Sabtu, 18 Agustus 2007

Reshuffle, Kepentingan Politik atau Ekonomi?

Hampir mendekati satu tahun usia pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan wakil presiden (wapres) M. Jusuf Kalla dengan jajaran kabinet Indonesia Bersatu yang dilantik pada 21 Oktober 2004 setahun silam. Kita ingat bersama, saat itu, presiden SBY menjanjikan akan melakukan evaluasi total terhadap kinerja kabinetnya setiap satu tahun sekali. Mereka akan dinilai apakah kinerjanya memuaskan atau justru sebaliknya.
Presiden juga menjanjikan untuk tidak segan-segan mengganti kabinetnya jika ternyata kinerjanya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Me-reshuffle kabinet bagi presiden adalah hal yang lumrah dilakukan. Pengalaman ke belakang, bahkan jika diruntut lebih jauh lagi, telah menggambarkan hal itu. Sejak zaman presiden Soekarno, bongkar pasang kabinet memang kerap dilakukan.
Hanya saja, pada zaman presiden Soeharto, bongkar pasang kabinet tidak terlalu banyak dilakukan, bahkan terhitung sangat jarang. Reshuffle kabinet mulai ‘semarak’ saat setelah rezim Orde Baru (Orba) pimpinan Soeharto runtuh dari singgasananya tahun 1998 akibat tekanan yang datang dari berbagai kalangan. Reshuffle kabinet di zaman reformasi hingga saat sekarang ini memang menjadi tuntutan yang tidak mungkin terelakkan.
Setidaknya, ada dua hal utama yang membuat reshuffle kabinet begitu 'lumrah' terjadi lagi saat ini. Pertama, tuntutan reformasi politik. Hal ini didorong oleh karena dijaminnya kebebasan berpendapat secara luas. Tumbuh mekarnya partai-partai politik (parpol) pasca runtuhnya Orba menggambarkan secara konkret betapa aspirasi politik mereka dapat tersalurkan secara demokratis.
Hal yang cukup kontras terjadi di era Orba. Hanya tiga partai politik, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), yang diizinkan tumbuh berkembang saat itu. Demokrasi benar-benar dipasung oleh rezim yang berkuasa. Adalah Golkar yang saat itu menjadi the single majority karena memang sengaja dijadikan kendaraan politik untuk melanggengkan kekuasaan. Dan, itu terbukti. Soeharto mantap bercokol selama hampir 32 tahun di tampuk kekuasaan.
Reformasi politik, dengan, salah satunya, dibukanya kran kebebasan mendirikan parpol untuk ‘merebut’ kekuasaan dengan tentunya dalam bentuk menempatkan orang-orang partai terkait di struktur kekuasan, menjadi tidak terelakkan lagi. Itulah konsekuensi yang harus diterima semua pihak. Persaingan untuk itu bukan hal yang aneh. ‘Tekanan-tekanan’ dari partai, terutama partai-partai besar, agar diberikan porsi yang ‘lebih’ di kabinet seolah menjadi ‘kerja’ harian partai.
Reshuffle kabinet mau tidak mau bisa dibaca dalam konteks itu. Akan selalu ada, apalagi kala sang presiden sendiri telah menjanjikan, isu-isu reshuffle tersebut. Dan, tentunya, dalam hal ini, kinerja setiap menteri setiap saat dipantau dengan sangat ‘cermat’ guna dicari ‘kesalahan-kesalahannya’ bahkan kesalahan terkecilnyapun coba dikorek. Jika presiden SBY benar-benar berkomitmen untuk melakukan reshuffle kabinet saat ini, dapat dipastikan akan banyak muncul tuntutan dari partai-partai. Kepentingan politik akan menjadi wacana 'panas' yang bakal menuai kontroversi.
Kedua, kondisi perekonomian bangsa, baik makro maupun mikro. Sudah setengah abad lebih bangsa ini menapaki kemerdekaannya. Jika dibandingkan dengan Jepang pada yang tahun yang sama dengan kemerdekaan RI memulai geliat perekonomiannya kembali pasca pengeboman pihak Sekutu (AS) terhadap dua kota pusat perekonomiannya, yaitu Hiroshima dan Nagasaki, bangsa ini rasanya pantas mengelus dada. Kita sudah jauh tertinggal dari banyak segi, terutama segi ekonomi.
Tidak perlu jauh membandingkan. Dengan negara dekat, seperti Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Thailand, kita juga pantas merenung mengintrospeksi diri. Negara-negara itu adalah juga negara-negara yang dilanda badai krisis ekonomi tahun 1997. Tapi, pondasi perekonomian mereka ternyata memang sudah sangat kuat, sehingga krisis dapat dilewati dengan gemilang. Hal itu dibuktikan dengan tidak tergantungnya mereka terhadap badan-badan moneter internasional yang sangat kapitalistik, seperti IMF. Mereka tegas menolak bantuan-bantuan itu.
Lain halnya dengan Indonesia. Bangsa ini seolah lupa dengan kekuatan ekonomi yang di era 1970-an disebut-sebut akan menjadi ‘macan asia’ di masa-masa mendatang. Tapi, apa lacur, bangsa ini, dalam perkembangannya, kurang memperhatikan sistem ekonomi mikro di level masyarakat bawah, seperti pertanian dan perkebunan.
Bangsa ini terlalu terlena dengan keinginan untuk benar-benar mewujudkan diri sebagai ‘macan asia’ seperti yang diramalkan banyak pihak dalam bentuk memompa kekuatan industri yang prestisius, seperti pesawat terbang dan teknologi lainnya. Pondasi ekonomi ternyata keropos. Tiang penyangganya tidak mampu menahan beban yang begitu berat. Buntutnya, krisis ekonomi benar-benar telah menghancurkan sendi-sendi perekonomian bangsa.
Sektor perekonomian saat inilah yang dengan sangat serius dipikirkan oleh SBY, dan tentunya jajaran kabinetnya. Berbagai tim terkait dengan masalah ‘memajukan ekonomi’ dibentuk besar-besaran. Tujuannya, menggenjot kembali laju pertumbuhan ekonomi nasional, baik yang makro maupun mikro.
Soalnya, dampak krisis ekonomi yang parah itu, saat ini benar-benar sangat terasa di kalangan rakyat bawah. Imbas kebijakan ekonomi yang oleh sementara pengamat dianggap kurang berpihak pada rakyat, karena ingin mengimbangi genjotan perekonomian makro dan untuk menutup defisit negara, benar-benar menjadi pertaruhan serius pemerintah.
Tuntutan me-reshuffle kabinet, terutama untuk jabatan menteri-menteri terkait dengan masalah ekonomi akhirnya gencar dilakukan dari banyak kalangan. Tuntutan itu semakin menguat saat melihat kinerja para menteri itu dirasa kurang ‘menggigit’ bahkan terkesan sangat lamban dan kurang mengerti arah keinginan sang presiden. Beberapa orang menteri malah disinyalir tidak banyak melakukan terobosan baru dan spektakuler untuk meningkatkan perekonomian bangsa.
Bukti nyata telah terbaca oleh publik. Nilai tukar rupiah semakin melemah pada kisaran antara 10 ribu hingga 11 ribu-an rupiah perdolar. Belum lagi, akibat melonjaknya harga minyak bumi di pasaran dunia yang mencapai level tertinggi yaitu pada kisaran 60-70 dolar per barel.
Hal itu semakin menambah beban negara. Subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) tak ayal lagi dicabut. Harga BBM akhirnya dinaikkan. Sebagian besar masyarakat, terutama masyarakat kelas bawah, benar-benar merasakan dampak yang sangat luar biasa itu. Bahkan, ada beberapa masyarakat yang kembali menggunakan kayu bakar.
Reshuffle kabinet, hemat penulis, memang layak dilakukan. Meskipun, dapat dipastikan suhu politik akan memanas. Karena, ada banyak kepentingan politik yang bermain. Di sinilah, kita akan bisa melihat, apakah karena kepentingan politik atau kepentingan ekonomi seorang menteri di-reshuffle atau tidak oleh presiden.
Gejolak politik akan juga menjadi hal menentukan untuk langkah ke depan. Namun, persoalan ekonomi, hemat penulis, jauh lebih besar dampaknya. Maka, me-reshuffle kabinet demi menguatkan kembali perekonomian nasional merupakan hal yang tidak bisa ditunggu lebih lama lagi. Tentunya, harus secara cermat menimbang berbagai macam sisi.

Duta Masyarakat, Rabu 14 September 2005

Tidak ada komentar: