Selasa, 14 Agustus 2007

Kerja Keras Membangun Bangsa

Ada dua prinsip dasar untuk mengarungi kehidupan ini: pertama, bekerja keras dan kedua, menghilangkan pesimisme. Tentunya, di samping berdoa kepada Allah Swt., memohon kepada-Nya agar setiap kerja kerasnya tidak hanya berbuah positif konkret sewaktu di dunia namun juga di akhirat. Juga, berdoa agar penyakit pesimisme yang sering kali hinggap mengganggu kerja keras ini hilang.
***
Dalam Alquran, Allah Swt. berfirman, “Carilah apa yang telah dianugerahkan oleh Allah berupa negeri akhirat. Namun, jangan lupa nasibmu di dunia. Berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik padamu.” (QS Al-Qashash [28]: 77).
Bekerja keras untuk mendapatkan karunia Allah Swt. yang halal dan dengan cara-cara yang halal pula adalah mutlak kewajiban bagi setiap manusia. Rasulullah saw. dalam satu kesempatan pernah memuji seorang pemuda yang berbadan kekar dan berkeringat sedang berjalan membawa barang-barangnya untuk dijual ke pasar. Beliau mengatakan, “Sebaik-baik makanan adalah yang dihasilkan dari usaha tangannya sendiri.” (HR Ibn Majah).
Dalam sejarah kehidupan para sahabat Rasulullah saw. yang terbilang sukses, seperti Abu Bakar dan ‘Utsman ibn ‘Affan, tercatat bahwa kesuksesan mereka berdua adalah lantaran kerja keras ditopang doa yang intens di samping rasa syukur yang besar. Perdagangan mereka maju pesat. Namun demikian, apa yang mereka hasilkan sepenuhnya digunakan untuk dan di jalan Allah Swt.
Sahabat lain, ‘Abdurrahman ibn ‘Awf, saat tiba di Madinah setelah ikut berhijrah meninggalkan tanah air dan tempat usahanya di Mekkah lantaran teror dan intimidasi kaum kafir Quraisy, ditawari sebidang tanah oleh salah seorang penduduk Madinah (kalangan Anshar). Namun, ia justru meminta cukup ditunjukkan pasar saja. Ia tidak ingin merepotkan orang lain. Ia ingin berusaha keras berdagang seperti sewaktu di Mekkah.
Bekerja keras untuk menghidupi diri sendiri dan keluarga, selain kewajiban, juga merupakan bagian dari amal mulia yang dicatat dan kelak akan diberikan pahala tinggi di sisi Allah Swt. Allah Swt. tidak mewajibkan hamba-hamba-Nya untuk meraih hasil-hasil tertentu. Yang Allah Swt wajibkan kepada mereka adalah agar mereka bekerja keras, optimal, dan maksimal, dengan selalu berdoa mengharap karunia Allah Swt. Allah Swt. menjamin bahwa apa yang manusia kerjakan, akan diberikan hasil yang setimpal.
Ajaran untuk bekerja keras sekaligus menjadi larangan untuk bermalas-malasan apalagi berputus asa (pesimisme). Allah Swt. berfirman, “Janganlah kalian berputus harapan untuk mendapatkan karunia Allah.” (QS Yusuf [12]: 87). Semua yang ada di alam raya ini hakikatnya adalah karunia Allah Swt. Ia bisa menghasilkan sesuatu yang bermanfaat dan menguntungkan manusia jika dikelola secara baik.
Bekerja keras untuk meraih karunia Allah Swt. merupakan ciri khas orang-orang beriman yang meyakini bahwa Allah Swt. adalah pemberi rezeki bagi siapa pun yang berusaha dan bekerja secara maksimal. Allah Swt. menjanjikan tidak akan mencabut nyawa manusia sebelum kadar rezekinya disempurnakan. Rasulullah saw. bersabda, “Seseorang tidak akan meninggal dunia sebelum disempurnakan rezekinya.” (HR Ibn Majah).
Bekerja keras sekaligus juga merupakan upaya agar setiap manusia di dunia ini berbuat hal positif baik bagi diri sendiri, keluarga, maupun orang lain. Manusia dituntut untuk berpartisipasi aktif menjadi hamba-hamba Allah Swt. yang mengisi kehidupan dunianya dengan sesuatu yang pada akhirnya akan dibalas oleh Allah Swt. dengan kebaikan dan pahala yang berlipat.
Dengan demikian, prinsip kerja keras yang diajarkan oleh agama sekaligus merupakan ketegasan kepada manusia untuk tidak bermalas-malasan dan pesimisme. Karena, keduanya adalah musuh manusia yang harus dijauhi dan dihindari secepatnya.
***
Sebaliknya, salah satu sikap buruk yang dikecam oleh Allah Swt. adalah berputus asa (pesimisme). Sikap ini sering kali muncul ketika seseorang dilanda musibah yang membuatnya merasa menderita. Dalam Alquran, Allah Swt. berfirman, “Manusia tidak pernah jemu meminta keuntungan dan kebaikan untuk dirinya. Tetapi, ketika didera musibah, mereka berputus asa.” (QS Fushshilat [41]: 49).
Sikap ini dikecam karena membuat manusia menjadi pasif tidak kreatif. Padahal, bagi seorang muslim, hidup adalah tantangan. Gagal dan sukses adalah fakta alamiah yang bisa saja terjadi. Prinsip hidup sejati seorang muslim adalah bersyukur ketika sukses dan tetap optimis walaupun gagal. Allah Swt mewanti-wanti hamba-hamba-Nya untuk itu, “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah.” (QS Al-Zumar [39]: 53).
Rahmat Allah Swt. yang dihamparkan-Nya jauh lebih besar jika dibandingkan dengan murka-Nya. Dalam sebuah hadis qudsi, Allah Swt. mengatakan, “Sesungguhnya, rahmat-Ku mengalahkan amarah-Ku.” (HR Muslim). Sementara, di dalam Alquran Dia juga mengatakan, “Jika mereka (orang-orang kafir) tetap mendustakanmu, katakanlah bahwa Tuhan kalian memiliki rahmat yang sangat luas.” (QS Al-An’am [6]: 147).
Nabi Ibrahim as. menyebut orang-orang yang berputus asa sebagai orang-orang yang sesat, tak tentu arah dan tujuan. Beliau mengatakan, “Siapa yang berputus asa, maka ia termasuk ke dalam golongan orang-orang yang sesat.” (QS Al-Hijr [15]: 56).
Lebih lanjut, Allah Swt. menyebut mereka sebagai orang-orang yang menyimpang dari jalan yang lurus (al-shirath al-mustaqim), “Wahai Tuhan kami, tunjukilah kami jalan yang lurus (al-shirath al-mustaqim). Yaitu, jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat, bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan sesat.” (QS Al-Fatihah [1]: 6–7).
Bahkan, tidak hanya sesat, sikap berputus asa bisa menimbulkan kekufuran. Inilah salah satu pesan Nabi Ya’qub as. ketika melepas anak-anaknya untuk mencari putranya, Yusuf dan saudaranya, di Mesir yang ia yakini masih hidup, “Wahai anak-anakku, pergilah kalian mencari berita tentang Yusuf dan saudaranya. Jangan berputus asa dari rahmat Allah. Tiada yang berputus asa dari rahmat Allah selain orang-orang kafir.” (QS Yusuf [12]: 87).
Larangan berputus asa sekaligus dorongan untuk optimis dalam melangkah dan menatap masa depan. Bagaimanapun, masa depan adalah masa yang akan dihadapi. Merencanakan masa depan secara lebih baik merupakan satu ciri khas orang-orang mukmin. Allah Swt. berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan perhatikan perbuatan di masa lalu sebagai evaluasi untuk hari depan. Bertakwalah kepada Allah. Dia Maha mengetahui apa yang kalian lakukan.” (QS Al-Hasyr [59]: 18).
Sikap pesimis yang melahirkan rendah diri dan putus asa adalah penyakit batin yang mesti dicampakkan jauh-jauh dari kehidupan kita. Sikap ini tidak hanya membuat kita mandul dalam berperan di kancah sosial yang penuh tantangan, tetapi juga menjadi bumerang yang memukul balik kita secara tak terduga. Kita, tentu tidak mengharapkan itu terjadi.
Putus asa mencirikan satu sikap negatif yang tidak meyakini potensi dirinya sendiri. Alquran mengistilahkan hal ini dengan “menzalimi” diri sendiri. Merasa tak mampu berbuat apa-apa. Padahal, setiap manusia telah diberikan potensi yang luar biasa besarnya oleh Allah Swt. Manusia dapat merencanakan masa depannya dan merencanakan hal-hal yang dapat membuat kehidupan ini membahagiakannya, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
***
Bangsa kita belum beranjak dari berbagai keterpurukan, terutama keterpurukan dalam bidang ekonomi. Tidak ada kata lain selain membangkitkan semangat kita untuk bekerja keras, di samping menghilangkan pesimisme kita. Inilah dua modal dasar untuk mengangkat ekonomi kita dari keterpurukan. Jepang adalah sebuah bangsa dan negara yang terpuruk secara ekonomi akibat dua pusat ekonominya, yakni Hiroshima dan Nagasaki, dibom oleh sekutu pada tahun 1945. Tetapi, mereka mampu bangkit karena kerja keras dan optimis bisa bangkit kembali.
Bangsa ini merdeka pada tahun yang sama dengan kehancuran ekonomi negeri Matahari Terbit itu. Tetapi, saat ini, kita bisa membandingkan Jepang dengan kita. Jepang telah menjelma menjadi bangsa yang maju dan diperhitungkan. Sementara bangsa kita, terlalu sibuk dengan urusan politik yang tidak jelas, ekonomi kian terpuruk. Padahal, krisis yang paling membahayakan bagi suatu bangsa, selain krisis politik, juga krisis ekonomi. Pembenahan politik dan ekonomi mutlak diprioritaskan. Jika tidak, bangsa ini akan kian tertinggal. Wallah a’lam.

Al-Waasit, Kamis 11 Januari 2007

Tidak ada komentar: