Sabtu, 18 Agustus 2007

Momentum Tahun Baru: Menyongsong Harapan Baru

Waktu begitu akrab dengan kehidupan kita, tetapi tidak ada satu pun yang mampu mendefinisikannya. Kita tahu waktu “kemarin,” waktu “sekarang,” dan waktu “esok.” Tetapi, kita tidak tahu apa hakikatnya, selain hanya mampu menjalaninya. Waktu adalah bagian dari sunatullah, hukum alam, dan takdir Allah Swt. Kita tidak perlu mendefinisikan waktu, sebagaimana tidak perlunya kita mendefinisikan “warna.” Kita hanya dititahkan oleh Allah Swt. agar menjadikan waktu “sekarang” sebagai ajang untuk memperbanyak kebaikan, berbuat hal positif bagi diri dan orang lain, dan untuk beribadah. Dan, waktu “kemarin” kita manfaatkan sebagai bahan evaluasi dan koreksi untuk waktu “sekarang” dan waktu “esok.”
Inilah, setidaknya, makna yang ingin disampaikan oleh Sayidina ‘Ali ibn Abu Thalib, suami Fathimah bint Muhammad saw., “Jika waktu sekarang lebih buruk dari kemarin, berarti kita rugi. Dan, jika waktu esok lebih buruk dari sekarang, berarti kita celaka.”
Tahun baru 2007 sudah di depan kita. Saat ini, tahun baru adalah hari “esok.” Dan, tepat pada 1 Januari nanti, tahun baru menjadi waktu “sekarang.” Lalu, setelah itu, tahun baru menjadi waktu “kemarin.” Jika kita selalu melewati tahun baru tanpa berbuat apa pun yang positif, selain hanya kumpul-kumpul di lapangan atau tempat-tempat hiburan hingga larut malam, berarti kita telah rugi. Karena, kita tidak belajar dari tahun baru “kemarin.” Celakanya, tahun “kemarin” sering kali kita lupakan, tanpa pernah kita jadikan sebagai bahan untuk merencanakan waktu “esok.”
Dari sedikit paparan di atas, tergambar jelas bahwa waktu harus kita isi dengan usaha untuk meningkatkan diri menjadi lebih baik. Dan, berbicara tentang usaha, hidup manusia tidak akan terlepas juga dari yang namanya “takdir Allah Swt.” Tanpa mampu menjelaskan takdir-Nya, kita bisa terjebak pada pesimisme ala sekte Jabariyah atau optimisme berlebih ala sekte Qadariyah.
Takdir dan usaha
Setiap manusia selalu berharap memperoleh kebahagian dalam kehidupannya. Namun, tidak semua harapan itu terwujud menjadi kenyataan. Tidak jarang, kegagalan justru yang sering mewarnai liku-liku kehidupan manusia. Pertanyaannya adalah apakah kegagalan memperoleh kebahagian dalam hidup karena memang telah ditentukan oleh Allah Swt. demikian?
Dalam Alquran, Allah Swt. sebetulnya sudah menjelaskan bahwa manusia itu pada dasarnya memiliki ketentuannya (takdirnya) masing-masing, “Setiap manusia sudah Kami tetapkan segala amal perbuatannya, seperti halnya kalung yang ada pada lehernya.” (QS Al-Isra’ [17]: 13). Pada ayat yang lain, “Sesungguhnya, Allahlah yang menciptakan, lalu menetapkan kalian dan perbuatan-perbuatan kalian.” (QS Al-Shaffat [37]: 96).
Jika hanya ayat ini yang dibaca dan dipahami, manusia akan menganggap bahwa ketidakbahagiaan atau kesengsaraan itu adalah karena Allah Swt., dan oleh karena itu manusia tidak perlu berusaha dan bekerja dalam hidupnya. Pendek kata, menganggap Allah Swt. yang membuat manusia tidak bahagia.
Padahal, pada ayat yang lain, Allah Swt. memberikan ketegasan bahwa apa pun yang manusia lakukan, itulah juga yang menjadi faktor untuk mengubah kehidupan mereka sendiri. Bahagia atau sengsara, semua itu bisa manusia wujudkan dengan usaha mereka sendiri. Allah Swt. berfirman, “Sesungguhnya, Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga mereka mengubah nasib mereka sendiri.” (QS Al-Ra’d [11]: 11). Di ayat lain, “Sesungguhnya, Allah tidak akan mengubah suatu nikmat yang telah diberikan kepada suatu kaum hingga mereka mengubah nikmat mereka sendiri.” (QS Al-Anfal [8]: 53).
Secara lahiriah, kedua model ayat di atas terlihat bertentangan. Namun, kalau ditelisik lebih dalam, konteks kedua model ayat itu sesungguhnya tidak bertentangan. Alasannya, salah satu prinsip mendasar untuk menafsirkan ayat-ayat Alquran adalah ketiadaan pertentangan antar ayat satu sama lain. Jika ada pertentangan, mengutip Yusuf al-Qardhawi, maka bisa jadi seorang penafsir itu sendiri yang kurang jeli melihat dan memahaminya lebih jauh.
Ayat-ayat pada model pertama oleh para ulama tafsir sebetulnya dimaksudkan untuk menunjukkan kekuasaan Allah Swt. Yang Mahamutlak tak tertandingi oleh siapa pun dan apa pun. Oleh karena itu, dalam tataran inilah manusia diharuskan memercayai (beriman) dengan takdir Allah Swt. Allah Swt. Mahakuasa atas makhluk-makhluk-Nya, karena Dia Yang menciptakan mereka semua.
Sedangkan, ayat-ayat pada model kedua dimaksudkan agar manusia selalu berusaha maksimal dan optimal dalam berusaha atau bekerja. Secara tersirat, Allah Swt. menegaskan kepada manusia untuk tidak menjadi pemalas yang hanya menunggu keajaiban dalam hidupnya. Allah Swt. juga sudah menegaskan bahwa manusia harus bekerja dan berusaha, pantang menyerah dan putus asa.
Manusia memiliki harapan dan mimpi untuk hidup bahagia, sejahtera dan sentosa. Allah Swt. secara tegas akan menjamin akan memenuhi itu semua jika manusia berusaha keras. Kegagalan adalah rintangan kecil yang Allah Swt. maksudkan sebagai cobaan: apakah sabar dan tawakal, atau malah putus harapan dan menyerah kalah.
Ayat Alquran berikut patut direnungkan bersama, “Tidak ada satu pun binatang melata di muka bumi ini, selain pasti telah Allah jamin rezekinya.” (QS Hud [11]: 6). Kalau hewan saja sudah dijamin ada rezekinya, kenapa manusia berkeyakinan bahwa Allah Swt. tidak memedulikannya?
Bekerja keras
Dalam Alquran, Allah Swt. berfirman, “Carilah apa yang telah dianugerahkan oleh Allah berupa negeri akhirat. Namun, jangan lupa nasibmu di dunia. Berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik padamu.” (QS Al-Qashash [28]: 77).
Bekerja keras untuk mendapatkan karunia Allah Swt. yang halal dan dengan cara-cara yang halal pula adalah mutlak kewajiban bagi setiap manusia. Rasulullah saw. dalam satu kesempatan pernah memuji seorang pemuda yang berbadan kekar dan berkeringat sedang berjalan membawa barang-barangnya untuk dijual ke pasar. Beliau mengatakan, “Sebaik-baik makanan adalah yang dihasilkan dari usaha tangannya sendiri.” (HR Ibn Majah).
Dalam sejarah kehidupan para sahabat Rasulullah saw. yang terbilang sukses, seperti Abu Bakar dan ‘Utsman ibn ‘Affan, tercatat bahwa kesuksesan mereka berdua adalah lantaran kerja keras ditopang doa yang intens juga rasa syukur yang besar. Perdagangan mereka maju pesat. Namun demikian, apa yang mereka hasilkan sepenuhnya digunakan untuk dan di jalan Allah Swt.
Sahabat lain, ‘Abdurrahman ibn ‘Awf, saat tiba di Madinah setelah ikut berhijrah meninggalkan tanah air dan tempat usahanya di Mekkah lantaran teror dan intimidasi kaum kafir Quraisy, ditawari sebidang tanah oleh salah seorang penduduk Madinah (kalangan Anshar). Namun, ia justru meminta cukup ditunjukkan pasar saja. Ia tidak ingin merepotkan orang lain. Ia ingin berusaha keras berdagang seperti saat di Mekkah.
Bekerja keras untuk menghidupi diri sendiri dan keluarga, selain kewajiban, juga merupakan bagian dari amal mulia yang kelak akan dicatat dan diberikan pahala tinggi di sisi Allah Swt. Allah Swt. tidak mewajibkan hamba-hamba-Nya untuk meraih hasil-hasil tertentu. Yang Allah Swt. wajibkan adalah agar mereka bekerja keras, optimal, dan maksimal, dengan selalu berdoa mengharap karunia Allah Swt. Karena, Allah Swt. menjamin bahwa apa yang manusia kerjakan, akan diberikan hasil yang setimpal.
Ajaran untuk bekerja keras sekaligus menjadi larangan untuk bermalas-malasan apalagi berputus asa (pesimisme). Allah Swt. berfirman, “Janganlah kalian berputus harapan untuk mendapatkan karunia Allah.” (QS Yusuf [12]: 87). Semua yang ada di alam raya ini hakikatnya adalah karunia Allah Swt. Ia bisa menghasilkan sesuatu yang bermanfaat dan menguntungkan manusia jika dikelola secara baik.
Bekerja keras untuk meraih karunia Allah Swt merupakan ciri khas orang-orang beriman yang meyakini bahwa Allah Swt. adalah pemberi rezeki bagi siapa pun yang berusaha dan bekerja secara maksimal. Allah Swt. menjanjikan tidak akan mencabut nyawa manusia sebelum kadar rezekinya disempurnakan. Rasulullah saw bersabda, “Seseorang tidak akan meninggal dunia sebelum disempurnakan rezekinya.” (HR Ibn Majah).
Bekerja keras sekaligus juga merupakan upaya agar setiap manusia di dunia ini berbuat hal positif baik bagi diri sendiri, keluarga, maupun orang lain. Manusia dituntut untuk berpartisipasi aktif menjadi hamba-hamba Allah Swt. yang mengisi kehidupan dunianya dengan sesuatu yang pada akhirnya akan dibalas oleh Allah Swt dengan kebaikan dan pahala yang berlipat.
Dengan demikian, prinsip kerja keras yang diajarkan oleh agama sekaligus merupakan ketegasan kepada manusia untuk tidak bermalas-malasan dan pesimisme. Karena, keduanya adalah musuh manusia yang harus dijauhi dan dihindari secepatnya.
Mencampakkan pesimisme
Salah satu sikap buruk yang dikecam oleh Allah Swt. adalah berputus asa. Sikap ini sering kali muncul ketika seseorang dilanda musibah, bencana, atau kesulitan hidup, yang membuatnya menderita, “Manusia tidak pernah jemu meminta keuntungan dan kebaikan untuk dirinya. Tetapi, ketika didera musibah, mereka cepat berputus asa.” (QS Fushshilat [41]: 49).
Sikap ini dikecam karena membuat manusia menjadi pasif, tidak kreatif. Padahal, bagi seorang muslim, hidup adalah tantangan. Gagal dan sukses adalah fakta alamiah yang bisa dan biasa saja terjadi. Prinsip hidup sejati muslim adalah bersyukur ketika sukses dan tetap optimis walaupun gagal. Allah Swt. mewanti-wanti hamba-hamba-Nya untuk itu, “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah.” (QS Al-Zumar [39]: 53).
Rahmat Allah Swt. yang dihamparkan-Nya jauh lebih besar jika dibandingkan dengan amarah-Nya. Dalam sebuah hadis qudsi, Allah Swt. mengatakan, “Sesungguhnya, rahmat-Ku mengalahkan amarah-Ku.” (HR Muslim). Sementara, di dalam Alquran Dia juga mengatakan, “Jika mereka tetap mendustakanmu, katakanlah bahwa Tuhan kalian memiliki rahmat yang sangat luas.” (QS Al-An’am [6]: 147).
Nabi Ibrahim menyebut orang-orang yang berputus asa sebagai orang-orang yang sesat, tak tentu arah dan tujuan, “Siapa yang berputusa asa, maka ia termasuk ke dalam golongan orang-orang yang sesat.” (QS Al-Hijr [15]: 56).
Lebih lanjut, Allah Swt. menyebut mereka sebagai orang-orang yang menyimpang dari jalan yang lurus (al-shirath al-mustaqim), “Wahai Tuhan kami, tunjukilah kami jalan yang lurus (al-shirath al-mustaqim). Yaitu, jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat, bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan sesat.” (QS Al-Fatihah [1]: 6-7).
Bahkan—tidak hanya sesat—berputus asa bisa menimbulkan kekufuran. Inilah salah satu pesan Nabi Ya’qub ketika melepas anak-anaknya untuk mencari Yusuf dan saudaranya di Mesir yang ia yakini masih hidup, “Wahai anak-anakku, pergilah kalian mencari berita tentang Yusuf dan saudaranya. Jangan berputus asa dari rahmat Allah. Karena, tiada yang berputus asa dari rahmat Allah selain orang-orang kafir.” (QS Yusuf [12]: 87).
Larangan berputus asa sekaligus dorongan untuk optimis dalam melangkah dan menatap masa depan. Bagaimanapun, masa depan adalah masa yang akan dihadapi. Merencanakan masa depan secara lebih baik merupakan satu ciri khas orang-orang mukmin, “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan perhatikan perbuatan di masa lalu sebagai evaluasi untuk masa depan. Bertakwalah kepada Allah. Dia Maha mengetahui apa yang kalian lakukan.” (QS Al-Hasyr [59]: 18).
Sikap pesimis yang melahirkan rendah diri dan putus asa adalah penyakit batin yang mesti dicampakkan jauh-jauh dari kehidupan kita. Sikap ini tidak hanya membuat kita mandul dalam berperan di kancah sosial yang penuh tantangan, tetapi juga menjadi bumerang yang memukul balik kita secara tak terduga. Kita, tentu tidak mengharapkan itu terjadi.
Putus asa mencirikan satu sikap negatif yang tidak meyakini potensi dirinya sendiri. Alquran mengistilahkan hal ini dengan “menzalimi” diri sendiri. Merasa tak mampu berbuat apa-apa. Padahal, setiap manusia telah diberikan potensi yang luar biasa besarnya oleh Allah Swt. Manusia dapat merencanakan masa depannya dan merencanakan hal-hal yang dapat membuat kehidupan ini membahagiakannya, baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Menyambut tahun 2007
Tahun akan berganti, dan pasti akan berganti, karena itulah takdir Allah Swt. yang pasti, diganti tahun baru yang harus manusia isi dengan, tidak hanya rencana-rencana positif, tetapi juga realisasi yang konkret. Sayangnya, sebagian kita tidak mampu memaknai pergantian tahun dalam konteks kerja keras dan optimisme yang baru. Akibatnya, tahun baru bukannya kita jadikan sebagai ajang introspeksi diri, tetapi ajang hura-hura, yang makna tersiratnya: ingin menjadikan masa depan hanya dengan hura-hura, menghabiskan banyak energi dan modal kapital secara sia-sia. Maka, jangan heran, bangsa ini, dari tahun ke tahun bukannya bergerak maju, tetapi malah jalan di tempat. Kalaupun maju, itu pun maju ala kura-kura: berjalan pelan, meskipun pasti.
Sudah saatnya, kita bertekad menjadikan pergantian tahun tidak hanya perubahan ulang tahun kita nanti, tetapi bagaimana tahun baru, menjadi pelecut semangat baru. Dan, semangat baru, sudah barang tentu meniscayakan keberadaan optimisme di dalam diri kita. Waktu adalah usaha. Tetapi, usaha tanpa doa dan berada di jalur yang benar, sesuai dengan jalan-jalan yang halal, berpotensi besar justru menjadi petaka. Semoga, ini tidak terjadi. Kita optimis, tahun baru bisa menjadi kekuatan segenap komponen bangsa untuk meningkatkan taraf hidupnya. Selamat tahun baru 2007.

Al-Waasit, Kamis 11 Januari 2007

Tidak ada komentar: