Selasa, 21 Agustus 2007

Wacana Parpol Lokal, Demokrasi, dan Tribalisme

Beberapa hari ke belakang, beberapa media massa nasional baik cetak maupun elektronik diramaikan oleh wacana partai politik (parpol) lokal yang muncul kembali gaungnya pascaperundingan antara pemerintah Republik Indonesia (RI) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) babak ke lima yang berlangsung di Helsinki, Finlandia, 18 Juli 2005 silam.
Adalah GAM yang meminta dibentuknya parpol lokal. Alasannya, parpol lokal dapat sepenuhnya menampung keinginan warga Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang selama ini, menurut mereka, kurang terakomodasi oleh partai-partai nasional yang berpusat di Jakarta. Selain itu, parpol lokal adalah permintaan terakhir GAM sebagai wujud kebersediaan mereka untuk berunding menyelesaikan konflik yang memakan hampir tiga puluh tahun lamanya.

Wacana parpol lokal
Setidaknya ada tiga kubu yang berbeda pandangan soal wacana parpol lokal ini. Pertama, kubu yang menolak adanya parpol lokal (konservatif). Kedua, kubu yang memandang perlunya parpol lokal (liberal). Dan ketiga, kubu moderat yang mencoba mendudukkan persoalan parpol lokal secara ‘adil’. Dalam pengertian, tidak menolak adanya parpol lokal, tapi juga mengharapkan jangan sampai parpol lokal terjadi dengan beberapa asumsi.
Kubu pertama beralasan bahwa parpol lokal berpotensi memunculkan fanatisme kedaerahan dan tribalisme. Ujung-ujungnya, parpol lokal bisa menjadi benih bagi terbentuknya kekuasaan federal di daerah bersangkutan. Selain itu, secara konstitusi, parpol lokal bertentangan dengan Undang-Undang parpol No. 31/2002 yang mengharuskan semua parpol berpusat di Jakarta.
Sedangkan, kubu kedua adalah kebalikan dari kubu pertama. Kubu kedua menerima adanya parpol lokal. Alasannya, adanya parpol lokal justru akan makin menguatkan proses desentralisasi dan akan makin manguatkan daya saing positif pada setiap daerah untuk membangun dan mengembangkan potensi-potensi yang ada di dalamnya. Selain itu, landasan demokrasi yang diusungnya juga secara tidak langsung ‘tidak melarang’ adanya parpol lokal.
Kubu ketiga adalah kubu yang moderat. Yaitu kubu yang melihat persoalan parpol lokal sesuai dengan situasi dan kondisi yang terkait dengan banyak hal. Gagasan parpol lokal yang menghangat kembali baru-baru ini membutuhkan kejernihan dan kejelian dalam menyikapinya.
Menurut kubu ini, tidak ada persoalan jika memang NAD mendirikan parpol lokal. Namun, sebelum itu, Undang-Undang terkait yang ada harus diubah. Atau, kalaupun itu tidak dilakukan, maka parpol lokal hanyalah khusus diberikan kepada NAD, tidak untuk daerah yang lain. Alasan utamanya, NAD telah diberikan otonomi khusus yang luas dalam hal politik dan pembangunan.
Apa pun itu, ketiga pandangan itu merupakan wacana yang hemat penulis akan terus bergulir cukup lama. Beberapa isu terbaru menyatakan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan membahas persoalan ini secara konstitusional dalam musyawarah anggota dalam waktu dekat ini.
DPR menjanjikan akan memberikan solusi efektif bagi wacana parpol lokal. Salah satu yang muncul adalah bahwa parpol lokal kemungkinan akan dibentuk di NAD namun hanya dalam jangka satu tahun. Itupun baru sebatas percobaan, tidak menjamin akan terbentuk secara permanen.

Parpol lokal di pemilu 1955
Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1955 tercatat sebagai pemilihan pertama yang paling demokratis di negeri ini. Pasalnya, ada banyak partai politik yang ikut menjadi kontestan di dalamnya. Tercatat ada sekitar 28 partai politik. Sehingga, keperwakilan suara rakyat benar-benar terakomodasi secara penuh. Tidak hanya itu, partisipasi rakyat juga sangat besar. Ini merupakan hal yang luar biasa. Itu pula yang mengawali langkah pertama kali bangsa Indonesia menjadi negara demokratis.
Ingar-bingar pemilu 1955 di satu sisi ternyata menghadirkan fenomena menarik yang saat ini gencar diwacanakan oleh media-media nasional, yaitu wacana parpol lokal. Ahli Indonesia legendaris, Prof Herbert Feith, mencatat dengan baik hasil keseluruhan pemilu 1955 ini. Feith membagi parpol peserta pemilu 1955 ke dalam empat bagian yang khas, yaitu: partai besar, partai menengah, kelompok kecil yang bercakupan nasional, dan kelompok kecil yang bercakupan kedaerahan atau kesukuan.
Kategori terakhir inilah yang ternyata muncul kembali diwacanakan saat ini. Masuk dalam kategori terakhir adalah Partai Rakyat Desa (PRD), Partai Rakyat Indonesia Merdeka (PRIM), Gerakan Pilihan Sunda (GPS), Partai Tani Indonesia (PTI), dan Gerakan Banteng (GB). Parpol-parpol ini terbanyak berlokasi di Jawa Barat. Sedangkan di Yogyakarta, ada juga partai kedaerahan, yaitu partai Gerinda. Di Kalimantan Barat ada Partai Persatuan Daya (PPD). Sedangkan di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), ada partai Persatuan Indonesia Raya (PIR). Di Jawa Timur sebetulnya juga ada, yaitu AKUI, sebuah partai kedaerahan yang umumnya di warnai oleh keberadaan orang-orang Madura muslim. Partai ini dekat dengan Masyumi.
Namun, tercatat, parpol-parpol yang mengusung ‘sentimen’ kedaerahan itu umumnya tidak memperoleh suara signifikan. Pendek kata, parpol kedaerahan tidak menjamin akan mendulang suara terbanyak. Itu dibuktikan langsung pada oleh kemenangan Partai Nasionalis Indonesia (PNI) di beberapa daerah yang di dalamnya ternyata ada parpol kedaerahan. Di Jawa Barat, Gerakan Banteng (GB) bertengger di urutan ke-20, PRD ke-21, dan PTI ke-23. Di Jawa Tengah, Gerinda juga hanya bertengger di peringkat ke-18.

Parpol lokal, perlukah?
Pemilu 1955 telah menggambarkan secara konkret betapa parpol-parpol lokal yang mengusung ‘sentimen’ kedaerahan ‘kurang begitu diterima’ publik. Parpol besar yang berskala nasioanal, seperti PNI dan Masyumi, ternyata lebih signifikan dalam perolehan jumlah suara. Ini sekaligus menjadi bukti kuat bahwa besar kemungkinan parpol lokal yang saat ini gencar diperdebatkan memang betul-betul hanya sebatas wacana. Dalam tataran praksis, hal itu akan sulit terwujud.
Apakah dengan demikian, parpol lokal memang tidak akan pernah terwujud kelak di kemudian hari? Tidak ada yang dapat memastikan. Namun, hemat penulis, ada beberapa hal yang cukup urgen diperhatikan terkait dengan wacana parpol lokal. Pertama, kalau memang wacana parpol lokal serius dibahas DPR, maka sudah seharusnya, DPR berani mengubah Undang-Undang yang ada sehingga memungkinkan parpol lokal terwujud.
Kedua, gagasan parpol lokal secara langsung dimunculkan oleh GAM yang notabenenya menginginkan kemerdekaan NAD pada awalnya. Ini berpotensi membuat daerah-daerah lain menginginkan hal yang sama. Jika itu terjadi, persoalan disintegrasi harus siap-siap dihadapi oleh bangsa ini.
Ketiga, kalau memang serius mempraksiskan wacana parpol lokal, maka DPR dan pemerintah harus secara konkret menjabarkan itu dalam bentuk Undang-Undang baru. Karena, parpol lokal tidak hanya sebatas keinginan suara-suara daerah yang bersangkutan, akan tetapi terkait juga secara administratif dengan pemerintah pusat. Pendek kata, bagaimanakah pola hubungan parpol lokal itu dengan pemerintah.
Wacana parpol lokal hemat penulis akan tetap menghangat sebelum DPR membahasnya secara khusus. Namun, penulis berasumsi bahwa pada akhirnya, parpol lokal memang hanya sekedar wacana. Negara dan bangsa ini belum cukup kuat untuk menjadi negara federal, meskipun hal itu sangat mungkin bisa dilakukan.
Proses demokratisasi di negeri ini saja masih dalam proses yang membutuhkan waktu yang tidak lama. Jika parpol lokal merupakan bagian dari proses itu, maka kita memang harus rela hal tersebut diwacanakan.

Duta Masyarakat, Kamis 28 Juli 2005

Tidak ada komentar: