Sabtu, 25 Agustus 2007

Globalisasi Mengancam Demokrasi?

BEBERAPA waktu belakangan ini sedikit ada kekhawatiran soal globalisasi dalam kaitannya dengan demokrasi. Benarkah demokrasi terancam oleh globalisasi. Atau, justru sebaliknya, globalisasi semakin memperkuat demokrasi. Atau, jangan-jangan demokrasi ada hanya di atas kertas, dalam praktiknya, ia terdikte oleh mesin-mesin globalisasi yang disinyalir dimainkan oleh para petualang kapitalis baru.
Globalisasi
GLOBALISASI adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalangan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi bias. Dalam banyak hal, globalisasi memiliki banyak karakteristik yang sama dengan internasionalisasi, dan istilah ini sering kali dipertukarkan. Sebagian pihak sering menggunakan istilah globalisasi yang dikaitkan dengan berkurangnya peran negara atau batas-batas negara.
Jika sebagian orang mengatakan bahwa globalisasi hanya mitos, beberapa hal berikut menggambarkan bahwa globalisasi memang nyata. Pertama, perubahan dalam konsep ruang dan waktu. Kedua, pasar dan produksi ekonomi di negara-negara yang berbeda menjadi saling bergantung sebagai akibat dari pertumbuhan perdagangan internasional, peningkatan pengaruh perusahaan multinasional, dan dominasi organisasi semacam WTO atau Uni Eropa, dan lainnya. Ketiga, peningkatan interaksi kultural melalui perkembangan media massa (terutama televisi, film, musik, dan transmisi berita dan olah raga internasional). Keempat, meningkatnya masalah bersama, misalnya pada bidang lingkungan hidup, krisis multinasional, inflasi regional dan lain-lain.
Kennedy dan Cohen menyimpulkan bahwa transformasi ini telah membawa kita pada globalisme, sebuah kesadaran dan pemahaman baru bahwa dunia adalah satu. Giddens menegaskan bahwa kebanyakan dari kita sadar bahwa sebenarnya diri kita turut ambil bagian dalam sebuah dunia yang harus berubah tanpa terkendali yang ditandai dengan selera dan rasa ketertarikan akan hal sama, perubahan dan ketidakpastian, serta kenyataan yang mungkin terjadi. Sejalan dengan itu, Peter Drucker menyebutkan globalisasi sebagai zaman transformasi sosial.

Demokrasi terancam?
BENARKAH demokrasi terancam? Jika demokrasi dipahami sebagai sebuah sistem di mana dalam suatu negara ada elemen eksekutif, yudikatif, dan legislatif yang hakikatnya memainkan peran begitu penting, namun kemudian terkooptasi, terdikte, dan terkulai tak berdaya di bawah kaki kekuatan mesin-mesin globalisasi dunia yang tiada lain adalah kekuatan kapitalisme baru, demokrasi memang betul-betul terancam.
Tetapi, jika demokrasi dipahami sebagai suatu kultur yang memberikan ruang kebebasan pada setiap orang untuk memainkan perannya masing-masing dan mendapatkan yang diinginkan, maka globalisasi bisa dimaknai pula sebagai momentum untuk mewujudkan hal itu. Dengan relasi lintas negara dan wilayah, serta kultur-kultur lain, demokrasi memungkinkan setiap orang memilih yang terbaik demi meningkatkan taraf hidupnya.
Pertanyaannya, apakah globalisasi memberikan harapan yang cerah untuk itu? Pandangan para globalis positif mengatakan demikian. Namun, tidak dengan para globalis pesimis. Mereka menyatakan bahwa globalisasi adalah sebuah fenomena negatif karena hal tersebut sebenarnya adalah bentuk penjajahan Barat (terutama Amerika Serikat) yang memaksa sejumlah bentuk budaya dan konsumsi yang homogen dan terlihat sebagai sesuatu yang benar dipermukaan.
Kekhawatiran bahwa demokrasi akan terancam globalisasi tampaknya tidak perlu ada jika demokrasi betul-betul dipahami sebagai kekuatan dari, oleh, dan untuk rakyat, yang kemudian diterjemahkan oleh negara dengan kebijakan-kebijakan prorakyat dalam momentum apa pun, termasuk momentum globalisasi itu sendiri. Artinya, rakyat tidak dikorbankan oleh kepentingan globalisasi, tetapi justru mengambil nilai-nilai positif dari globalisasi itu.
Peran negara dan rakyat tentunya, dengan demikian, harus kuat dan terus-menerus dijaga. Globalisasi dalam maknanya yang luas bisa membawa perubahan yang positif. Tetapi, dalam maknanya yang sempit sebagai kekuatan kapitalis yang ingin “menyingkirkan” peran negara, harus betul-betul diwaspadai. Kebijakan suatu negara memainkan peranan yang sangat penting di sini. []

Duta Masyarakat, Rabu 15 Agustus 2007

Selasa, 21 Agustus 2007

Wacana Parpol Lokal, Demokrasi, dan Tribalisme

Beberapa hari ke belakang, beberapa media massa nasional baik cetak maupun elektronik diramaikan oleh wacana partai politik (parpol) lokal yang muncul kembali gaungnya pascaperundingan antara pemerintah Republik Indonesia (RI) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) babak ke lima yang berlangsung di Helsinki, Finlandia, 18 Juli 2005 silam.
Adalah GAM yang meminta dibentuknya parpol lokal. Alasannya, parpol lokal dapat sepenuhnya menampung keinginan warga Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang selama ini, menurut mereka, kurang terakomodasi oleh partai-partai nasional yang berpusat di Jakarta. Selain itu, parpol lokal adalah permintaan terakhir GAM sebagai wujud kebersediaan mereka untuk berunding menyelesaikan konflik yang memakan hampir tiga puluh tahun lamanya.

Wacana parpol lokal
Setidaknya ada tiga kubu yang berbeda pandangan soal wacana parpol lokal ini. Pertama, kubu yang menolak adanya parpol lokal (konservatif). Kedua, kubu yang memandang perlunya parpol lokal (liberal). Dan ketiga, kubu moderat yang mencoba mendudukkan persoalan parpol lokal secara ‘adil’. Dalam pengertian, tidak menolak adanya parpol lokal, tapi juga mengharapkan jangan sampai parpol lokal terjadi dengan beberapa asumsi.
Kubu pertama beralasan bahwa parpol lokal berpotensi memunculkan fanatisme kedaerahan dan tribalisme. Ujung-ujungnya, parpol lokal bisa menjadi benih bagi terbentuknya kekuasaan federal di daerah bersangkutan. Selain itu, secara konstitusi, parpol lokal bertentangan dengan Undang-Undang parpol No. 31/2002 yang mengharuskan semua parpol berpusat di Jakarta.
Sedangkan, kubu kedua adalah kebalikan dari kubu pertama. Kubu kedua menerima adanya parpol lokal. Alasannya, adanya parpol lokal justru akan makin menguatkan proses desentralisasi dan akan makin manguatkan daya saing positif pada setiap daerah untuk membangun dan mengembangkan potensi-potensi yang ada di dalamnya. Selain itu, landasan demokrasi yang diusungnya juga secara tidak langsung ‘tidak melarang’ adanya parpol lokal.
Kubu ketiga adalah kubu yang moderat. Yaitu kubu yang melihat persoalan parpol lokal sesuai dengan situasi dan kondisi yang terkait dengan banyak hal. Gagasan parpol lokal yang menghangat kembali baru-baru ini membutuhkan kejernihan dan kejelian dalam menyikapinya.
Menurut kubu ini, tidak ada persoalan jika memang NAD mendirikan parpol lokal. Namun, sebelum itu, Undang-Undang terkait yang ada harus diubah. Atau, kalaupun itu tidak dilakukan, maka parpol lokal hanyalah khusus diberikan kepada NAD, tidak untuk daerah yang lain. Alasan utamanya, NAD telah diberikan otonomi khusus yang luas dalam hal politik dan pembangunan.
Apa pun itu, ketiga pandangan itu merupakan wacana yang hemat penulis akan terus bergulir cukup lama. Beberapa isu terbaru menyatakan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan membahas persoalan ini secara konstitusional dalam musyawarah anggota dalam waktu dekat ini.
DPR menjanjikan akan memberikan solusi efektif bagi wacana parpol lokal. Salah satu yang muncul adalah bahwa parpol lokal kemungkinan akan dibentuk di NAD namun hanya dalam jangka satu tahun. Itupun baru sebatas percobaan, tidak menjamin akan terbentuk secara permanen.

Parpol lokal di pemilu 1955
Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1955 tercatat sebagai pemilihan pertama yang paling demokratis di negeri ini. Pasalnya, ada banyak partai politik yang ikut menjadi kontestan di dalamnya. Tercatat ada sekitar 28 partai politik. Sehingga, keperwakilan suara rakyat benar-benar terakomodasi secara penuh. Tidak hanya itu, partisipasi rakyat juga sangat besar. Ini merupakan hal yang luar biasa. Itu pula yang mengawali langkah pertama kali bangsa Indonesia menjadi negara demokratis.
Ingar-bingar pemilu 1955 di satu sisi ternyata menghadirkan fenomena menarik yang saat ini gencar diwacanakan oleh media-media nasional, yaitu wacana parpol lokal. Ahli Indonesia legendaris, Prof Herbert Feith, mencatat dengan baik hasil keseluruhan pemilu 1955 ini. Feith membagi parpol peserta pemilu 1955 ke dalam empat bagian yang khas, yaitu: partai besar, partai menengah, kelompok kecil yang bercakupan nasional, dan kelompok kecil yang bercakupan kedaerahan atau kesukuan.
Kategori terakhir inilah yang ternyata muncul kembali diwacanakan saat ini. Masuk dalam kategori terakhir adalah Partai Rakyat Desa (PRD), Partai Rakyat Indonesia Merdeka (PRIM), Gerakan Pilihan Sunda (GPS), Partai Tani Indonesia (PTI), dan Gerakan Banteng (GB). Parpol-parpol ini terbanyak berlokasi di Jawa Barat. Sedangkan di Yogyakarta, ada juga partai kedaerahan, yaitu partai Gerinda. Di Kalimantan Barat ada Partai Persatuan Daya (PPD). Sedangkan di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), ada partai Persatuan Indonesia Raya (PIR). Di Jawa Timur sebetulnya juga ada, yaitu AKUI, sebuah partai kedaerahan yang umumnya di warnai oleh keberadaan orang-orang Madura muslim. Partai ini dekat dengan Masyumi.
Namun, tercatat, parpol-parpol yang mengusung ‘sentimen’ kedaerahan itu umumnya tidak memperoleh suara signifikan. Pendek kata, parpol kedaerahan tidak menjamin akan mendulang suara terbanyak. Itu dibuktikan langsung pada oleh kemenangan Partai Nasionalis Indonesia (PNI) di beberapa daerah yang di dalamnya ternyata ada parpol kedaerahan. Di Jawa Barat, Gerakan Banteng (GB) bertengger di urutan ke-20, PRD ke-21, dan PTI ke-23. Di Jawa Tengah, Gerinda juga hanya bertengger di peringkat ke-18.

Parpol lokal, perlukah?
Pemilu 1955 telah menggambarkan secara konkret betapa parpol-parpol lokal yang mengusung ‘sentimen’ kedaerahan ‘kurang begitu diterima’ publik. Parpol besar yang berskala nasioanal, seperti PNI dan Masyumi, ternyata lebih signifikan dalam perolehan jumlah suara. Ini sekaligus menjadi bukti kuat bahwa besar kemungkinan parpol lokal yang saat ini gencar diperdebatkan memang betul-betul hanya sebatas wacana. Dalam tataran praksis, hal itu akan sulit terwujud.
Apakah dengan demikian, parpol lokal memang tidak akan pernah terwujud kelak di kemudian hari? Tidak ada yang dapat memastikan. Namun, hemat penulis, ada beberapa hal yang cukup urgen diperhatikan terkait dengan wacana parpol lokal. Pertama, kalau memang wacana parpol lokal serius dibahas DPR, maka sudah seharusnya, DPR berani mengubah Undang-Undang yang ada sehingga memungkinkan parpol lokal terwujud.
Kedua, gagasan parpol lokal secara langsung dimunculkan oleh GAM yang notabenenya menginginkan kemerdekaan NAD pada awalnya. Ini berpotensi membuat daerah-daerah lain menginginkan hal yang sama. Jika itu terjadi, persoalan disintegrasi harus siap-siap dihadapi oleh bangsa ini.
Ketiga, kalau memang serius mempraksiskan wacana parpol lokal, maka DPR dan pemerintah harus secara konkret menjabarkan itu dalam bentuk Undang-Undang baru. Karena, parpol lokal tidak hanya sebatas keinginan suara-suara daerah yang bersangkutan, akan tetapi terkait juga secara administratif dengan pemerintah pusat. Pendek kata, bagaimanakah pola hubungan parpol lokal itu dengan pemerintah.
Wacana parpol lokal hemat penulis akan tetap menghangat sebelum DPR membahasnya secara khusus. Namun, penulis berasumsi bahwa pada akhirnya, parpol lokal memang hanya sekedar wacana. Negara dan bangsa ini belum cukup kuat untuk menjadi negara federal, meskipun hal itu sangat mungkin bisa dilakukan.
Proses demokratisasi di negeri ini saja masih dalam proses yang membutuhkan waktu yang tidak lama. Jika parpol lokal merupakan bagian dari proses itu, maka kita memang harus rela hal tersebut diwacanakan.

Duta Masyarakat, Kamis 28 Juli 2005

Wacana Kemukjizatan Alquran dan Pandangan Ibnu Taimiyyah

Alquran hingga detik ini diyakini oleh umat Islam sebagai satu-satunya kitab suci wahyu Tuhan yang memiliki keistimewaan luar biasa. Satu keistimewaan yang sulit ditemukan pada kitab-kitab wahyu yang Tuhan turunkan kepada umat-umat sebelum Nabi Muhammad SAW. Keistimewaan ini makin lengkap dengan adanya legitimasi Tuhan yang menjamin otentisitas Alquran hingga hari kiamat, “Sesungguhnya Kami yang menurunkan al-Dzikr (Alquran), maka Kami pula yang akan menjaganya.” (Al-Hijr: 9)
Demikianlah, Allah SWT menjamin keotentikan Alquran, jaminan yang diberikan atas dasar kemahakuasaan dan kemahatahuan-Nya, serta berkat upaya-upaya yang dilakukan oleh makhluk-makhluk-Nya, terutama oleh manusia. Dengan jaminan ayat di atas, setiap Muslim percaya bahwa apa yang dibaca dan didengarnya sebagai Alquran tidak berbeda sedikitpun dengan apa yang pernah dibaca oleh Rasulullah SAW, dan yang didengar serta dibaca oleh para sabahat Nabi SAW (M. Quraish Shihab, Membumikan Alquran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, 1992).
Keistimewaan Alquran, sering, bahkan selalu dikaitkan dengan istilah mukjizat. Alquran disebut istimewa karena ia adalah mukjizat utama Rasulullah SAW. Terbukti di sepanjang sejarah manusia pada masa Nabi SAW hingga saat ini, belum ada yang mampu menandingi karya agung Tuhan ini. Padahal, tantangan sudah Alquran gelar bagi siapa pun yang ingin membuat semisalnya hingga satu ayat saja. Tak ada yang mampu melakukannya.
Tantangan Alquran terhadap orang-orang Arab pada masa Nabi SAW, misalnya, terjadi dalam tiga tahapan. (Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an,1998) Pertama, tantangan dengan seluruh Alquran dalam uslub umum yang meliputi orang Arab sendiri dan orang lain, manusia dan jin, dengan tantangan yang mengalahkan kemampuan mereka secara padu melalui firman-Nya, “Katakanlah (wahai Muhammad) kepada umatmu, jika mereka berkoalisi dengan jin untuk membuat Alquran lain yang sama dengan Alquranmu, niscaya mereka tidak akan mampu melakukannya, meskipun satu sama lain saling membantu.” (Al-Isra: 88)
Kedua, menantang mereka dengan sepuluh surat saja dari Alquran, “Apakah mereka mengatakan bahwa Muhammad yang membuatnya? Katakanlah (ya Muhammad), buatlah sepuluh surat saja yang seperti Alquran. Kalau perlu, undanglah orang-orang yang kalian yakini mampu, tanpa keterlibatan Allah jika kalian yakin bisa membuatnya.” (Hud: 13)
Ketiga, menantang mereka dengan satu surah saja dari Alquran, “Apakah mereka mengatakan bahwa Muhammad-lah yang membuat Alquran? Katakan kepada mereka untuk membuat satu surat saja yang semisal Alquran.” (Yunus: 38). Dalam ayat yang lain, Allah SWT juga menggelar tantangan, “Jika kalian tetap meragukan apa yang Kami telah turunkan kepada Muhammad, coba, buatlah satu surat yang semisalnya. Kalau perlu, undanglah orang-orang yang kalian yakini bisa membantu untuk membuatnya, jika kalian yakin bisa membuatnya.” (Al-Baqarah: 23)

Wacana kemukjizatan Alquran
Ketidakmampuan manusia yang sudah dibuktikan dalam rentangan sejarah untuk membuat yang sebanding dengan Alquran, dari dulu, hingga saat ini masih terus diperdebatkan. Sebagian besar kalangan Muslimin meyakini bahwa Alquran memang betul-betul kalam Allah SWT yang tidak akan seorangpun mampu membuatnya.
Setiap yang membuat, pasti akan gagal. Penyebabnya antara lain, gaya bahasa Alquran yang sangat indah. Suatu gaya bahasa yang tak terbetik sebelumnya di kalangan para penyair Arab kala itu. Pandangan semacam ini umum dianut oleh kalangan Salaf.
Namun, ada juga kalangan kaum Muslimin yang memandang bahwa manusia itu sebenarnya mampu untuk membuat seperti Alquran, akan tetapi karena Allah SWT mencabut kemampuan mereka, akhirnya mereka menjadi tidak mampu. Pandangan ini umum dianut oleh Muktazilah.
Adalah Abu Ishak Ibrahim al-Nazzam dan pengikutnya dari kalangan Syiah seperti Al-Murtadha, yang menyatakan hal demikian. Mereka berpendapat bahwa kemukjizatan Alquran adalah dengan cara sarfah (pemalingan). Arti al-Sarfah menurut Al-Nazzam ialah bahwa Allah SWT memalingkan orang-orang Arab untuk menantang Alquran padahal, sebenarnya mereka mampu menghadapinya. Maka pemalingan inilah mukjizatnya.
Dengan substansi yang hampir sama, Al-Murtada mengartikan al-Sarfah sebagai pencabutan yang Allah SWT lakukan terhadap potensi-potensi manusia untuk membuat Alquran. Potensi yang dimaksudkannya adalah ilmu-ilmu yang diperlukan untuk menghadapi Alquran agar mereka tidak mampu untuk membuat yang seperti Alquran. (Lihat Manna Khalil al-Qattan atau Musthafa Shadiq al-Rafii, I’jaz Alquran wa al-Balaghah al-Nabawiyyah)
Namun pandangan seperti ini umumnya ditolak oleh kalangan Salaf, sebab, itu menunjukkan adanya ketidak-fair-an. Bagaimana bisa, menantang sesuatu yang telah lemah? Selain itu, pandangan ini akan menggiring pada keyakinan bahwa Alquran itu sejatinya bukan mukjizat. Karena, Alquran itu sebenarnya biasa saja, tidak ada yang istimewa. Allah-lah yang membuat orang tidak mampu membuatnya. Bukan Alquran yang mukjizat.
Demikian kritikan yang Abu Bakar al-Baqillani lontarkan. Menurutnya, salah satu hal yang membatalkan pendapat sarfah ialah argumen yang menyatakan bahwa kalaulah menandingi Alquran itu mungkin tetapi karena dihalangi oleh sarfah, maka kalam Allah itu tidak mukjzat, melainkan sarfah-nya yang mukjizat. Dengan demikian, kalam itu sendiri tidak mempunyai kelebihan apa pun atas kalam yang lain.
Selain itu, ayat Alquran yang berisikan tantangan sama sekali tidak menunjukkan adanya sarfah. Justru manusia masih memiliki kemampuan, tapi mereka lemah sendiri. Karena, jika kemampuan mereka telah dicabut, maka berkumpulnya jin dan manusia tidak lagi berguna. Mereka laksana perkumpulan orang-orang yang mati. Hal itu tentu saja tidak patut disebut-sebut oleh Alquran.
Selain dua pandangan besar di atas, masih banyak pandangan-pandangan tentang kemukjizatan Alquran, namun hampir sebagian besarnya berkisar pada aspek kebahasaan Alquran, yang menyangkut balaghah, badi’, isinya yang terkait dengan pemberitaan hal gaib, dan isinya yang mengandung pesan-pesan ilmu dan hikmah.
M. Quraish Shihab dalam Mukjizat Alquran Ditinjau Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Gaib-nya (1997) juga mengemukakan hal yang hampir sama. Sebelum membantah adanya pandangan sarfah, beliau terlebih dahulu merumuskan pertanyaan bahwa benarkah semangat mereka dilemahkan Allah SWT? Benarkah semangat mereka pudar? Benarkah tidak ada upaya dari mereka? Ternyata, sejarah Alquran mencatat sebaliknya!
Sejarah menjelaskan bahwa mereka berusaha menghalangi laju ajaran Alquran dengan menggunakan segala cara yang mereka mampu lakukan. Bukankah mereka melawan Muhammad SAW dengan pedang dan tombak? Mengapa mereka harus melakukan hal yang sukar ini, jika memang mereka mampu meruntuhkan dakwah Nabi Muhammad SAW dengan membuat semacam Alquran? Hal ini justru menunjukkan bahwa semangat menantang tetap menggebu, hanya saja semangat membuat semacam Alquran itu tidak terlayani. Mereka sadar akan kemampuan mereka yang terbatas. Mereka terpaksa mencari cara lain.

Pandangan Ibnu Taimiyyah
Ibnu Taimiyyah (661-728 H) lahir dalam konstelasi perdebatan tentang kemukjizatan Alquran yang masih menghangat. Sebagai neo-Salaf di zamannya, beliau memiliki pandangan yang tidak jauh berbeda dengan yang dianut oleh para pendahulunya. Namun agak berbeda dengan pendahulunya yang memandang segi kemukjizatan Alquran hanya pada aspek bahasa.
Ibnu Taimiyyah justru memandang bahwa kemukjizatan Alquran tidak hanya itu. Akan tetapi terletak pada aspek yang beliau sebut dengan ayat, bayyinah dan burhan. Alquran adalah ayat, bayyinah dan burhan bagi umat manusia seluruhnya. Tiga aspek inilah yang Ibnu Taimiyyah sebut dengan inti kemukjizatan Alquran. (Lihat Ibnu Taimiyyah, Tafsir al-Kabir, 1997).
Menurut beliau, sebenarnya tidak ada kata mukjizat dalam Alquran. Yang ada hanya istilah ayat, bayyinah, dan burhan. Ayat-ayat Alquran, misalnya menjelaskan ketiga hal itu, “Wahai orang-orang yang beriman, sungguh telah datang kepada kalian burhan dari Tuhan kalian. Kami juga turunkan cahaya yang jelas untuk kalian.” (An-Nisa: 174).
Para Nabi utusan Allah SWT tidak disebutkan memiliki mukjizat, akan tetapi disebutkan memiliki ayat, burhan, dan bayyinah, “Ketika ayat datang kepada mereka, mereka malah berkata, ‘Kami tidak akan beriman hingga kami diperlihatkan sesuatu yang oleh para nabi utusan Allah zaman dulu perlihatkan’. Katakanlah, Allah itu lebih tahu dengan risalah yang ia buat.” (Al-An’am: 124)
Pandangan beliau tentang kemukjizatan Alquran, lengkap beliau tuangkan dalam bahasan khusus dalam tafsirnya, Tafsir al-Kabir. Di sini, beliau tidak hanya mampu menjadikan sekaligus menempatkan Alquran sebagai wahyu sakral, tapi lebih dari itu, ia mampu membawa kesakralan Alquran dalam wilayah manusia.
Alquran menjadi ayat bagi umat manusia, yang dengannnya, manusia mampu menemukan relasi dan kesadaran bahwa ada pencipta Alquran yang jauh lebih hebat, yaitu Allah SWT. Alquran juga menjadi burhan karena isi yang dikandungnya sarat dengan pesan-pesan petunjuk universal dan abadi, yang selalu menyertai dan mengontrol kehidupan umat manusia, sekaligus menjadi solusi bagi problem-problem manusia dan kemanusiaan. Alquran juga sebagai bayyinah untuk menjelaskan kepada umat manusia hal-hal yang baik untuk dilakukan, dan hal-hal buruk untuk ditinggalkan.
Tiga kunci itu yang Ibnu Taimiyyah yakini sebagai mukjizat Alquran. Dengan demikian, terlihat jelas, Ibnu Taimiyyah cenderung memperlakukan Alquran bukan pada materi dan simbol-simbol Alquran, tapi lebih pada paparan pesan Alquran untuk umat manusia secara keseluruhan. Wallahu a’lam

Duta Masyarakat, 23 Agustus 2005

Wacana Islam: Pergumulan Pemikiran dan Realitas

Berbicara tentang wacana Islam, tidak pernah menemukan titik final yang benar-benar mutlak sempurna. Islam saat ini, bahkan sejak dahulu kala, tidak saja dipandang sebagai suatu agama—sama dengan agama-agama sebelumnya seperti Yahudi, Nasrani, Hindu, dan lainnya yang telah terlebih dahulu eksis dengan sekumpulan doktrin-doktrin yang dianggap sakral—tetapi juga dipandang sebagai agama yang juga telah menyejarah, mengafiliasikan dirinya menjadi bagian integral dengan sejarah panjang peradaban umat manusia di dunia. Dan, oleh karena itu, pergumulan pemikiran tentang Islam dengan realitas budaya lokal di setiap tempat dan waktu sudah barang pasti melahirkan ragam dan corak-corak pemikiran yang khas pula.
Perkembangan ini semakin terlihat jelas warnanya dengan munculnya aneka ragam mazhab pemikiran, seperti Sunni dan Syiah (untuk menyebut sebagian mazhab/aliran pemikiran besar dalam sejarah Islam yang hingga saat sekarang ini masih eksis dengan pengikutnya yang cukup besar), yang memiliki corak penafsiran Islam dengan paradigma yang berbeda-beda. Bahkan, domain tafsir atas Islam itu sendiri pun secara perlahan mulai merambah ranah lain di luarnya.
Berbagai macam penaklukan kaum Muslimin (futuhat al-Islamiyyah) pasca meninggalnya Rasulullah SAW terhadap negeri-negeri di luar Semenanjung Arabia, seperti ke Afrika, Asia, hingga sebagian Eropa Barat, oleh para penguasa Islam telah ikut membantu dan turut serta dalam 'membidani' terjadinya arus percepatan asimilasi pemikiran lebih maju tentang Islam.
Walaupun, ada banyak kalangan juga yang rupanya masih teguh memegang tradisi pemikiran Islam sesuai dengan cetak biru pada masa-masa awal Islam (masa ini biasa disebut sebagai masa salafi). Islam, dalam perkembangannya lebih jauh, semakin memperoleh legitimasi kekuatan ketika ia menjadi sebuah spirit dalam memahami konteks. Perubahan-perubahan yang sangat signifikan dan begitu cepatnya, yang dialami oleh umat Islam menuntut dipahaminya kembali Islam.
Islam, dalam rentang sejarahnya yang cukup panjang, terhitung sejak Nabi Muhammad ‘mendeklarasikannya’ pada seluruh umat manusia di seantero Jazirah Arab, terkhusus di Mekkah dan di Madinah, telah melahirkan aneka ragam corak bentuk dan pola-pola hidup umatnya lebih heterogen.
Hal ini dimungkinkan, karena memang, Islam, sejatinya tidak sekedar doktrin sakral, kaku dan rigid seperti yang banyak dipahami oleh sebagian kaum Muslim, akan tetapi ia adalah juga cara pandang dan pola pikir yang selalu hidup, berjalan beriringan dengan dinamisme kehidupan yang selalu berkembang dan berubah.
Islam menjadi wacana tanpa batas, yang saling mempertemukan antara doktrin ajaran yang dikandungnya, dengan realitas yang dihadapi oleh umatnya di setiap kurun waktu dan tempat secara lebih kontekstual dengan pendekatan lebih humanis.
Hal ini juga didorong oleh kenyataan yang selalu menyertai perjalanan doktrin Islam, yaitu peranan para penafsir dan apa yang ditafsirkan, atau antara pemilik autoritas dengan pemikiran-pemikiran interpretatif orientatif yang dimilikinya.
Zaman awal Islam disebut-sebut sebagai gambaran ideal dengan sosok Nabi Muhammad SAW yang kharismatik dan sangat berwibawa, sehingga menjadi tolok ukur tersendiri oleh sebagian besar kalangan umat Islam. Maka, Islam di manapun dan kapanpun itu mesti sesuai dengan cetak biru yang telah Nabi SAW apresiasikan di masa lalu. Pemikiran model ini misalnya, umumnya banyak dianut oleh kalangan Sunni.
Pada umumnya, mereka berpendapat bahwa Islam adalah satu kesatuan utuh dan abadi. Sehingga, tidak memerlukan dan (kalau perlu) tidak memberikan peluang bagi perubahan-perubahan baru untuk dikontekskan dengan keadaaan saat ini. Para ulama otoritatif memegang kendali penafsiran Islam dengan syarat-syarat tertentu. Hal yang sama juga ditemui dalam sebagian besar tradisi pemikiran Syiah. Mereka menempatkan sosok Imam sebagai sosok otoritatif yang memiliki hak prerogatif untuk menafsirkan Islam.
Pergulatan pemikiran dan realitasnya itulah yang dengan sangat mengagumkan digambaran oleh salah seorang pakar Islam dari Barat yang cukup populer karena kajian-kajian serius dan kritisnya, namun tetap objektif bahkan simpatik, John L. Esposito, seorang Ahli Islam dan juga Guru Besar Agama dan Hubungan Internasional Georgetown, AS, dalam bukunya, Islam: The Straigt Path, yang diterjemahkan dalam versi Indonesia dengan judul Islam Warna Warni, Ragam Ekpsresi Menuju “Jalan Lurus” (al-Shirât al-Mustaqîm), oleh Arif Matuhin, Dosen IAIN Sunan Kali Jaga Yogyakarta, dan diterbitkan oleh Paramadina.
Buku ini memaparkan rentangan sejarah Islam yang dimulai sejak Nabi Muhammad hingga zaman modern Islam. Secara gamblang, Islam di dalam pandangan John L. Esposito dalam buku ini, lebih merupakan kekayaan pemikiran umat Islam ketika mereka mencoba mendekati doktrin-doktrin ajarannya lebih dinamis.
Melalui buku ini, Esposito sekali lagi menegaskan bahwa Islam, yang saat ini masih menjadi umat terbesar kedua atau ketiga di dunia ini, tidaklah homogen, akan tetapi telah berkembang dengan sangat pesat, menguasai banyak kantong-kantong strategis di banyak negara, bahkan di Barat sendiri.
Karena itu, menurutnya, Islam tidaklah representasi mutlak Arab, tempat lahirnya. Akan tetapi Islam telah menjelma menjadi satu gaya hidup dan pola pikir dalam menyikapi realitasnya. Lebih jauh lagi, apresiasi umat Islam pada momen-momen tertentu di tempat-tempat tertentu, tidak merupakan apresiasi umat Islam secara internasional.
Adanya jaringan terorisme yang mengatasnamakan Islam dengan simbol-simbol yang dibawanya, sejatinya bukan cetak biru umat Islam secara umum. Itu hanya sebagian kecil dari kaum militan Islam yang melakukannya. Penghancuran dua gedung kembar World Trade Center (WTC) pada 11 September 2001, yang menewaskan ribuan manusia sebagai tindakan terorisme terbesar yang kemudian secara massif tudingan itu dialamatkan kepada semua kalangan umat Islam, sangatlah tidak tepat. Mereka hanyalah sempalan kecil yang mengatasnamakan Islam dan sama sekali tidak mencitrakan Islam secara keseluruhan.
Buku ini cukup representatif dikaji lebih jauh, dan dapat menjadi bahan kajian untuk melihat perilaku umat Islam dewasa ini. Apa sebetulnya yang dapat dilakukan oleh umat Islam dalam menyikapi berbagai macam ragam tuduhan yang dialamatkan pada mereka.
Sekaligus menjadi bahan renungan internal, dengan melihat perjalanan sejarah umat Islam di masa lalu. Bagaimana beragamnya corak dan pola pikir umat Islam, ketika menanggapi realitasnya. Ini adalah pelajaran paling berharga untuk menerima keragaman sebagai sebuah kekayaan, bukan bencana, apalagi penyebab turunnya musibah Tuhan.
Sejarah Islam dan umat Islam adalah deskripsi dari pergumulan-pergumulan antara realitas dengan interpretasi. Realitasnya yang tunggal di masing-masing lokal, namun interpretasi, lengkap dengan keragaman pola pikir dan horison sang penafsir masing-masing, akan melahirkan penafsiran yang lain dan beragam pula. Keragaman untuk menuju satu jalan dan satu tujuan hidup: kebahagiaan di dunia dan akhirat, itulah keistimewaan umat Islam yang digambarkan oleh John L. Esposito dalam karyanya ini.
Sebagai wacana tanpa batas yang terus-menerus dipahami dengan perspektifnya masing-masing, Islam sesungguhnya semakin ingin meneguhkan sebagai ajaran yang terbuka untuk dibaca oleh siapa pun. Justru dengan keterbukaan yang Islam berikan, akan semakin membuka jengkal demi jengkal jantung ajaran Islam sebagai benar-benar ajaran Tuhan yang hakiki kebenarannya tanpa perlu lagi dilakukan pemaksaan terhadap orang lain untuk mengakui kebenaran Islam.
Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa Islam adalah ajaran Tuhan untuk umat manusia seluruhnya, bahkan bagi alam semesta. Maka, doktrin-doktrin ajaran Islam tidak akan pernah ‘meninggalkan’ ranah manusia dan kemanusiaan. Islam akan selalu melekat dengan sisi-sisi humanis, karena memang untuk manusialah ajaran Islam itu sendiri.
Pergulatan pemikiran Islam dengan realitasnya yang heterogen dengan demikian tidak akan pernah selesai sampai akhir zaman. Selama realitas umat manusia menyuguhkan perubahan-perubahan dan perkembangannya yang signifikan, Islam dan tafsir atasnya akan selalu menjadi bagian tak terpisahkan dari itu semua. Wallahu a’lam.

Duta Masyarakat, Rabu 30 November 2005

Wacana Heterogenitas Teks Alquran

Alquran hingga saat ini diyakini oleh segenap umat Islam sebagai satu-satunya kitab suci yang diwahyukan Tuhan kepada umat manusia melalui perantaraan Nabi-Nya, Muhammad SAW. Karena sifatnya yang suci itulah, Alquran terjamin kemurniannya. Jaminan yang langsung Allah SWT tegaskan dengan pasti. Alquran akan selalu dijaga dan dipelihara hingga akhir zaman oleh Allah SWT sendiri dengan melibatkan peranan manusia untuk menjaganya.
Alquran adalah wahyu Tuhan yang diturunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad SAW untuk merespons keadaan sosial suatu masyarakat tertentu (dalam konteks khusus, masyarakat Arab dan dalam konteks umum, semua umat manusia). Maka logika Alquran berangkat dari konteks yang ada, kemudian wahyu turun untuk menanggapinya, karena itu, dalam ‘Ulûm al-Qur’ân, ada adagium bahwa al-’Ibrah bi ‘Umûm al-Lafdzi la bi Khusûs as-Sabab.
Ibrah atau sesuatu yang dapat diambil dari Alquran itu mesti mengacu kepada keumuman lafadz, bukan kekhususan sebab. Artinya, sebab hanyalah faktor pendukung dalam sebuah pengambilan hukum dari Alquran, keumuman lafadz itulah yang akan mampu menjangkau luasnya ruang dan waktu.
Namun, kalau melihat bentangan sejarah Alquran ketika turun berangsur-angsur kepada Nabi SAW, banyak hal yang muncul dan hingga saat ini masih bisa menjadi bahan kajian yang menarik. Tidak ada yang menyangkal bahwa Alquran adalah kitab yang diturunkan kepada masyarakat Arab, sehingga mesti menggunakan bahasa Arab yang sudah terstruktur dalam bentuk-bentuknya yang heterogen. Alquran dengan demikian mesti menyesuaikan diri dengan struktur bahasa yang sudah ada pada saat itu.
Kajian historis terhadap Alquran menurut Luthfi Asyaukanie, sangat membantu di antaranya, untuk menjelaskan persoalan-persoalan klasik hubungan antara wahyu, kitab suci, dan risalah kenabian, secara umum. Untuk selanjutnya, masalah ini juga dapat membantu kita menjelaskan peran dan fungsi agama-agama di dunia saat ini bagi umat manusia.
Menurutnya, kajian terhadap Alquran dengan melihatnya sebagai sebuah satu-kesatuan kitab suci dan juga sekaligus melihat detail-detail peristiwa kesejarahannya yang manusiawi, seperti kita memahami sejarah alam semesta.
Menurut para astrofisikawan, alam semesta tak bisa dipahami kecuali dengan menggabungkan dua teori utama: (i) yang berkaitan dengan hal-hal maha-besar seperti big bang, gravitasi, dan ekspansi; dan (ii) hal-hal maha-kecil seperti quantum, singularity, dan string. Begitu juga Alquran, ia tak bisa dipahami dengan baik jika kita hanya melihat satu dimensi saja dan mengabaikan dimensi lainnya. Dimensi historis Alquran adalah modal penting guna memahami fungsi dan peran Alquran yang sesungguhnya.
Pada waktu turunnya Alquran, ada banyak sekali suku-suku bangsa Arab yang bertebaran, lengkap dengan ragam dialeknya masing-masing. Jazirah Arab yang letaknya sangat terisolasi, demikian Taufik Adnan Amal menulis dalam Rekonstruksi Sejarah Alquran-nya, baik dari sisi daratan maupun lautan. Kawasan ini sebetulnya berada di pojok kultural yang mematikan.
Sejarah besar dunia telah jauh meninggalkannya. Perselisihan yang membawa peperangan antar suku berlangsung dalam skala besar-besaran di stepa-stepa jazirah tersebut. Dari sudut pandang negara-negara adikuasa, Arabia merupakan kawasan terpencil dan biadab, sekalipun memiliki posisi yang cukup penting sebagai kawasan penyangga dalam ajang perebutan kekuasaan politik di Timur Tengah, yang ketika itu didominasi oleh dua imperium raksasa: Bizantium dan Romawi.
Keragaman suku bangsa di Jazirah Arab inilah yang kemudian memunculkan banyak spekulasi bahwa bacaan-bacaan Alquran itu tidak tunggal. Konsep Sab’ah Ahruf misalnya lebih merupakan gambaran konkret bagaimana keragaman bacaan Alquran itu menemukan argumennya yang kuat. Alquran dengan demikian dipersepsikan sebagai kitab suci yang mesti tunduk pada aturan-aturan bahasa Arab yang beragam dengan bentuk dialeknya masing-masing kala itu.
Ada banyak sekali riwayat-riwayat yang menggambarkan betapa beragamnya bacaan-bacaan Alquran. Semua itu memang menjadi konsekuensi logis agar Alquran dapat dipahami secara lebih mendalam oleh masyarakat Arab. Riwayat-riwayat yang berkaitan dengan keragaman bacaan (qiraah) Alquran misalnya, hadis yang diriwayatkan dari Ibn Abi Mulaykah, dari Umm Salamah, ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah Saw memotong-motong bacaannya pada saat membaca ayat Alhamdu lillâhi rabb al-‘âlâmîn. Kemudian beliau berhenti sejenak sebelum melanjutkannya. Kemudian membaca al-rahmân al-rahîm, beliau kemudian berhenti lagi. Kemudian membaca lagi Maliki (dengan membaca pendek huruf mim) yawm al-dîn.” (HR. al-Tirmidzi dalam Sunan-nya, no. 2936).
Sementara itu, pada riwayat yang lain, ada bacaan lain yang berbeda pula ketika membaca kata malik tersebut, seperti dalam hadis yang diriwayatkan dari al-Zuhri, dari Anas bin Malik, ia berkata, “Sesungguhnya Nabi saw, Abu Bakar, dan Umar, aku juga mengira ‘Usman juga sama, mereka semua membaca mâliki (membaca mim dengan panjang).” (HR. Tirmidzi dalam Sunan-nya, no. 2937).
Ibn ‘Abdurrahim al-Mubarakfuri dalam Tuhfah al-Ahwadzi bi Syarh Jâmi’ al-Tirmidzi-nya mengutip pendapat Imam al-Hafidz Ibn Katsir yang menyatakan bahwa pembacaan malik dan maalik adalah sahih lagi mutawatir. Kedua-duanya ada termasuk ke dalam qiraah sab’ah. Ada pula yang membaca kata tersebut dengan malik atau malki. Ada pula yang membacanya maliik. Imam Nafi’ malah membacanya malikiy.
Semuanya adalah bacaan yang sahih dan benar. Imam Al-Zarkasyi dalam al-Burhan fi ‘Ulum Alquran-nya merajihkan bacaan malik sebagai bacaan Ahl al-Haramain, karena ada ayat Alquran liman al-mulku al-yaum (Qs. Ghafir [40]: 16) dan juga ayat al-haqqu wa lahu al-mulku (Qs. al-An’am [6]: 43). Dalam salah sebuah riwayat, Imam Abu Hanifah membaca kata maliki sebagai fiil (malaka), fail (malik/maalik), dan maf’ul (mulk). Namun ini adalah bacaan yang szadz gharib sekali.
Atau juga beberapa riwayat yang menggambarkan bagaimana Nabi Saw membaca salah satu ayat di Surat Huud, seperti yang diterima dari Ummu Salamah, ia berkata, Sesungguhnya Nabi Saw membaca ayat, innahu ‘amila (bentuk fiil) ghaira (nasab, karena menjadi objek) shalih (Qs. Hud [11]: 46).” (HR. Tirmidzi dalam Sunan-nya no. 2940).
Dengan riwayat lain yang membaca pula kata ‘amila ghaira dengan ‘amalun ghairu, yaitu hadis yang diterima pula dari Ummu Salamah, ia berkata, “Sesungguhnya Nabi Saw pernah membaca ayat ke-46 dalam Surat Hud dengan bacaan annahu ‘amalun (isim) ghairu shalih.” (HR Tirmidzi dalam Sunan-nya, no. 2941).
Imam al-Mubarakfuri dalam kitab yang sama menjelaskan perbedaan bacaan ini dengan mengutip pendapat al-Khazin yang menyatakan bahwa al-Kisai, dan Ya’qub membacanya innahu ‘amila ghaira shalih. Sedangkan yang lainnya membaca seperti yang ada pada Mushaf Utsmani yaitu dengan bacaan amalun ghairu shalih.
Maksud ayat itu dengan demikian adalah bahwa “permintaanmu kepadaku supaya dia (anak Nuh) selamat dari bencana banjir) adalah perbuatan yang kurang baik, karena meminta keselamatan kepada Allah SWT untuk orang-orang kafir setelah ditakdirkan hancur adalah hal yang tidak mungkin terkabul.
Empat riwayat di atas sudah cukup untuk memberikan gambaran konkret bahwa memang heterogenitas bacaan Alquran itu sudah ada dan berlaku, meskipun riwayat-riwayat itu memiliki status yang berbeda-beda, ada yang sahih, hasan, dan dhaif. Lalu apa sesungguhnya maksud dari adanya perbedaan bacaan itu sendiri dan bagaimanakah fenomena itu dijelaskan secara logis?
Keragaman qiraah amat terkait erat dengan doktrin Sab’ah Ahruf. Meskipun konsep ini masih menjadi bahan perdebatan yang amat panjang, namun keterkaitannya dengan perbedaan itu cukup beralasan. Pertama, riwayat-riwayat yang berbicara tentang sab’ah ahruf lebih merupakan upaya Nabi SAW untuk memudahkan bacaan orang-orang Arab yang berbeda-beda dialeknya.
Kedua, Alquran tidak diturunkan dalam komunitas masyarakat yang tidak memiliki bahasa. Justru bahasa yang sudah ada kala itulah yang menjadikan Alquran mesti “tunduk” pada struktur-struktur kebahasaan yang sudah ada kala itu. Ketiga, bahwa permintaan Nabi SAW agar Allah SWT menurunkan Alquran hingga tujuh huruf merupakan bukti bahwa umat Nabi SAW adalah beragam yang tidak mungkin diseragamkan dalam satu bacaan.
Ada sementara pihak yang menduga bahwa penyeragaman bacaan Alquran yang dilakukan oleh Khalifah Utsman bin Affan lebih merupakan alasan politis untuk menjaga stabilitas pemerintahan, karena disinyalir ada beberapa kaum di Jazirah Arab yang membangga-banggakan bacaan Alqurannya, dan menganggap bahwa bacaannyalah yang paling benar sesuai dengan apa yang Nabi SAW bacakan.
Hal ini kemudian menyulut perselisihan dan pertentangan berkepanjangan sehingga khalifah segera mengambil langkah-langkah strategis untuk mengantisipasi perpecahan yang akan timbul itu. Namun, kalangan Jumhur Ulama menolak dugaan semacam ini.
Dengan adanya heterogenitas bacaan itu, apakah masing-masing pihak akan memiliki pemahaman yang berbeda-beda pula? Tentu saja hal itu mungkin terjadi, namun itu hanya sebagian kecil saja terjadi.
Umumnya, ragam bacaan yang berbeda-beda itu hanya sebatas pada beberapa kata atau kalimat yang memiliki maksud yang sama. Atau ia hanyalah sebatas sinonim. Sama halnya dengan bahasa keseharian kita yang kebanyakan berbeda, namun merujuk pada satu maksud yang sama.
Heterogenitas bacaan (qiraah) Alquran dengan demikian adalah satu kenyataan yang menjadi ciri khas Alquran sendiri dalam merespon konteksnya kala itu. Dengan demikian, wajah Alquran selalu berupaya agar para pembacanya mudah dalam membacanya.
Selain itu, keragaman bacaan adalah gambaran konkret yang memberikan peluang untuk memahami Alquran lebih inklusif. Karena, sebagai wahyu Tuhan, Alquran mesti turun membumi bersama budaya yang ada pada saat itu, kini, dan akan datang. Wallahu a’lam

Duta Masyarakat, Jumat 22 Juli 2005

Vulgaritas Politik Memburu Kekuasaan

Jika hakikat politik tiada lain adalah merebut dan mendapatkan kekuasaan, maka pengajuan diri untuk menjadi menteri secara langsung (melamar sendiri) maupun diajukan, menjelang reshuffle kali ini, mudah dipahami. Alasan bahwa yang bersangkutan mampu semakin memperjelas betapa “nafsu” berpolitik semacam itu begitu kuat. Tanpa perlu mendebat, semua sepakat bahwa reshuffle sepenuhnya adalah prerogatif presiden. Artinya, tanpa melamar pun, jika presiden melihat seseorang itu dinilai kapabel dan bagus, potensi menjadi menteri terbuka lebar.

Vulgaritas politik
Melamar menteri tiada lain sama dengan meminta jabatan menteri. Sahkah hal ini? Sepanjang yang kita tahu, di dalam konsitusi kita tidak ada yang melarang atau mencegah setiap orang untuk melamar suatu jabatan. Sepanjang, tentunya, kemampuan yang dimiliki oleh pelamar sesuai dengan jabatan yang diinginkan. Artinya, melamar menteri, baik secara tersirat maupun tersurat, sah-sah saja. Tetapi, bagaimana jika lamaran itu dilakukan secara terbuka sambil secara pede mengatakan sebagai orang yang mampu?
Ada sebuah kisah menarik pada zaman Nabi Muhammad. Suatu saat, Abdurrahman bin Samurah meminta wasiat kepada beliau perihal jabatan. Beliau mengatakan, “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah sekali-kali kamu meminta jabatan atau kekuasaan. Karena jika engkau memperolehnya karena sebab meminta, maka engkau akan menanggung beban yang begitu berat. Tapi jika jabatan atau kekuasaan itu engkau peroleh bukan karena engkau memintanya, maka engkau akan akan dibantu oleh Tuhan dalam melaksanakannya.”
Dalam maknanya yang lebih luas, wasiat itu bisa dibaca dalam konteks etika berpolitik yang santun. Yakni, meski seseorang ingin mendapatkan jabatan, hendaknya tidak secara vulgar mengatakan keinginannya itu. Pada titik ini, istilah malu-malu tetapi mau justru lebih baik daripada secara terang-terangan memintanya. Sayangnya, etika itu kerap kali terpinggirkan karena “nafsu” berpolitik yang, meminjam istilah Anthony Downs, lebih menonjolkan keinginan untuk dipilih atau untuk menang dan berkuasa.
Soal kemampuan memang bisa diukur, sehingga dengan ukuran-ukuran itu seseorang merasa mampu mengemban suatu jabatan. Masalahnya, dalam konteks lamaran menteri, selain kemampuan adalah pertimbangan bahwa publik melihat betapa yang bersangkutan begitu pede. Saking pedenya, sampai-sampai meyakinkan presiden bahwa ia mampu. Sikap pede ini, pada satu sisi berpotensi tercitrakan oleh publik sebagai “bernafsu memburu” kekuasaan, meski pada sisi yang lain menggambarkan semangat untuk memberantas budaya “malu-malu tetapi mau” atau budaya “tawar-menawar di bawah meja.”
Apa pun alasannya, yang pasti publik melihat bahwa anggota legislatif berlomba-lomba melamar menjadi eksekutif. Padahal, tugas di lembaga legislatif belum tuntas dan memuaskan publik. Publik juga melihat bahwa legislatif, sebagai satu-satunya harapan rakyat untuk mewakili aspirasi ke pemerintah justru menjadikannya sebagai batu loncatan meraih kekuasaan. Secara radikal bisa dikatakan bahwa tujuan wakil rakyat sejatinya adalah mencari-cari peluang untuk mendapatkan kekuasaan, meski itu harus “meninggalkan” rakyat. Pendek kata, melamar menteri maupun jabatan-jabatan lain, menyemburatkan suatu ironi vulgaritas politik.
Masalahnya bukan terletak pada boleh atau tidak, karena memang sah-sah saja, tetapi politik yang jamak diketahui memang bertujuan untuk mendapatkan kekuasaan, tidak perlu secara vulgar digambarkan seperti itu. Godaan kekuasaan, memang masih terlalu kuat, pada saat yang sama elit-elit politis terlalu rapuh untuk menempatkan dirinya sebagai para pemain politik yang mendarmabaktikan segala kemampuan untuk kepentingan rakyat, bukan kepentingan kekuasaan.

Orientasi
Paradigma berpolitik vulgar dalam bahasa dan tindakan yang menggambarkan politik dalam perspektif “merebut kekuasaan” menyiratkan sebentuk penyakit laten bahwa segala perkataan maupun tindakan adalah berorientasi kekuasan. Ketika sudah memasuki gelanggang politik praktis hanya ada satu cobaan: kekuasaan. Apalagi, Indonesia yang betul-betul demokratis ini masih terlalu muda. Demokrasi masih baru dalam tahap terlaksananya pemilu-pemilu yang melibatkan partisipasi rakyat secara terbuka, di samping keberadaan partai-partai politik, dan adanya jaminan kebebasan berpendapat sebagai modal dasar menuju demokrasi sejati.
Pandangan Giuseppe Di Palma, seorang ilmuwan politik “transisi ke demokrasi”, yang menyebutkan bahwa demokrasi tiada lain adalah a matter of political crafting (persoalan menciptakan kiat-kiat politik), hendaknya tidak diterjemahkan sebagai sebatas memburu kekuasaan di tengah besar dan terbukanya peluang untuk itu dengan kiat-kiat semacam lamaran menteri atau tawar-menawar “bawah meja.” Keberhasilan suatu negara, menurut Di Palma, dalam membangun kehidupan sosial-okonomi dan politik yang demokratis akan sangat ditentukan oleh kesediaan elit nasional untuk menempuh kiat-kiat politik tertentu, yang tentunya berorientasi tidak hanya untuk memburu kekuasaan.

Media Indonesia, Rabu 9 Mei 2007

Tiga Sebab Kemandekan Fikih

Hingga kini, sebagian besar umat Islam masih meyakini bahwa fikih yang dihasilkan ulama-ulama masa keemasan Islam bisa menyelesaikan berbagai persoalan kekinian. Namun, fikih sebagai produk intelektual pada masa dan dalam konteks tertentu yang bersifat dinamis kini berubah menjadi stagnan serta kaku. Sebenarnya hakikat fikih bukan mengajarkan kekakuan, tapi pelaksana fikih itu yang menganggapnya demikian.
Menurut saya, ada tiga penyebab mengerasnya kecenderungan mempertahankan produk fikih klasik tersebut sampai kini. Pertama, fikih diidentikkan dengan syariat. Padahal, dari sisi kebahasaan saja, fikih yang berarti “paham” sangat berbeda dari syariat yang berarti “jalan.” Perbedaan itu berlanjut pada dataran istilah. Abdul Wahhab Khallaf dalam Ilmu Usul Fikih mendefinisikan fikih sebagai pengetahuan tentang hukum-hukum syariat yang praktis yang diambilkan dari dalil-dalilnya secara rinci.
Dalam hal ini, fikih dimaknai sebatas pengetahuan mengenai syariat dan keduanya tidak identik. Terdapat pembedaan yang tajam antara pengetahuan soal syariat dan hukum syariat itu. Fikih akhirnya memiliki ranah yang berbeda dari ranah syariat. Syariat sejatinya adalah ajaran-ajaran ilahi yang universal dan ditujukan untuk kemaslahatan seluruh manusia. Syariat dalam pengertian seperti itu tidak bersifat diskriminatif pada kelompok atau inidividu tertentu.
Sebagai sebuah “jalan,” syariat ibarat rambu-rambu yang mengontrol pengguna jalan agar selamat sampai tujuan. Berbeda dari fikih sebagai pemahaman mengenai “jalan” itu. Jalannya satu. Tapi, karena setiap orang tidak tahu persis jalan sebenarnya, mereka lalu mendeteksi jalan tersebut dengan sudut pandang masing-masing, sehingga muncullah keragaman jalan. Karena itu, dalam ruang lingkup pemahaman (fikih), tidak ada yang memiliki autoritas tertinggi, sehingga bisa menyalahkan pemahaman lain dan mengklaim pandangannya sendiri adalah yang paling benar.
Fikih selalu memberikan ruang yang luas bagi pemaknaan lain mengenai sebuah “jalan” tersebut. Karena itu, dalam sejarah pertumbuhan fikih, perbedaan pendapat antara ulama yang satu dan lainnya bukan merupakan hal baru. Perbedaan antara Imam Syafii sebagai guru dan Imam Ahmad bin Hanbal sebagai murid tidak berdampak apa-apa bagi hubungan keduanya. Tidak ada yang mengklaim kebenaran berada di pihak mereka saja.
Persoalan kedua menyangkut asumsi tentang sakralitas fikih. Ketika fikih diidentikkan dengan syariat, konsekuensinya, ia akan dianggap sakral. Umat memandang fikih sebagai barang yang sakral karena diambil dari dalil-dalil Alquran dan hadis. Dengan pandangan ini, mengubah fikih dipahami sebagai tindakan mengubah syariat yang sakral.
Pandangan tersebut diperkuat hadis yang dipahami secara keliru, “Barangsiapa yang membuat hal-hal yang baru dalam masalah agama, maka dia tertolak.” Atau, hadis yang menyatakan, “Sebaik-baik petunjuk adalah Kitab Allah dan sunah Rasul-Nya. Dan, seburuk-buruknya adalah bidah (inovasi), karena setiap bidah adalah sesat.”
Tidak ada yang keliru pada kedua sabda Rasulullah itu. Tapi, pemahaman yang kurang tepat merintangi kedinamisan serta keterbukaan fikih. Betul bahwa syariat pada hakikatnya adalah sakral dan absolut. Karena itu, mengubah syariat adalah terlarang. Karena syariat bersifat absolut dan mutlak, ia adalah universal, bisa berlaku di segala tempat dan keadaan. Berbeda dari fikih, ia terbatasi konteks penafsir dan berlaku dalam kurun serta tempat tertentu.
Persoalan ketiga adalah tentang hegemoni kalangan konservatif yang sudah lama bercokol, sehingga dianggap memiliki autoritas tertinggi dalam menentukan hukum-hukum agama. Misalnya, dalam konteks Indonesia, kalangan yang dianggap memiliki autoritas itu telah menjadi institusi nasional yang mendapatkan legalitas negara.
Setiap saat mereka siap dimintai fatwa atau memfatwakan hukum yang bisa jadi berlaku pada skala nasional. Pendek kata, fikih telah menjadi institusi di bawah kendali pemerintah yang setiap saat potensial diundang-undangkan. Karena itu, tidak mengherankan, menguatnya suara-suara yang menuntut ditegakkannya syariat Islam (juga) ditopang keberadaan institusi legal tersebut.
Mereka yang menuntut syariat menjadi undang-undang negara biasanya berangkat dari asumsi bahwa syariat adalah sakral -karena berasal dari Tuhan-, sehingga harus diundangkan untuk mengikat seluruh umat. Namun, itu sungguh keliru. Sebab, mereka sebetulnya menyuarakan fikih yang dianggapnya sebagai syariat.
Misalnya, mengenai hukum potong tangan, mereka menganggapnya sebagai syariat. Padahal, itu hanyalah sebuah produk fikih. Syariat atau hal yang menjadi substansi ajaran potong tangan, yaitu larangan merugikan orang lain secara sengaja, sama sekali tidak disinggung. Ia hanya disinggung dalam dataran hikmah hukum.
Akibatnya, paham sakralitas dan autoritas hampir selalu mewarnai kemandekan fikih dalam menyikapi realitas kekinian. Dari situlah muncul “kelas khusus” yang seakan mempunyai hak eksklusif dalam menafsirkan ajaran agama. Itulah persoalan mendasar fikih.
Padahal, konteks hukum yang selalu berubah dan perkembangan zaman yang menuntut partisipasi fikih merupakan fenomena yang tak terbantahkan. Pergantian dan perubahan dari satu hukum ke hukum lain menjadi hal yang mesti terjadi. Dalam ilmu fikih dikenal istilah nasikh dan mansukh, yaitu dalil hukum yang meralat dan diralat.
Dalam penafsiran teks agama, doktrin tersebut sungguh sangat urgen karena memungkinkan kita menjawab persoalan baru yang datang silih berganti. Evolusi pelarangan khamar dari status bisa ditoleransi hingga dilarang total merupakan indikasi bahwa hukum bersifat dinamis.
Hukum muncul seiring alasan dan argumentasi logis yang dikenakan pada objeknya. Dalam bahasa fikih, hal tersebut disebut illat, yaitu alasan mendasar ada-tiadanya hukum. Karena itu, hukum bukan merupakan sesuatu yang sakral, tapi bisa saja berubah sesuai illat-illat-nya.
Bertolak dari situ, sudah saatnya fikih ditempatkan dalam tataran wacana agama. Berkembang dan mandeknya produk fikih akan sangat bergantung pada pemaknaan tiap individu mengenai apa itu fikih. Sejatinya, fikih memang harus selalu memberikan berbagai alternatif pandangan demi tujuan kemanusiaan yang lebih relevan serta bermaslahat.
Sementara itu, asumsi tentang sakralisasi fikih dan terkungkungnya autoritas penafsiran syariat pada individu tertentu tidak akan mampu menjawab persoalan umat manusia yang kian kompleks. Wallâh a‘lam.

Indo Pos, Minggu 7 Maret 2004 dan Islamlib.com, Senin 8 Maret 2004