yang disinyalir “membodohi” masyarakat adalah infotainment gosip. Entah gosip itu seputar pribadi, keluarga, maupun kehidupan para selebritis di luar rumah. Apa aspek “pembodohan” pada tayangan-tayangan ini?
Pertama, namanya juga gosip, tingkat kebenarannya rendah. Betul, di sana sini disebutkan ada klarifikasi dari pihak-pihak yang bersangkutan sehingga bobot infotainmentnya sesuai dengan asas pemberitaan pers standar. Nyatanya, klarifikasi yang dilakukan kerap kali bukan untuk tujuan verifikasi, tetapi makin menambah daftar gosip-gosip berikutnya yang kian memanas. Artinya, sama halnya masyarakat tengah “dibodohi” dengan visualisasi kebenaran yang tingkatannya rendah.
Kedua, infotainment adalah berita seputar selebritis dan kehidupannya yang “tampil beda.” Maksudnya, tidak banyak nilai-nilai positif yang diangkat dan diperoleh dari tayangan itu selain kehidupan hedonis dan glamour para selebritis di tengah kehidupan masyarakat yang penat, sulit dan terpuruk, hancur lantaknya tatanan keluarga selebritis di tengah kehidupan masyarakat yang mendambakan solusi atas hancurnya kehidupan mereka, dan gambaran kehidupan para selebritis yang berkultur transparan dan terbuka (terutama dalam hal berpenampilan) di tengah masyarakat yang berkultur sopan-santun, menghargai, dan menghormati orang lain. Artinya, di kotak ajaib bernama televisi, masyarakat disuguhi suatu visualisasi yang paradoks, bahkan bertolakbelakang dengan kondisi yang dihadapi oleh masyarakat. Keadaan ini menyemburatkan suatu gambaran keangkuhan, kepongahan, dan kesombongan, yang dipublikasikan secara sadar maupun tidak, pada masyarakat.
Ketiga, intensitas tayangan infotainment yang begitu tinggi membuat masyarakat, mau tidak mau, harus menyantapnya mentah-mentah setiap saat. Simak, setiap hari dari pagi hingga malam, bahkan larut malam dan dini hari, tayangan infotainment terus-menerus bergulir, meski itu di stasiun-stasiun televisi yang berbeda-beda. Tayangan-tayangan yang kebenarannya tergambarkan sebagai bertingkatan rendah, ditambah lagi dengan visualiasi kehidupan para selebritis yang paradoks dengan masyarakat pemirsa pada umumnya, ditambah lagi dengan intensitasnya yang tinggi, nyaris tidak menyisakan sisi edukatif sedikit pun selain “pembodohan.” Apakah hidup kita ingin terefleksikan dari visualisasi “pembodohan” semacam itu?
Tayangan-tayangan yang juga disinyalir “membodohi” adalah film/sinetron yang wajahnya tidak jauh berbeda dengan infotainment. Hanya saja, untuk mempersantun, kerap kali film/sinetron itu dibungkus dengan tema religius, bahasa religius, penampilan religius, dan ending yang juga religius (ceramah dari para ustaz pengkhotbah), namun sejatinya tampak sebagai kamuflase untuk menutupi naluri sesungguhnya di balik semua itu, yakni: menyuguhi masyarakat dengan tayangan-tayangan yang kualitasnya hanya demikian.
Aspek religiusitas sering kali identik dengan mistis, horor, yang ujung-ujungnya kemenangan tokoh bersorban, berpeci haji, bertasbih, bersarung, yang melantunkan ayat-ayat suci (meski dengan pelafalan lidah yang tidak tepat alias ‘belepotan’), guna mengatasi makhluk-makhluk gaib yang entah sejak kapan muncul di televisi sebagai trend yang – menurut rating – adalah tayangan yang paling disukai oleh para pemirsa.
Itu dari sisi tema, dari sisi jalan cerita, hampir tidak ada hal baru berkreasi cerdas (bahkan mencerdaskan), selain lingkaran memutar ayah, ibu, anak kandung, menantu, ayah tiri, ibu tiri, dan anak tiri, yang terzalimi di awal cerita namun menemukan “pencerahan” ketika yang menzaliminya terkena “kutukan” Tuhan atau sadar di penghujung. Atau, film/sinetron berlatar sekolah, dengan tokoh-tokohnya anak-anak sekolah, tetapi yang ditampilkan lebih pada gaya hidup para siswa yang hedonis, glamour, dan pergaulan tanpa kontrol, yang menyisihkan nilai-nilai sopan-santun dan keadaban kultur kita, di tempat yang sebetulnya menjadi sarana belajar bersopan-santun dan berkeadaban.
Tayangan-tayangan yang demikian, parahnya diletakkan pada primetime ketika masyarakat yang letih sudah berkumpul kembali bersama keluarga setelah siang hari berpenat-penat bekerja mencari penghidupan. Dengan kata lain, masyarakat kita yang demikian, oleh industri televisi, dianggap layak mendapat jamuan tayangan-tayangan yang begitu. Demikianlah kehidupan masyarakat kita sehari-hari. Nyaris, tidak ada ruang maupun waktu kosong yang terisi dengan hal-hal positif dari tayangan-tayangan televisi itu Singkat kata, secara tidak sadar, pikiran-pikiran kita terus-menerus diisi dengan imajinasi-imajinasi “pembodohan” yang betul-betul membuat kita kian “bodoh.”

Perlu introspeksi
Beruntung, masih ada (meski sedikit) tayangan-tayangan televisi yang kreatif menayangkan acara-acara yang edukatif dan menambah wawasan baru dan positif, membawa alam pikiran kita merenungkan hidup dan kehidupan secara lebih optimis dan positif. Namun, tetap saja tayangan-tayangan kekerasan, berdarah-darah, caci-maki, ungkapan-ungkapan tidak senonoh, masih terlalu banyak. Apresiasi positif layak diberikan untuk stasiun-stasiun televisi yang memang brand-nya dibangun tidak untuk itu, tetapi untuk menampilkan sekaligus memberikan nuansa yang edukatif-berkualitas.
Butuh waktu dan kerja keras untuk menjadikan industri televisi tidak hanya murni kepentingan bisnis, tetapi mampu memberikan hal terbaik buat masyarakat. Terbaik, tentunya dalam pengertian bahwa itu bisa membawa perubahan ke arah yang lebih baik ke depan. Tayangan-tayangan yang minim sisi edukasinya tentu bukan yang dimaksud di sini. Sudah waktunya, stasiun-stasiun televisi mengintrospeksi diri lagi, apa hal positif yang telah diberikan buat para pemirsa/masyarakat. Jika ternyata semua industri televisi sepakat bahwa pemirsa/masyarakat belum sepenuhnya diberikan hal terbaik, namun masih tetap menyuguhkan tayangan-tayangan yang tidak jauh berbeda dengan yang sebelumnya, tanya kenapa?!

Pelita, Selasa 22 Mei 2007

Tidak ada komentar: