Selasa, 14 Agustus 2007

Mempertajam Visi Tajdid Muhammadiyah

Pada 3-5 Juli organisasi sosial kemasyarakatan Islam tertua yang masih eksis hingga saat ini, Muhammadiyah, tengah melaksanakan muktamarnya yang ke-45 di Malang, Jawa Timur. Pagelaran muktamar lima tahunan ini sekaligus juga akan memilih Ketua PP Muhammadiyah untuk masa bakti 2005-2010.
Amien Rais, yang juga mantan Ketua PP Muhammadiyah, dan Ahmad Syafii Ma‘arif, yang melanjutkan sisa kepengurusan Amien Rais, menolak untuk dicalonkan sebagai ketua umum. Mereka memberikan kesempatan yang luas kepada orang-orang baru yang lebih segar untuk mengambil tongkat estafet Muhammadiyah, meskipun di kalangan grass root cenderung masih mengharapkan kedua sosok ini untuk memimpin Muhammadiyah.
Di usianya yang hampir satu abad, Muhammadiyah telah banyak memberikan andil yang cukup besar bagi bangsa Indonesia, khususnya umat Islam. Lembaga-lembaga pendidikan, dari taman kanak-kanak (TK), sekolah-sekolah dasar (SD), sekolah-sekolah menengah tingkat atas (SMA/SMU), hingga perguruan-perguruan tinggi (PT) yang berbasis dan dikelola oleh kalangan Muhammadiyah sudah cukup marak, menyebar hampir di setiap kota besar di seluruh Indonesia. Semua itu merupakan sumbangsih nyata Muhammadiyah dalam membantu pemerintah soal peningkatan sumber daya manusia (SDM) di negeri ini.
Kerja sama Muhammadiyah dengan organisasi-organisasi Islam tingkat internasional juga sudah banyak digalang. Muhammadiyah, sesuai dengan komitmennya, sudah melebarkan sayapnya di level internasional. Pendek kata, tidak ada yang tidak kenal dengan Muhammadiyah, baik di kalangan nasional maupun internasional. Reputasi organisasi ini juga sudah diakui mapan dan dapat diperhitungkan. Tokoh-tokohnya sudah mendunia. Pemikiran-pemikirannya juga banyak dipakai di kalangan warga muslim dunia.
***
Sejak didirikan pada 1912 oleh KH Ahmad Dahlan dan teman-temannya, organisasi ini sudah diplot untuk menjaga gerbong pemikiran modern intelektual muslim. Konsep tajdid menjadi bahasa khas Muhammadiyah. Istilah ini untuk membedakan dengan organisasi tradisionalis Nahdlatul Ulama (NU) yang didirikan oleh KH Hasyim Asy‘ari tahun 1926, meskipun dalam beberapa hal, klaim kaum modernis yang dialamatkan kepada Muhammadiyah dan tradisionalisme yang disematkan untuk kalangan NU tidak selalu faktual. Dalam pengertian, kedua-duanya sebetulnya tidak antimodernitas seperti kecenderungan tradisionalis pada umumnya. Keduanya tidak menolak pemikiran tradisionalis.
Tradisionalis yang disematkan untuk kalangan NU dan julukan modernisme untuk kalangan Muhammadiyah sebetulnya bisa dipahami dari sisi misi dan visinya yang menjadi prioritas utama. Visi dan misi NU memang lebih diorientasikan untuk kalangan rakyat kelas bawah yang umumnya berbasis di pedesaan-pedesaan dan pelosok dalam.
Sedangkan Muhammadiyah divisikan untuk menggarap perkotaan. Namun, seiring kompleksnya persoalan hidup dan kehidupan umat manusia saat ini, kedua organisasi mau tidak mau harus menerjunkan diri, turut berperan aktif dalam persoalan manusia dan kemanusiaan universal.
Muhammadiyah dalam sejarahnya, memang terinspirasi oleh gerakan pembaruan Islam di Mesir yang dilakukan Jamaluddin al-Afghani, Muhammad ‘Abduh, dan Muhammad bin ‘Abdul Wahhab. Lebih jauh, sebelum mereka, ide pembaruan (tajdid) yang diusung Muhammadiyah bersambung kepada pola pemikiran Ibn Taymiyyah.
Tokoh-tokoh ini berusaha mereformasi pola kehidupan umat Islam yang mulai tidak murni berbasis pada pemandangan Alquran dan sunah Rasulullah SAW. Adanya praktik-praktik yang berbau syirik dan khurafat menjadi bukti kuat betapa akidah umat Islam sudah berbelok arah dan tujuan. Hal ini tentu saja tidak bisa dibiarkan begitu saja. Muhammadiyah lahir, salah satunya diilhami hal-hal demikian yang ternyata juga banyak menjangkiti kaum muslim di Indonesia.
Oleh karena itu, rumusan tajdid yang diusung Muhammadiyah sebetulnya bukan liberalisme pemikiran, melainkan justru revivalisme pemikiran keagamaan. Muhammadiyah mendefinisikan tajdid sebagai upaya mengembalikan pemikiran tajdid berlandaskan Alquran dan sunah Rasulullah SAW.
Jika tidak ditemukan rumusannya secara konkret pada kedua sumber utama itu, ijtihad adalah pilihan utama. Bukti lain bahwa pemikiran Muhammadiyah cenderung revivalistis adalah adanya lembaga tarjih di dalamnya. Lembaga ini diplot untuk menyelesaikan persoalan-persoalan problematis di kalangan umat Islam guna dicarikan solusi yang terkuat dari sumber-sumber utama pegangan umat Islam itu.
Meski demikian, revivalisasi pemikiran yang diusung Muhammadiyah tidak antimodernitas. Isu-isu global seperti HAM, gender, dan pluralisme tidak secara mentah ditolak habis-habisan. Muhammadiyah dalam soal ini mencoba bersikap arif sesuai dengan misi inti jantung Islam itu sendiri.
Alquran dan sunah Rasulullah SAW oleh Muhammadiyah coba dikontekstualisasikan dalam masyarakat muslim Indonesia. Pendek kata, meskipun secara lahiriah Muhammadiyah mengusung revivalisasi pemikiran, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kontekstual dalam memahami Islam, bukan pendekatan literalistis Islam. Sehingga Muhammadiyah memiliki kesadaran bahwa Islam bisa diterapkan dalam setiap masa dan zaman jika dipahami secara menyeluruh.

Mempertajam visi tajdid
Kalau demikian halnya, Muhammadiyah sudah saatnya makin mempertajam visi tajdidnya. Persoalan umat manusia yang kian kompleks mau tidak mau harus disikapi dengan arif dan bijaksana. Dengan demikian, kiprah Muhammadiyah dalam tataran pemikiran Islam akan makin kukuh.
Muhammadiyah dalam hal ini memang dihadapkan pada sebuah pergulatan pemikiran keislaman yang tiada hentinya. Muhammadiyah diniscayakan untuk berada pada posisi tengah (ummatan wasathan: moderat). Antara liberalisme dan tradisionalisme pemikiran.
Untuk mempertajam visi tajdid ini, hemat penulis, ada beberapa hal yang harus dilakukan. Pertama, melihat dunia sarat dengan kompleksitasnya sebagai sebuah wacana yang harus disikapi dengan kritis, tanpa melupakan basis utama pegangan Islam.
Kedua, berusaha memosisikan diri secara cermat, sehingga benar-benar menjadi solusi, bukan malah menjadi bagian dari problem umat Islam itu sendiri. Ketiga, makin mengembangkan upaya-upaya pembaruan di segenap segmen masyarakat, tanpa mengenal strata sosial dan perbedaan status, baik itu status agama, ras, dan suku.
Dengan demikian, kiprah Muhammadiyah akan semakin inklusif, dalam pengertian menjadi organisasi yang terbuka menerima pemikiran apa pun selama itu tidak bertentangan dengan misi dan visi utama Alquran dan sunah Rasulullah saw.
Dalam muktamar ke-45 ini, persoalan tajdid harusnya tidak menjadi agenda pemikiran yang terabaikan. Kalau di kalangan NU ada bahtsul masâ’il di setiap pagelaran muktamarnya, maka kenapa tidak persoalan tajdid menjadi agenda utama. Toh, itu juga yang akan Muhammadiyah hadapi pada setiap masa.
Merumuskan lalu mempertajam lagi visi tajdid Muhammadiyah memiliki urgensitas yang tidak bisa disepelekan. Bukan penyatuan pemikiran dalam pola-pola tertentu, melainkan berusaha menegaskan kembali bahwa tajdid Muhammadiyah memiliki ciri khas tersendiri, yaitu moderatisme pemikiran. Tidak memihak dua kubu yang selalu berlawanan: tradisionalisme dan liberalisme. Dengan demikian, kiprah Muhammadiyah di segmen pemikiran akan menemukan polanya yang kukuh.

Media Indonesia, Rabu 6 Juli 2005

Tidak ada komentar: