Sabtu, 11 Agustus 2007

AS Menyerang Iran?

SETELAH batas waktu yang diberikan oleh Badan Atom Internasional (IAEA) terhadap Iran untuk menghentikan segala aktivitas pengayaan uranium sebagai bahan dasar teknologi nuklir pada 31 Agustus lalu terlewati, sementara Iran justru menambah beberapa reaktor pembangkit nuklir baru, AS bertekad akan melancarkan serangan ke negeri para mullah itu dalam waktu dekat.
Tetapi, ide penyerangan AS masih sedikit terganjal oleh sikap beberapa negara Uni Eropa (UE) yang lebih menginginkan jalur diplomasi di meja perundingan sebagai alternatif terbaik, daripada ikut negeri Paman Sam itu menyerang Iran. Dan, sebetulnya, di pihak Iran, alternatif UE sejak memanasnya hubungan AS-Iran terkait nuklir, selalu dikedepankan. Sementara, di pihak AS, jalur militer tetap menjadi alternatif pertama, meski AS harus menanggung konsekuensi yang risikonya terlalu besar.
Melihat hal ini, apakah AS akan benar-benar menyerang Iran seperti yang pernah dilakukannya pada Afghanistan dan Irak sebelumnya? Jawaban terhadap pertanyaan ini menarik untuk disimak, karena, jika benar AS melakukan itu, dunia akan menyaksikan perang hebat abad ini dengan teknologi tandingan yang “mengkhawatirkan” AS: senjata nuklir Iran!

Politik militer AS
Memanasnya isu nuklir Iran tidak bisa dilepaskan dari tindakan AS “memprovokasi” dunia internasional untuk menekan Iran karena aktivitas nuklir yang tengah dikembangkan. AS tidak hanya “kebakaran jenggot” karena program nuklirnya ada yang menandingi, tetapi juga khawatir Iran akan menjelma menjadi negara kuat penyeimbangnya setelah Uni Soviet runtuh.
Sudah menjadi rahasia umum, AS tidak menginginkan terjadinya keseimbangan dunia, terutama dalam hal teknologi militer. Setelah Soviet runtuh, AS “memproklamasikan” diri sebagai negara adikuasa dan menjadi polisi dunia. Dewan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang seharusnya menempati posisi ini, justru berdiri di kaki AS. Ada ketergantungan yang kurang sehat, yang ujung-ujungnya, hanya untuk memuluskan kepentingan AS di dunia internasional melalui PBB.
Maksudnya, untuk menyelesaikan berbagai konflik bersenjata yang terjadi di belahan dunia, PBB tidak bisa melepaskan diri dari peran penting AS. Sementara itu, untuk memperkokoh dominasi AS sebagai polisi dunia, AS perlu legitimasi badan PBB. Dampak tidak sehat ketergantungan ini terbukti. Pada kasus penyerangan Israel yang didukung penuh AS terhadap milisi Hizbullah di Lebanon Selatan, PBB tidak mampu berbuat banyak untuk beberapa waktu lama.
Dengan status polisi dunia, AS tentunya akan dan ingin lebih leluasa memperluas dominasinya di segala hal, utamanya teknologi militer. AS tidak ingin ada satu negara pun yang “membangkang” terhadapnya. Meminjam pemikiran Samuel P Huntington, setelah AS “kehilangan” musuhnya, Soviet (sosialis), ancaman terbesar AS datang dari tanah Timur Tengah yang kental dengan nuansa keagamaan (Islam) beraroma “kebencian” pada Barat, utamanya AS karena terbukti pro-Israel. Dan, di antara musuh terbesar di kawasan ini saat ini adalah Iran yang berpotensi tidak hanya sanggup menandingi AS, tetapi juga bisa “mengalahkannya.”

Perlawanan Iran
Berkali-kali Presiden Ahmadinejad menyatakan bahwa program nuklirnya untuk tujuan damai, salah satunya untuk kepentingan pasokan listrik dalam negeri Iran. Tidak ada niat untuk mengembangkan senjata nuklir seperti yang dituduhkan AS. Maka, tuduhan AS dianggap sebagai bukan hanya tanpa dasar yang kuat, tetapi juga sebagai bentuk upaya AS mendominasi teknologi senjata nuklir dunia.
Iran, dengan adanya tekanan AS yang tidak beralasan itu, bersiap akan menghadapi apa pun yang akan dilakukan AS, termasuk siap menghadapi serangan AS jika itu terjadi. Bukti kesiapan Iran sudah nyata. Beberapa hari ini Iran melakukan serangkaian uji coba senjata rudalnya, baik di darat maupun di laut. Tampaknya, Iran memang sudah begitu siap mengantisipasi perang yang akan dikobarkan oleh AS dalam berbagai pernyataan resmi Presiden Bush.
Perlawanan Iran tampaknya memang tidak main-main, sehingga situasi makin memanas. Meski demikian, Iran tetap membuka pintu dialog untuk menyelesaikan persoalan ini. Sayangnya, sikap AS tampak masih belum melunak, meskipun UE terus-menerus menekan AS untuk mau berunding dengan Iran. Padahal, tekanan tersebut sebetulnya sudah lama dilakukan oleh UE sejak isu nuklir Iran diembuskan kembali oleh AS.
Bagi Iran, laporan IAEA bisa jadi hanya akal-akalan AS untuk menyudutkan Iran dan membuktikan bahwa Iran memang tengah mengembangkan senjata nuklirnya. Hal yang sama sebelumnya telah dilakukan oleh AS terhadap Irak yang menuduh rezim Saddam Hussein memiliki senjata nuklir tetapi tidak terbukti. Ujung-ujungnya, AS tetap menyerang Irak.
Apakah Iran akan benar-benar diserang oleh AS dengan dalih yang tidak jauh mirip dengan gelindingan isu atas Irak? Masih terlalu dini menyebutkan bahwa Iran akan diserang oleh AS. Kali ini tekanan UE semakin serius agar jangan sampai terjadi perang yang justru akan melahirkan instabilitas dan dunia yang terpecah dalam dua blok besar: pro-AS atau kontra-AS.
Sikap keras AS memang harus dilunakkan jika menginginkan perang tidak terjadi. Iran sudah menyatakan kesediaannya untuk berunding. Jika AS masih saja bersikeras akan menyerang Iran, selain Iran sudah siap menghadapinya, dunia internasional akan terkena imbasnya, baik langsung maupun tidak. Pilihan AS agar Iran diembargo bisa jadi adalah alternatif kedua AS. Tetapi alternatif ini juga tidak akan menyelesaikan masalah, dan rakyat Iran pada akhirnya akan menjadi korban.
Tampaknya, tidak ada kata lain selain menyatukan kata mendesak AS untuk mengurungkan niatnya menyerang Iran. Tetapi, mungkinkah polisi dunia itu harus “takluk” dan “dipermalukan” begitu saja oleh musuh baru kemarin sorenya, Iran? Dunia hanya ingin perdamaian tercipta di kawasan yang selalu “panas” dan “memanas” itu. Wallahu a’lam.

Duta Masyarakat, Selasa 12 September 2006

Tidak ada komentar: