Selasa, 21 Agustus 2007

Terorisme, Agama, dan Problem Pemahaman

Sabtu malam (1/10), Bali diguncang bom berkekuatan lumayan besar. Dugaan sementara pihak berwajib menyatakan bahwa bom yang meledak di Jimbaran dan Kuta Square dan menelan 25 orang lebih korban tewas serta 200-an lebih korban luka-luka, dilakukan dengan cara bunuh diri. Jumlahnya diperkirakan ada 3 orang.
Simpatipun terus mengalir dari berbagai pihak, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid, menyebut pelaku pengeboman yang mengorbankan orang-orang tak berdosa itu sebagai ateis (tidak percaya adanya Tuhan). Ia menolak jika pelaku dikaitkan dengan umat Islam. Sebab, katanya, Islam tidak mengajarkan pembunuhan dengan cara keji.
Di tempat lain, mantan Ketua PP Muhammadiyah, Ahmad Syafii Maarif, menyatakan bahwa pengeboman tersebut merupakan perbuatan maha biadab. Hal itu tidak mungkin dilakukan oleh orang-orang yang beragama. Sebab, lanjutnya, agama melarang tindakan tidak berperikemanusiaan tersebut.
Sementara itu, dari luar negeri, beberapa kepala pemerintahan menyatakan hal senada. Organisasi Konferensi Islam (OKI) mengutuk ledakan itu dan menyebut s sebagai tindakan teroris yang berlawanan dan menodai nilai-nilai dan ajaran Islam. Di tempat lain, Sekretaris Jendral (Sekjen) PBB, Kofi Annan, menyatakan bahwa serangan itu merupakan tindakan pengecut.
Apa pun itu, yang pasti, peristiwa ini merupakan peristiwa yang ke sekian kalinya terjadi dan menggambarkan betapa terorisme telah menjadi momok yang sangat fenomenal, tidak hanya di dalam negeri ini tapi juga di segala penjuru muka bumi. Terorisme bisa dilakukan oleh siapa pun, di manapun, dan kapanpun. Dengan berbagai macam dalih dan alasan, yang tentunya, diyakini oleh pelakunya sebagai tindakan 'mulia' dan akan dibalas dengan ‘kemuliaan’ pula nantinya.
Dari sini muncul tudingan, meskipun masih dalam tahap dugaan, bahwa pelaku pengeboman di Bali itu, sama dengan di tempat-tempat lain, diilhami oleh motif keagamaan. Dengan kata lain, agama telah menginspirasi seseorang untuk melakukan tindakan demikian. Tetapi, benarkah agama sejatinya memberikan 'peluang' bagi para pemeluknya untuk bertindak sedemikian kejamnya? Hal yang disangkal justru oleh tokoh-tokoh agamawan?

Islam dan tudingan
Peristiwa paling fenomenal menghebohkan dunia yang mengawali milenium baru ini adalah tragedi mengerikan yang menewaskan ribuan orang tak berdosa dalam serangan sekelompok orang yang kemudian diklaim sebagai para teroris ke menara gedung kembar World Trade Center (WTC) dan Pentagon di Amerika Serikat, 11 September 2001 lalu.
Peristiwa ini selain mengawali abad baru sejarah umat manusia dalam kepiluan, juga telah memberikan dampak yang luar biasa bagi persoalan agama, terutama Islam, pasca peristiwa itu. Hal ini dimungkinkan oleh sebab pengakuan sebagian kelompok yang mengatasnamakan Islam (Osama bin Laden dan para pengikutnya) yang terang-terangan mengaku bahwa mereka terlibat dalam peristiwa itu.
Beberapa hari setelah peristiwa itu, tepatnya 20 September, di hadapan Kongres dan masyarakat Amerika, Presiden AS, George W. Bush menyatakan dengan sangat tegas, “Para teroris mempraktikkan suatu bentuk eksteremisme Islam yang telah ditolak oleh sarjana-sarjana Muslim dan mayoritas ulama Muslim—suatu gerakan pinggiran yang menyelewengkan ajaran kedamaian.” (Robert Spencer, Islam Unveiled: Disturbing Questions about The World’s Fastest-Growing Faith, 2002).
Spencer mengutip beberapa kalangan agamawan Muslim terkemuka, seperti Syeikh Saleh al-Lehaydan, ketua Mahkamah Islam di Arab Saudi, “Membunuh seseorang yang tidak melakukan perbuatan kriminal tergolong dosa besar dan kejahatan yang buruk sekali. Apa yang terjadi di Amerika adalah…tidak diragukan lagi perbuatan kriminal yang jelas tidak direstui Islam dan tak seorangpun menyambutnya.”
Syeikh Salih al-Suhaymi dalam salah satu fatwanya juga menegaskan, “Kaum Muslimin dilarang membunuh perempuan, anak-anak, orang tua, walaupun pada kenyataannya orang-orang yang terbunuh itu diasosiasikan terlibat dalam peperangan melawan kaum Muslim.”
Pernyataan beberapa pakar Muslim itu seakan-akan menyiratkan adanya problem serius yang sedang dihadapi oleh Islam. Selain Islam yang sudah kadung dicap sebagai pelaku utama terorisme (ekstremisme Islam), lebih jauh lagi, Islam telah tercoreng sebagai agama yang anti damai, dan suka dengan segala macam tindak terorisme.
Atau, setidaknya, pandangan-pandangan sebagian tokoh Muslim yang mengatasnamakan Islam sebagai agama damai dengan kalangan yang justru terlihat sumringah dengan apa yang menimpa WTC dan Pentagon.
Islam hingga saat ini, memang sedang menjadi bahan ‘gunjingan’ sekaligus menimbulkan rasa penasaran bagi sebagian kalangan. Pasca 11 September, misalnya, setidaknya telah membentuk tiga kelompok masyarakat besar yang menanggapi Islam dalam versi yang berbeda.
Pertama, mereka yang merasa sinis dengan Islam, kemudian selalu mengasosiasikan Islam sebagai agama yang mengajarkan kekerasan kepada umatnya. Islam diidentikkan dengan teroris. Kedua, mereka yang mencoba moderat dan mendudukkan persoalan pada tempatnya, lalu melihat secara jernih akar-akar persoalan sesungguhnya yang sedang terjadi.
Kalangan masyarakat ini secara simultan melakukan pelbagai pengkajian dan penelitian tentang Islam langsung ke jantung atau sumber otentik yang umat Islam pegangi (Alquran dan hadis). Ketiga, masyarakat yang merespon secara emosional, namun tersirat sikap apologetisme. Mereka menyatakan bahwa Islam adalah agama penebar kedamaian di manapun dan kapanpun. Namun, mereka tidak mampu menjelaskan secara konkret ketidakterkaitan Islam dengan terorisme tersebut.

Memahami kembali Islam
Hemat penulis, selain masalah ekstern yang dihadapi umat Islam, ada pula masalah intern di dalam tubuh umat Islam yang mesti dipahami, yaitu soal penafsiran atau pemahaman terhadap ajarannya. Pemahaman yang terbuka (inklusif) terhadap Islam akan makin membuka jantung Islam sebagai ajaran yang tidak saja toleran, namun selalu mengangkat persoalan manusia dan kemanusiaan setinggi-tingginya. Memahami Islam dengan terbuka, berarti akan membuka terhadap proses dialogis yang lebih hangat.
Islam sesungguhnya adalah ajaran damai yang tidak memberikan restu terhadap tindak kekerasan. Islam sama dengan agama-agama lain yang mengangkat norma kasih sayang sebagai jantungnya. Seraya mengubur dalam-dalam segala macam kekerasan yang ditimbulkan oleh bias pemahaman yang keliru.
Sebaliknya, Islam yang dipahami secara tertutup (eksklusif) hanya akan melahirkan kekerasan atas nama tuhan. Islam dipandang sebagai ajaran satu-satunya yang paling benar. Akhirnya, Islam menjadi superior. Superioritas ini lalu melahirkan satu pola pemahaman bahwa hanya ada satu kebenaran yang mesti diikuti yaitu Islam.
Akan lebih parah lagi, jika ternyata, Islam ditafsirkan secara literal, tekstual, apa adanya, tanpa mau melihat konteksnya. Pemahaman seperti ini tidak saja memberikan nilai negatif bagi Islam, tapi lebih jauh akan dapat menyeret umat pada satu titik di mana Islam menjadi agama terpinggirkan dan selalu menjadi sasaran tembak isu-isu terorisme yang berkembang. Satu pemahaman yang mesti dihindari oleh umat Islam.
Peristiwa bom di Bali sudah semestinya semakin menyadarkan kita semua untuk kembali mempola satu bentuk pemahaman yang benar terhadap ajaran agama masing-masing. Tepat, seperti yang diungkap oleh beberapa kalangan, agama tidak mengajarkan tindakan terorisme dalam bentuk apa pun. Karena, itu justru semakin berdampak buruk bagi umat manusia.

Duta Masyarakat, Jumat 14 Oktober 2005

Tidak ada komentar: