Selasa, 14 Agustus 2007

Menelusuri Makna Ijtihad

Islam tidak hanya menekankan ritus keagamaan yang sifatnya individualistis. Akan tetapi, ia juga mengajarkan bagaimana setiap muslim dapat melakukan banyak hal positif lainnya bagi hidup dan kehidupan umat manusia. Itulah bentuk sumbangsih yang sudah semestinya jangan sampai diabaikan.
Salah satu model sumbangsih bagi kehidupan umat manusia, terkhusus dalam ranah pemikiran keagamaan adalah ijtihad. Tidak bisa dipungkiri, Islam telah menjadi bagian dari sejarah dunia yang—mau tidak mau—mesti memberikan “sesuatu” yang sejarah butuhkan. Perkembangan dunia yang sarat problem rumit sudah semestinya menjadi garapan yang tidak bisa tidak harus melibatkan Islam.
Ijtihad adalah jawaban dari sekian banyak problem kemanusiaan yang tidak ditemukan secara konkret pada dua sumber autentik ajaran Islam: Alquran dan sunah Rasulullah. Ia adalah gerbang untuk menjawab persoalan-persoalan kekinian yang muncul dan sebelumnya tidak pernah ada. Maka, ber-ijtihad merupakah keharusan bagi setiap pemikir muslim. Lantas, bagaimanakah model ijtihad yang tepat untuk kondisi saat ini?
***
Dalam kamus bahasa al-Mu‘jam al-Wasith, kata ijtihad berakar dari jahada yang memiliki arti “mencari sesuatu dengan sungguh-sungguh hingga sampai ke tujuannya.” Dalam Alquran disebutkan, “Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan segala kesungguhan (jahda), bahwa sungguh jika datang kepada mereka sesuatu mukjizat pastilah mereka beriman kepada-Nya. Katakanlah, ‘Sesungguhnya mukjizat-mukjizat itu hanya berada di sisi Allah.’ Dan, apakah yang memberitahukan kepadamu bahwa apabila mukjizat datang mereka tidak akan beriman.” (QS Al-An‘am [6]: 109).
Ijtihad dengan demikian adalah upaya keras seseorang untuk menemukan sesuatu yang sebelumnya tidak ia temukan, sehingga tujuannya tercapai.
Definisi ini masih umum dan menyangkut pada hal apa pun. Belakangan, ijtihad ini mengerucut pada hukum-hukum agama (syariat) yang dipelopori oleh kalangan fukaha. Dalam Ensiklopedi Hukum Islam disebutkan bahwa Al-Ghazali mendefinisikan ijtihad sebagai upaya maksimal seorang mujtahid dalam mendapatkan pengetahuan tentang hukum-hukum syariat. Lebih spesifik lagi adalah definisi yang Al-Amidi kemukakan, yaitu mencurahkan segala kemampuan dalam mencari hukum syarak yang bersifat zhanni, sampai dirinya tidak mampu lagi untuk mengupayakan yang lebih jauh melebihi itu.
‘Abdurrauf al-Munawi dalam al-Tawqif ‘ala Muhimmah al-Ta‘rif menjelaskan bahwa secara bahasa, ijtihad berarti al-Masyaqqah (beban) dan at-Thaqah (kemampuan). Artinya berusaha sekuat tenaga guna meraih maksud tertentu. Ibnu Hajib, sebagaimana dikutip Muhammad Fawzi Faydhullah dalam bukunya, al-Ijtihad fi as-Syari‘ah al-Islamiyyah, mendefinisikan ijtihad sebagai upaya ahli fikih guna merumuskan hukum yang sifatnya hipotetik (praduga).
Sedangkan, Abu Zahrah dalam Ushul al-Fiqh-nya mendefinisikan ijtihad sebagai upaya yang dilakukan para ahli fikih, baik dalam kerangka dan upaya merumuskan hukum ataupun mengejawantahkannya, dengan alasan-alasan yang terperinci. Dalam konteks ini, ijtihad bertujuan, pertama, merumuskan hukum dan lantas menjabarkannya dengan argumentatif dan kedua, mengaplikasikannya.
Konsepsi ijtihad sebetulnya telah lama mengalami perkembangan yang cukup signifikan sesuai dengan alur konteks yang dihadapi. John L. Esposito, misalnya, dalam Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern-nya menyebutkan setidaknya ada empat tahapan perkembangan pada makna atau definisi ijtihad.
Pertama, terjadi pada abad I. Pada abad ini, ijtihad masih identik dengan rakyu lawan atau berseberangan dengan nas-nas syariat. Hadis Mu‘adz bin Jabal menjadi landasan untuk ini, ketika ia diutus oleh Rasulullah saw ke Yaman untuk berdakwah, Nabi bertanya tentang perangkat apa yang akan ia pakai, berturut-turut Mu‘adz menjawab bahwa ia akan memakai Alquran, jika tidak ada, maka memakai sunah Nabi, jika tidak maka ia akan memakai ijtihad rakyu (HR Tirmidzi).
Kedua, memasuki abad II, ijtihad berangsur-angsur dipisahkan dari rakyu, ketika rakyu semakin berada dalam kategori praktik yang tidak dapat disetujui. Ada korelasi antara penyingkiran gradual rakyu sebagai alat penalaran bebas serta bijak dan tumbuhnya persepsi bahwa ijtihad merepresentasikan metode sistematis dalam penafsiran dan penalaran di seputar hukum berdasarkan nas-nas autoritatif. Sebagai contoh adalah As-Syafi‘i. Beliau adalah orang pertama yang meninggalkan rakyu dan mengadopsi ijtihad sebagai metodologi yang sinonim dengan kias. Suatu istilah yang mencakup sejumlah kesimpulan legal.
Ketiga, pada abad VIII, ijtihad digunakan dalam pengertian estimasi teknis atau penilaian adil khususnya usaha menentukan nilai-nilai sesuatu, seperti dalam memperkirakan kompensasi atau kerusakan. Makna ini berlaku selama berabad-abad dalam bidang hukum substantif.
Dan, keempat, pada abad X, ijtihad menjadi suatu bentuk usaha sungguh-sungguh oleh seorang mujtahid untuk menemukan pemecahan atau ketentuan hukum tentang suatu masalah keagamaan. Ijtihad ini makin mengerucut pada upaya-upaya dalam bidang hukum formal legal syariat sesuai dengan yang ada dalam Alquran dan sunah Rasulullah.
Berbagai isu perjuangan menegakkan syariat di beberapa belahan dunia, terutama di Indonesia, sebetulnya merupakan satu bentuk upaya bagaimana ijtihad itu diposisikan dalam bentuk pengembangan dan penafsiran terhadap syariat. Artinya, apa yang disebut dengan syariat seperti yang coba ditegakkan lebih merupakan hasil ijtihad itu sendiri. Dengan kata lain, belum begitu jelas syariat menurut ijtihad siapa sebetulnya yang diperjuangkan?
***
Masih terkait dengan ijtihad, dalam Ensiklopedi Alquran karya M Dawam Rahardjo disebutkan bahwa Alquran tidak pernah menyebut istilah ijtihad. Istilah ijtihad sebenarnya berasal dari hadis. Yang banyak Alquran singgung justru adalah jihad. Keduanya memiliki akar kata yang sama, namun dalam konteks yang berbeda terapan. Jihad lebih pada upaya total dalam segala hal, sedangkan ijtihad lebih pada upaya total dalam bidang pemikiran.
Sebagaimana kata jihad, kata ijtihad sebenarnya memiliki akar kata yang sama, yaitu j-h-d. Sayangnya, menurut Mohammad Guntur Romli dan A Fawaid Sadzily dalam bukunya, Dari Jihad Menuju Ijtihad, kata ini tidak seakrab kata jihad yang setiap saat didengungkan. Alih-alih, kata ijtihad seolah-olah menjadi istilah yang tabu diucapkan, apalagi dilakukan. Begitu dominannya potensi olah fisik yang menjadi ciri jihad, sehingga oleh pikir yang menjadi ciri ijtihad tampak menjadi potensi yang dikerdilkan. Padahal, dalam kategori di atas, ijtihad merupakan salah satu bentuk jihad, yaitu jihad intelektual.
“Pengerdilan” peran ijtihad ini ditengarai akibat dugaan bahwa ijtihad memberikan ruang yang sedemikian besar kepada potensi akal, sementara peran teks-teks autoritatif diminimalkan. Ketika ijtihad diungkapkan, yang terbayang di benak seseorang adalah pembebasan aktivitas nalar dan pengabaian teks autoritatif (Alquran dan sunah).
Secara umum dapat disimpulkan bahwa ijtihad memiliki makna sebagai usaha berpikir dalam menyelesaikan masalah dengan sungguh-sungguh. Lebih khusus lagi menyangkut persoalan-persoalan krusial yang muncul menantang solusi kreatif ajaran Islam (Alquran dan sunah Nabi). Perkembangan dan pertumbuhan yang terjadi pada manusia menimbulkan banyak persoalan baru. Hal ini tentu saja memunculkan sejumlah persoalan yang terkait dengan persoalan agama. Ijtihad menjadi sesuatu yang “istimewa” untuk dikemukakan dalam wacana ini.
Sebagai bentuk upaya pengembangan pemikiran, ijtihad perlu diberikan tempat yang lapang. Tujuannya, tentu saja, memberikan peluang kepada pihak-pihak—yang berkompeten utamanya—untuk menjawab persoalan-persoalan baru yang muncul. Ini penting dilakukan. Tidak kalah pentingnya lagi, memola ijtihad yang dibuat, selain dalam koridor ketentuan Alquran dan sunah, juga keterkaitan dan pertimbangan dengan aspek-aspek kemanusiaan. Inilah jawaban—yang hemat penulis—relevan dan tepat untuk pertanyaan di awal tulisan. Wallahu a‘lam.

Duta Masyarakat, Jumat 2 Maret 2007

Tidak ada komentar: