Sabtu, 18 Agustus 2007

Perempuan Pada Peradaban pra-Islam

Jika setiap tanggal 21 April diperingati sebagai hari Kartini, Islam sejak mendeklarasikan dirinya pertama kali di tanah Arab terang-terangan menentang budaya masyarakat Arab yang memperlakukan perempuan sebagai kelas kedua (second class). Secara bertahap, derajat perempuan diangkat ke tingkat tertinggi, setara dengan laki-laki, yang memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai makhluk Allah, meski kodrat keduanya berbeda.
Sebelum kedatangan Islam, peradaban-peradaban sebelumnya, secara umum menempatkan perempuan pada tingkat yang sangat rendah. Perempuan diperlakukan layaknya barang yang bisa diperjualbelikan atau dipertukarkan dengan apa pun. Dan, perempuan, tidak memiliki hak untuk membela diri. Tulisan sederhana berikut akan mendedah bagaimana kondisi perempuan pada peradaban pra-Islam (Yunani, Romawi, Persia, dan Cina) yang sangat menyedihkan.

Peradaban Yunani
Di dalam buku Nisa’ Haula ar-Rasul wa ar-Radd ‘ala Muftarayat al-Mustasyriqin karya Mahmud Mahdi al-Istambuli dan Musthafa Abu Nashr asy-Syilbi disebutkan bahwa bangsa Yunani dikenal sebagai bangsa yang memiliki peradaban dan kebudayaan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan peradaban dan kebudayaan bangsa-bangsa lain pada zamannya. Akan tetapi, kaum perempuan saat itu sama sekali tidak memiliki kedudukan atau posisi yang layak. Bahkan kaum laki-laki mempunyai kepercayaan bahwa perempuan adalah sumber segala penyakit dan bencana. Mereka juga dianggap sebagai makhluk yang paling rendah. Perempuan berada pada derajat yang sangat rendah, sampai-sampai kaum laki-laki pada saat itu tidak mau berada di satu meja makan bersama kaum perempuan. Apabila mereka sedang menerima tamu asing, maka kaum perempuan tak ubahnya budak dan pelayan.
Seiring perjalanan waktu, pandangan bangsa Yunani terhadap perempuan kemudian mengalami perubahan. Dorongaan syahwat dan nafsu kebinatangaan telah mendorong mereka untuk memberikan kebebasan kepada kaum perempuan. Akan tetapi, kebebasan yang mereka berikan hanyalah kebebasan dalam hal seksual semata. Mereka memberikan kebebasan yang seluas-luasnya dalam hal ini kepada kaum perempuan sehingga banyak di antara kaum perempuan yang menjadi pelacur. Perempuan pelacur dan pezina pada saat itu dianggap memiliki kedudukan yang tinggi, sehingga para pemimpin Yunani saat itu ramai-ramai mendatangi daan mendekati mereka. Bahkan, mereka sampai merekayasa cerita-cerita yang bernuansa seksual.

Peradaban Romawi
Bangsa Romawi dianggap sebagai bangsa yang paling maju setelah Yunani. Namun bila dicermati, undang-undang dan sistem sosial mereka ternyata sangat menzalimi, mengucilkan, dan menindas kaum perempuan. Di kalangan mereka sangat terkenal syair: “Belenggu perempuan tidak bisa dicabut dan kebebasan mereka tidak bisa dilepas.” Kaum laki-laki dalam masyarakat Romawi mempunyai hak mutlak terhadap keluarganya, layaknya seorang raja kepada rakyatnya. Dia bebas memperlakukan istrinya semaunya, bahkan dalam keadaan tertentu ia boleh membunuh istrinya.
Ketika peradaban dan kebudayaan bangsa Romawi mulai berkembang, penindasan mulai berkurang, namun pelecehan terhadap mereka masih berlangsung dan mereka tetap memperlakukan perempuan bagaikan pelayan. Kaum perempuan hanya dianggap sebagai pemuas nafsu syahwat laki-laki. Pada akhirnya, kemesuman dan kecabulan merebak di mana-mana, bahkan panggung teater pun mengalami perubahan yang amat drastis, karena di antara materi yang ditampilkannya adalah kontes perempuan telanjang. Di kalangan mereka juga terdapat tradisi mandi bersama antara kaum laki-laki dan perempuan di tempat umum yang dapat disaksikan oleh orang banyak.

Peradaban Persia
Persia adalah koloni yang mempunyai otoritas dalam menentukan peerundang-undangan dan sistem sosial di berbagai negeri jajahannya. Namun, undang-undang itu lalim dan menindas hak-hak wanita. Mereka memberlakukan hukum-hukum yang berat bagi wanita, sekalipun hanya untuk kesalahan kecil, sedang di lain pihak, kaum laki-laki memiliki kebebasan yang tanpa batas. Dalam pandangaan bangsa Persia kala itu, hukuman hanya berlaku bagi wanita. Bahkan apabila seorang wanita mengulangi kesalahannya, ia harus dihukum mati.
Di negeri Persia, seorang wanita dilarang kawin dengan laki-laki yang bukan penganut ajaran Zoroaster, sedangkan laki-laki mempunyai kebebasan dalam bertindak sesuai kehendaknya, sebab laki-laki adalah raja. Hidup kaum wanita sangat terbelenggu. Bahkan ketika haid, mereka harus diisolasikan ke tempat yang jauh di luar kota dan tidak seorang pun boleh bergaul dengannya, selain pelayan yang menyediakan makanan untuknya. Wallahu a‘lam.

Pelita, Jumat 4 Mei 2007

Tidak ada komentar: