Selasa, 14 Agustus 2007

Membangun Bangsa Berbasis Pluralisme

Bangsa ini, sejak awal mula terbangun karena asas pluralisme yang sangat kental, kuat, dan kokoh. Pluralisme yang “belum” diperdebatkan dalam ranah kajian-kajian ilmiah oleh para pakar dan elite agamawan seperti saat ini yang kerapkali justru memperuncing ketegangan. Tetapi, pluralisme yang sangat natural dipraktikkan oleh segenap komponen bangsa di tingkat kultural.
Bangsa ini sudah terlampau jauh mempraktikkan pluralisme dalam kehidupan sosialnya. Jauh, bahkan, sebelum bangsa ini bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan berdiri pada pertengahan Agustus 1945. Kenapa, rakyat di level kultural ini begitu alami membangun basis kehidupannya dengan landasan pluralisme yang sangat kental?
Kultur Pluralisme
Sejarah bangsa di masa lalu adalah jawabannya. Kultur bangsa ini terbangun dengan basis agama-agama yang pluralistik. Setelah sebelumnya hidup mesra dengan paham tradisionalistik primitif keagamaan, animisme, dan dinamismenya. Bangsa ini mengenal peradaban setelah bersinggungan dengan agama-agama yang dibawa oleh kaum pendatang dari Asia Barat dan Selatan.
Mengutip Cak Nur dalam bukunya Cita-cita Politik Islam Era Reformasi (1999), wawasan kultural bangsa yang bersumberkan agama. Pertama, agama Buddha yang menjadi agama kerajaan Sriwijaya di Sumatera, yang pengaruh kekuasaan maritimnya telah meninggalkan bekas yang amat penting, yakni proto bahasa Melayu, sehingga menjadi bahasa pergaulan yakni lingua franca kawasan Asia Tenggara.
Kedua, agama Hindu, yang melalui masyarakat telah melandasi suatu pola budaya kosmopolitan. Sifat kemaritiman Majapahit telah menciptakan suatu universum yang jangkauannya kurang lebih sama atau sebanding dengan Indonesia modern.
Dan, ketiga, agama Islam. Sifat dan budaya Islam yang bersumberkan kosmopolitanisme pola ekonomi dagang ternyata sangat sesuai dengan suasana sosio-kultural Asia Tenggara, khususnya kawasan Melayu. Kesesuaian itu menghasilkan proses Islamisasi dunia Melayu sedemikian cepat, sehingga agama Buddha dan Hindu terdesak.
Sejarah bangsa ini di awal mula telah membuktikan bahwa keragaman agama justru menjadi perekat tali persaudaraan kebangsaan yang sangat kuat. Tetapi, saat ini dapat kita saksikan bahwa agama justru menjadi biang perpecahan yang mengancam integrasi bangsa. Kapan hal itu persisnya mulai terjadi?
Yang tercabik
Jawabannya adalah saat agama-agama telah kehilangan kreativitasnya. Hilangnya kreativitas ini tentunya bukan tanpa sebab. Alasan utama adalah saat agama-agama telah kehilangan kebebasannya akibat tercerabut dari akar-akar pluralistiknya yang natural. Ini juga timbul bukan tanpa sebab. Sebab yang paling utama adalah saat agama telah bersinggungan dengan politik (kekuasaan negara).
Parahnya, secara tidak sadar, agama-agama telah jauh “diinjak-injak” oleh perangkat bernama negara ini. Munculnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan Menteri Agama (Menag) No 1 tahun 1969, yang belakangan direvisi dengan SKB Menag dan Mendagri No 9 tahun 2006 dan No 8 tahun 2006, pada 21 Maret 2006 lalu, semakin meneguhkan peran negara mengintervensi agama-agama.
Agama-agama semakin tersekat dalam kotak-kotak yang sangat eksklusif. Justru, eksklusifitas agama-agama “sengaja” dibangun dan dipatenkan negara. Wacana-wacana agama yang mulanya adem-ayem dalam suasana sangat toleran, berubah menghangat, lalu memanas, akibat “dipanas-panasi” oknum-oknum yang mengaku sebagai “pembela sejati” agama-agama.
Teriakan dan yel-yel keagungan Tuhan dijadikan simbol “keagungan Tuhan” melebihi hakikat “keagungan Tuhan” itu sendiri. Maksudnya, dengan teriakan dan yel-yel itu, mereka menganggap telah mengagungkan Tuhan.
Padahal, apa yang mereka anggap itu, justru kebalikannya. “Keagungan Tuhan” diletakkan dalam konteks kekerasan, tindak-tindak anarkis, teror, dan intimidasi terhadap agama lain.
Inilah akibatnya jika agama-agama telah jauh diintervensi negara. Negara telah mencipta dan melanggengkan eksklusivitas agama-agama. Lebih jauh, negara telah menabur benih-benih konflik horizontal yang berpotensi melahirkan disintegrasi bangsa.
Secara tidak sadar pula, negara justru telah membangun basis-basis sentimentil dan radikalisasi agama-agama yang semakin kuat. Negara telah memformat agama-agama menjadi blok-blok yang dapat “diletupkan” setiap saat, hanya dengan memasukkan isu-isu sensitif.
Misi pembebasan
Dalam konteks yang sudah sedemikian parah ini, menyerukan kembali “pembebasan” agama-agama dari intervensi negara merupakan keniscayaan yang tidak dapat ditawar-tawar. Agama-agama harus bangkit melawan “penindasan” negara untuk menemukan kembali inklusivitasnya.
Jika inklusivitas ini telah kembali direngkuh, kebebasan yang merupakan jantung dari pesan-pesan agama akan kembali ke pangkuan. Agama-agama, pada gilirannya akan kembali menemukan ruhnya yang sejati, yakni pluralistik yang natural seperti awal mula bangsa ini terbangun.
Pembangunan bangsa akan terasa absurd jika tidak memanfaatkan bangun-bangun pluralistik agama-agama yang ada. Tetapi, agama-agama yang ada juga tidak akan menemukan momentum “kesatuannya” jika tidak ditopang perekat bersama bernama pluralisme. Perekat itu adalah paham kebersamaan yang memberikan kontribusi yang luas kepada semua agama untuk ikut berperan aktif dalam kehidupan sosial membangun bangsa.
Peran itu tentu saja tanpa tersekat-sekat oleh pandangan teologis dan keyakinan masing-masing agama yang berbeda. Berbeda hanya dalam keyakinan, tetapi sama dalam semua peran. Begitu kira-kira ruh pluralisme sejati.
Negara, sekali lagi, mesti memosisikan diri secara proporsional terhadap agama-agama yang ada. Intervensi yang sudah “kelewat” batas itu, mesti sedikit demi sedikit dieliminasi, untuk kemudian dihilangkan sama sekali. Biarkan agama-agama merefleksikan sendiri ruh-ruhnya yang alamiah dan sejati tanpa diatur negara. Karena dengan demikianlah agama-agama itu akan mampu menjadi basis yang kokoh guna membangun bangsa yang sejatinya pluralistik ini. Wallahu a’lam.

Sinar Harapan, Sabtu 20 Mei 2006

Tidak ada komentar: