Sabtu, 11 Agustus 2007

Ahmadiyah Harus Dihormati

Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI), salah satu aliran keagamaan (dalam Islam) yang di Indonesia berkantor pusat di Kampus Mubarak, Parung, Bogor, Jawa Barat, pada Jumat (15/7) sore diserbu massa yang menamakan dirinya sebagai Gerakan Umat Islam Indonesia (GUII).
Pada penyerangan pertama, empat korban dari jemaah Ahmadiyah terluka. Beberapa mobil yang ada di sekitar kampus juga dirusak massa. Beruntung, aparat dengan sigap mengamankan para anggota jemaah Ahmadiyah yang lain sebelum penyerangan berikutnya berlanjut.
Banyak kalangan yang menyesalkan tindak anarkis tersebut. Salah satunya adalah Sub-Komisi Hak Sipil dan Politik Komnas HAM. Karena, itu berarti telah mencederai kebebasan beragama yang sudah dijamin oleh Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 29.
Dari Surabaya, Ketua PBNU, Dr Rozi Munir SE, juga menyesalkan tindak anarkis tersebut. Menurutnya, tindakan itu tidak sesuai dengan nilai-nilai dasar Islam yang anti kekerasan. Kejadian yang mengatasnamakan Islam itu justru merusak citra Islam yang cinta damai.
Namun, di sisi lain, para penyerang bersikeras menyatakan bahwa hal itu memang sudah semestinya dilakukan. Ahmadiyah menurut mereka telah mempraktikkan satu bentuk penyimpangan dalam ajaran Islam. Dan, itu oleh mereka dianggap telah menodai ajaran suci Islam.
Ahmadiyah, menurut mereka telah mengotori kemurnian ajaran Islam. Karena itu, mereka harus ‘ditumpas.’ Lebih jauh, mereka meminta agar pemerintah membubarkan jemaah Ahmadiyah di Indonesia.

JAI dan keputusan MUI
Aliran Ahmadiyah yang cukup banyak berkembang di Indonesia adalah Ahmadiyah aliran Qadliyan yang diprakarsai oleh Mirza Ghulam Ahmad, di daerah perbatasan antara India dan Pakistan. Sebetulnya, ada satu lagi aliran Ahmadiyah yang muncul di India, yaitu aliran Ahmadiyah Lahore.
Oleh banyak pihak, Ahmadiyah Lahore kurang begitu direspon negatif seperti halnya respon terhadap aliran Ahmadiyah Qadliyan ini. Karena, salah satunya, Ahmadiyah Lahore dianggap masih sebagai aliran yang ‘wajar,’ tidak ada yang signifikan bertentangan dengan dasar-dasar akidah dalam Islam.
Aliran Ahmadiyah Qadliyan di Indonesia ini oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah dinyatakan sesat lewat keputusan No.05/Kep/Munas/II/MUI pada 1 Juni 1980. Saat itu, keputusan MUI ditandatangani langsung oleh Prof Dr Hamka dan Sekretaris Drs H Kafrawi MA, juga ketua Dewan Pertimbangan MUI, Alamsyah Prawiranegara.
Di samping itu, juga ada Surat Edaran Direktur Jenderal (Dirjen) Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam dan Urusan Haji Departemen Agama (Depag) No. D/B4.01/5099/84, tanggal 20 September 1984, yang berisi penegasan agar para ulama menjelaskan tentang sesatnya jemaah Ahmadiyah. Pendek kata, pemerintah dengan tegas telah melarang Ahmadiyah aliran Qadliyan ini hidup dan tumbuh berkembang subur di bumi Indonesia.
Alasan inilah yang digunakan oleh para penyerang kantor pusat Jemaah Ahmadiyah. Mereka melihat bahwa Ahmadiyah ternyata masih eksis hingga saat ini. Padahal, MUI sudah menyatakannya sebagai aliran sesat dan menyesatkan. Lebih jauh, Ahmadiyah dicap sebagai telah keluar dari Islam, dan harus dibubarkan. Sikap pemerintah, oleh mereka dianggap tidak tegas dan terkesan plin-plan. Terbukti, kata mereka, aktifitas Ahmadiyah terus dibiarkan berkembang. Keputusan MUI seakan tidak ada implementasinya sama sekali.

Pemerintah jangan berpihak
Menurut hemat saya, persoalan Ahmadiyah jangan dilihat dari satu perspektif, tanpa mempertimbangkan perspektif yang lain. Maksudnya, keputusan MUI tahun 1980 bisa saja ditinjau ulang dengan melihat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai autoritas tertinggi konstitusi di negeri ini. Bisa jadi, Ahmadiyah yang tahun 1980 berbeda dengan Ahmadiyah yang saat ini.
Dan, itu butuh penelitian yang berkelanjutan dan mendalam. Selain itu, yang paling krusial untuk dijadikan pertimbangan adalah UUD 1945 yang menjamin kebebasan beragama dan membuat aliran apa pun. Selama aliran-aliran itu tidak mengganggu dan meresahkan warga dan bangsa secara keseluruhan, tidak ada alasan bagi siapa pun untuk membubarkan.
Di sinilah, hemat saya, pemerintah mesti memosisikan diri sebagai juru penengah yang tidak memihak salah satu kubu yang bertikai. Pemerintah harus menjadi mediator efektif guna menyelesaikan kasus ini, juga kasus-kasus sejenis yang terjadi. Ahmadiyah pada hakikatnya sama dengan aliran-aliran dalam Islam yang lain.
Mereka memiliki kebebasan dalam memahami Islam dan lalu mengembangkan pemahamannya di kalangan masyarakat. Jika masyarakat tidak menerima, maka tidak terlalu sulit untuk menolaknya secara wajar. Sama halnya dengan yang menerima. Mereka harus dihormati, karena konstitusi Indonesiapun menjamin hal itu.
Namun, pada kenyataannya, pemerintah terkesan memihak kelompok yang kontra terhadap Ahmadiyah, tanpa memberikan sedikitpun ruang untuk berbicara pada mereka. Akhirnya, yang terjadi, MUI dengan begitu leluasa, karena seolah ‘diberi angin’ oleh pemerintah, menegaskan kesesatan Ahmadiyah. Hal yang patut disesalkan bersama. Buntutnya, kekerasan terhadap Ahmadiyah seakan menemukan landasan pengabsahannya.
Dalam perkembangan kasus Ahmadiyah, terbukti, pada Rabu (20/7), kalangan Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida) Kabupaten Bogor akhirnya sepakat melarang kegiatan JAI di Kabupaten Bogor. Surat keputusan pelarangan kegiatan JAI itu ditandatangani oleh seluruh unsur muspida kabupaten ini, antara lain: Bupati Bogor, Agus Utara Efendi; Dandim 0621, Letkol Art Lukas Rusdiono; Danlanud Atang Sanjaya, Marsma TNI Ign Basuki; dan Kepala Kakandepag, Maman Sulaiman.
Selain itu, dari unsur penegak hukum kabupaten yakni Kejari Cibinong, Marabangun Harahap; Kapolres, AKBP Agus Sutisna, dan Ketua PN Cibinong, Andi Samsan Nganro; Ketua DPRD, Rahmat Yasin; dan Ketua MUI Kabupaten Bogor, KH Ahmad Mukri Aji.
Kepala Bagian (Kabag) Humas Pemkab Bogor, Mohamad Sjahuri, mengatakan bahwa melalui surat ini seluruh kegiatan JAI dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. Surat ini tidak berlaku pada aktivitas kegiatan JAI di kampus Mubarak saja, akan tetapi di seluruh kabupaten.
Pada hemat penulis, pemerintah seharusnya mengubah cara pandang model keberpihakan pada salah satu kelompok tanpa memberikan kesempatan pada kelompok lain untuk mengungkapkan alasannya secara jelas dan rasional. Pemerintah jangan lagi dijadikan alat oleh kelompok-kelompok tertentu untuk menindas kelompok lain atas nama apa pun, terkhusus atas nama agama.
Setiap warga negara telah dijamin oleh UUD 1945 untuk bebas mengemukakan pendapat (pasal 27) dan membentuk aliran-aliran apa pun, bahkan aliran agama sekalipun (pasal 29).
Kasus Ahmadiyah, sebagaimana kasus-kasus lain yang berbuntut tindak anarkis atas nama agama, harus mendapatkan perhatian pemerintah secara serius. Soalnya, kasus-kasus yang sama sudah banyak terjadi di negeri ini. Semakin pemerintah memberikan keberpihakan terhadap kelompok tertentu, tanpa mempertimbangkan kelompok yang lain, semakin persoalan bertambah runyam dan sulit ditemukan titik temu. Besar kemungkinan, kasus-kasus demikian akan makin banyak merebak, karena dianggap mendapat keberpihakan dari pemerintah.

Gatra, 13 Agustus 2005

Tidak ada komentar: