Selasa, 14 Agustus 2007

Mempertanyakan (Lagi) Komitmen Pemerintah

Tolok ukur keberhasilan 100 hari masa pemerintahan SBY-Kalla, dan tentunya masa-masa ke depannya, yang paling dinanti oleh kalangan masyarakat luas, salah satunya adalah kinerja kejaksaan. Lembaga ini memang menjadi ujung tombak bagi tegaknya keadilan dan jadi sorotan utama. Pasalnya, di tangan merekalah, sebuah kasus itu diputuskan. Target yang diincar adalah penanganan kasus-kasus korupsi. Ini juga merupakan salah satu jargon dan komitmen yang diusung dan dijanjikan akan serius ditangani oleh sang presiden secara langsung.
Namun, janji presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk serius memberantas korupsi hingga detik ini makin gencar dipertanyakan. Pasalnya, sudah 100 hari lebih menakhodai bangsa ini, janji itu belum terealisasi secara maksimal. Siapa pun tahu, koruptor besar masih enak melenggang di negeri ini. Tanpa menafikan berbagai upaya dan hasil positif yang telah dilakukan presiden dan institusi terkait, seperti pemeriksaan terhadap para pejabat negara yang terendus bermasalah, dan bahkan ada beberapa yang telah menjadi tersangka, dan diadili.
Masa 100 hari awal sejak pelantikan susunan kabinet baru memang harus diakui bukan jaminan bahwa persoalan bangsa yang rumit dan melingkar bak lingkaran setan ini tuntas habis tak tersisa dengan sukses. Namun demikian, setidaknya kita dapat melihat langkah-langkah strategis dan upaya-upaya konkret pemerintahan baru menyelesaikan akar-akar persoalan besar dan mendesak bangsa secara serius. Karena itu bisa menjadi langkah awal yang berharga bagi kerja-kerja selanjutnya.
Dan memang masih terlalu dini, kalau mengharapkan pemerintahan baru kita mampu menuntaskan problem-problem bangsa secara keseluruhan. Akan tetapi, setidaknya hasil yang akan dicapai selama itu akan maksimal dan bisa menjadi tolok ukur optimisme semua pihak terhadap kinerja awal pemerintahan baru ini. Namun sekali lagi, itu bukan jaminan dan ukuran mati. Ia hanyalah sebatas gambaran awal, dan memang kita sangat berharap akan terjadinya gebrakan signifikan ini.
Persoalan korupsi masuk dalam konteks di atas. Tidak ada jaminan kuat bahwa korupsi yang sudah menggurita ini bisa terselesaikan. Namun, sekali lagi, upaya nyata dengan tentunya kontinuitas dan keseriusan adalah juga ukuran kita. Hasil positif misalnya bisa dilihat.
Malah, seperti dikatakan oleh Abdul Rachman Saleh selaku Jaksa Agung ketika menjawab pertanyaan wartawan salah satu media massa nasional, hasilnya, sekarang banyak orang yang ketar-ketir karena takut. Malah, lanjutnya, di beberapa daerah, mulai ada teror buat kejaksaan. Targetnya, penekanan pada penanganan kasus-kasus korupsi secara serius. Artinya, kejaksaan telah berupaya keras mengurusi hal ini. Start menggembirakan yang patut kita dukung terus-menerus.
***
Hemat penulis, hal utama yang membuat pemberantasan korupsi ini berjalan lambat, dan kurang signifikan bagi upaya pemberantasan lebih besar adalah kekurangseriusan pemerintah dengan urusan yang satu ini. Hal ini ditambah lagi dengan tiadanya konsistensi dari pemerintah dan instansi terkait untuk paten menjadikan korupsi sebagai sasaran utama pemerintahan saat ini.
Sebagai sebuah kajahatan luar biasa, korupsi ternyata hanya direspons secara ad hoc, parsial, dan reaktif. Tekad memberantas korupsi sekedar kembang bibir yang bertujuan meredakan ketegangan sosial-politik akibat protes massif agar pembangunan ekonomi tidak terguncang (Oemar Saleh, Gatra edisi 5 Februari 2005).
Salah satu kekurangseriusan itu tampak misalnya dengan belum turunnya gaji para penegak hukum anti korupsi. Ini bukan rahasia umum. Banyak para hakim yang menyesalkan pemerintah karena gaji yang telah dijanjikan belum mereka terima. Sehingga ada di antara mereka yang mengutang ke saudaranya terlebih dulu. Ada pula yang lebih memilih pulang ke daerah asalnya, karena ongkos penginapan di Jakarta tak bisa di-cover akibat gajinya belum turun.
Melihat hal ini, siapa pun pasti akan bertanya, kalau pemerintah serius, sudah semestinya para jaksa dan hakim anti korupsi yang malang-melintang berjuang menyelesaikan kasus-kasus korupsi itu diperhatikan serius juga. Komitmen presiden tentunya mesti kita pertanyakan lagi.
Sederhananya, bagaimana mungkin memerintahkan untuk menuntaskan kasus-kasus korupsi secepatnya, pada saat yang sama penghargaan dan perhatian kepada yang disuruh dan diberi tanggung jawab itu terlambat dan terabaikan. Maka kekhawatiran kita bahwa jaksa-jaksa itu akan menerima suap, sangat mungkin akan terjadi. Mereka juga manusia yang butuh penghidupan layak dan terhormat, sesuai tanggung jawab dan profesi yang sedang mereka jalani.
Beruntung, hingga saat ini, kita tidak mendengar satu kasus sogokan yang menimpa para hakim anti korupsi seperti yang dikhawatirkan. Namun kita jangan berbangga dulu, bisa jadi lambatnya proses penanganan kasus korupsi selama ini, sangat mungkin akibat adanya suap-menyuap hakim itu. Atau kekuranggairahan pihak kejaksaan akibat “telat makan.” Hal yang perlu dibuktikan lebih nyata. Kita tentunya berharap para hakim tetap mengedepankan akal sehat untuk menolak sogokan, dan tetap berkomitmen dengan tanggung jawabnya.
Harapan ini tentu saja tidak sekedar harapan dan pepesan kosong semata, pemerintah dalam hal ini perlu dan mesti menindaklanjuti secepatnya. Berikan gaji dan penghidupan yang layak, agar mereka makin bersemangat lagi menuntaskan kasus-kasus korupsi di bumi Indonesia ini. Dus, dengan demikian, apa yang menjadi komitmen presiden benar-benar terwujud nyata, dan dapat kita rasakan.
100 hari awal mungkin bisa menjadi alasan pemerintah sebagai waktu yang sangat mustahil untuk menuntaskan korupsi secara total, tapi kita juga jangan mengendurkan suara-suara untuk menekan, dan selalu mengingatkan pemerintah bahwa korupsi ternyata masih saja merjalela, dan dilansir justru makin berkembang biak dan beranak pinak tak tentu juntrungannya. Dan kita saat ini, meminjam istilah Eep Saefulloh Fatah, adalah pembaca puisi yang mesti menagih prosa presiden. Kita adalah penagih janji.
***
Karena itu, upaya pengawasan terhadap upaya penanganan kasus korupsi di negeri ini mesti dilakukan terus-menerus oleh semua kalangan, dari rakyat, praktisi, akademisi, maupun lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Kita jangan terlalu berbangga dengan prestasi “awal” pemerintahan baru ini dalam membersihkan para pejabat di bawahnya. Masih banyak pekerjaan rumah yang lebih menggunung untuk memberantas korupsi hingga akar-akarnya.
Karena dengan pengawasan yang ketat dari berbagai elemen inilah, tekanan kepada pemerintah untuk makin serius “menyatroni” hingga “masuk” dan “melabrak” ke sarang para koruptor yang selama ini merasa adem ayem dengan harta “haramnya,” akan membuat pemerintah makin berani.
Mereka yang terlibat korupsi adalah orang-orang yang telah menyengsarakan rakyat banyak, mereka telah menghancurkan sendi-sendi perekonomian dan perikehidupan bangsa ini. Untuk presiden dan para penegak hukum, kita semua berharap, para koruptor benar-benar diburu, ke mana pun mereka berada. Buktikanlah apa yang presiden katakan, bahwa sepeser uang itu adalah sangat berarti buat negara! Menangkap teri, tangkap juga yang kakap-nya.

Pelita, Senin 14 Februari 2005

Tidak ada komentar: