Selasa, 14 Agustus 2007

Memikirkan Generasi Masa Depan

Anak-anak adalah investasi berharga untuk masa depan sebuah bangsa. Mereka akan menjadi penerus generasi sebelumnya yang telah lewat. Masa depan bisa dipastikan akan berada dalam genggaman tangan mereka. Mereka akan menjadi aktor-aktor sejarah yang mengisi kehidupan di masa depannya sendiri. Karena itu, upaya menanamkan pengetahuan akan masa depan yang baik menjadi keniscayaan yang tak bisa disepelekan.
Sebagai generasi impian di masa depan, sudah seharusnya, pendidikan atas mereka menjadi bagian tak terpisahkan dan terabaikan. Mengabaikan mereka sama dengan mengabaikan masa depan. Tidak hanya masa depannya sendiri, akan tapi juga masa depan sebuah komunitas tertentu pada umumnya. Dalam konteks ini, komunitas lingkup luas (baca: bangsa dan negara).
Namun, dalam kenyataan, mimpi itu tidak sepenuhnya terwujud. Alih-alih menginginkan satu generasi unggulan, malah tercipta satu generasi yang diistilahkan dengan “generasi yang lebih buruk” dari sebelumnya. Kenapa bisa terjadi? Setidaknya ada beberapa penyebab krusial. Pertama, kurangnya kepedulian semua pihak terhadap mereka. Kedua, model pendidikan yang keliru terhadap mereka. Ketiga, menjadikan mereka hanya sebagai objek, bukan subjek aktif.
Untuk yang terakhir ini, dalam tahapan tertentu, mereka bisa menjadi bahan eksploitasi demi keuntungan kalangan tertentu. Maraknya perdagangan anak dan tindak laku kekerasan yang dilakukan terhadap mereka, merupakan salah sebagian penting akibat mereka dijadikan hanya sebagai objek.
Kekerasan, apa pun bentuknya, terhadap mereka, mutlak harus dicegah sedini mungkin. Jika tidak, kekerasan tersebut dapat dipastikan akan menimbulkan trauma yang berkepanjangan pada diri mereka. Trauma yang akan sulit hilang dalam ingatan mereka. Butuh waktu yang tidak sebentar untuk menetralisir bayangan kekerasan yang telah menimpa mereka. Karena, memori pengingat mereka sangat kuat untuk menangkap hal-hal sensitif yang mereka alami.
Dalam konteks ini, pemerintah sudah semestinya melakukan satu bentuk terobosan progresif, dengan misalnya, membentuk kementerian anak, atau lembaga-lembaga tertentu yang sifatnya independen mengurus dan memikirkan masa depan anak-anak. Hemat penulis, ini sangat urgen dilakukan. Karena, persoalan anak jauh lebih rumit. Sekali saja keliru dalam mengarahkan, mereka akan menjadi apa yang telah “diarahkan” sebelumnya.
Selain terkait dengan masalah pendidikan, jutaan anak-anak di negeri ini masih membutuhkan uluran tangan serius pemerintah dalam hal kesejahteraan ekonomi. Tidak banyak yang dapat menikmati kesejahteraan dalam hidup. Setidaknya, kebutuhan yang mendesak terpenuhi. Banyak anak-anak di negeri ini, karena masalah ekonomi, akhirnya menjadi bagian tak terpisahkan dari dunia kelam kejahatan yang penuh kekerasan dan ketidakberadaban.
Berbagai tayangan kekerasan di televisi sebetulnya, disadari maupun tidak, ikut andil dalam menginspirasikan tindak kekerasan terhadap anak-anak. Merasa bahwa anak-anak lemah, polos, dan belum tahu mana yang baik dan buruk, orang-orang tak bertanggung jawab memanfaatkan itu demi mengeruk keuntungan sendiri.
Pada hemat penulis, kekerasan terhadap anak-anak sebetulnya dapat dicegah dengan beberapa hal. Pertama, memberikan penyuluhan dan pengetahuan dalam bentuk sosialisasi anti kekerasan terhadap anak. Kedua, menyajikan tayangan-tayangan dalam televisi yang anti kekerasan pada jam-jam sewaktu anak-anak ada di rumah. Ketiga, meningkatkan peran serta lembaga pemerintah yang terkait untuk membuat Undang-Undang khusus perlindungan terhadap anak-anak, disertai sangsi yang berat bagi para pelanggarnya.
Rasanya, bukan hal mustahil, kalau anak-anak, sebagai investasi masa depan, dibimbing untuk dapat menggambarkan masa depannya dengan baik. Sebuah masa depan yang membuat mereka optimis bakal memainkah peranannya yang signifikan dalam kehidupan sosial. Karena itu, tidak ada kata pamungkas yang harus dilakukan selain, stop kekerasan, sejahterakan, didik, dan selamatkan anak-anak!

Satelit News, Kamis 7 Juni 2007

Tidak ada komentar: