Sabtu, 18 Agustus 2007

“Reshuffle” Kabinet Jadi Solusi?

Desakan kuat dari pelbagai kalangan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk me-reshuffle sebagian jajaran kabinetnya terus berdatangan bak air bah yang, tampaknya, sulit dibendung. Dan, SBY-pun, tampaknya, tidak memiliki pilihan lain selain harus melakukannya walaupun taruhannya, dipredikisi, sama saja: masa depan Indonesia yang masih penuh dengan teka-teki.
Seperti sudah sering dinyatakan oleh SBY dalam banyak kesempatan bahwa setiap tahun akan dilakukan evaluasi terhadap kinerja kabinetnya, tampaknya hingga saat ini SBY masih terkesan lamban dan cenderung gamang untuk melakukan reshuffle, kalau tidak malah ‘tidak berhasrat’ untuk mencopot sebagian menterinya. Alasannya, kinerja para menteri dinilai masih dalam jalur yang benar seperti yang diinginkannya. Artinya, kecil kemungkinan perombakan kabinet, kalaupun mungkin, dilakukan secara besar-besaran.
Sektor kementerian yang terkait dengan perekonomian disinyalir oleh banyak kalangan adalah yang mutlak harus dirombak. Mereka dinilai telah gagal total menyejahterakan masyarakat. Alih-alih menyejahterakan, dalam kenyataan, justru kemelaratan dan beban penderitaan hidup rakyat yang semakin bertambah. Tetapi, anehnya, SBY justru melihat bahwa sektor kementerian ini dinilai cukup bagus.
Presiden berdalih bahwa kinerja kabinetnya, terutama terkait dengan masalah ekonomi, memang sedang menghadapi persoalan pelik dan sangat besar. SBY harus menanggung beban warisan pemerintahan sebelumnya yang meninggalkan begitu banyak masalah belum terselesaikan. Di samping itu, tekanan ekonomi dalam negeri yang terimbas oleh naiknya harga minyak di pasaran internasional semakin menambah beban ‘penderitaan pemerintah.’
Maka, dalam konteks ini, menurut pemerintah, hal yang harus dilakukan adalah bagaimana mengeluarkan pemerintah dari belitan persoalan tersebut, walaupun, untuk sementara waktu, rakyat ‘dipaksa berkorban’ dan menelan pil pahit ‘perjuangan’ pemerintah guna meningkatkan perekonomian di masa mendatang, bukan saat ini. Angka-angka atau hitung-hitungan nominal di atas kertas, dengan demikian, menjadi andalan pemerintah. Sementara, angka-angka ‘hidup’ (faktuil di masyarakat) terlihat terabaikan.
Pertanyaannya, tentu saja, adalah apakah dengan komposisi kabinet ekonomi yang saat ini ada dapat menjamin hitung-hitungan di atas kertas itu terwujud tanpa perlu merombak ‘sang penghitungnya?’ Dengan kata lain, tidak perlu ada reshuffle? Dan, untuk kalangan pendesak dilakukannya reshuffle juga pantas dipertanyakan apakah reshuffle menjadi satu-satunya atau salah satu solusi terbaik, untuk saat ini?
Pertanyaan ini tentu saja cukup adil diajukan. Soalnya, pengalaman-pengalaman di masa lalu juga menggambarkan bahwa tidak selalu reshuffle menjamin perekonomian meningkat secara signifikan. Justru ketidakpastian yang semakin menggelayuti para pelaku ekonomi. Soalnya, kebijakan yang dikeluarkan terkadang berbeda dengan yang sebelumnya. Optimisme memang seringkali menyeruak manakala isu reshuffle ‘didewa-dewakan’ dengan menciptakan gambaran masa depan yang lebih baik. Siapa yang tidak tersihir?
Namun demikian, pada hemat penulis, reshuffle memang layak dilakukan. Tentu saja, bukan reshuffle total. Hanya sebagian jajaran kabinet yang dinilai ‘kurang sukses.’ Pertama, penderitaan masyarakat dan tingkat kemiskinan yang semakin meningkat tajam. Kedua, mazhab/model perencanaan pembangunan ekonomi yang tidak mengindahkan fakta riil yang dihadapi oleh masyarakat sehari-hari. Ketiga, sistem perencanaan pembangunan pemerintah yang terlalu miskin dalam mengakomodir suara-suara di luar ‘gelanggang,’ malah terkesan ‘semau gue.’ Dan, keempat, mengembalikan kepercayaan publik yang terlihat semakin menurun.
Reshuffle kabinet memang akan selalu memunculkan wacana tarik-ulur yang tidak jarang membuat sang presiden ‘kelimpungan.’ Masalahnya, terutama dalam konteks sistem demokrasi seperti saat ini, sang presiden dituntut, selain untuk mengedepankan arah dan tujuan pergerakan bangsa di masa mendatang lebih baik, dan karena itu harus mendengarkan aspirasi langsung masyarakat, pemerintah juga tidak bisa menutup mata untuk memberikan 'porsi' yang adil kepada partai-partai politik yang mendukungnya.
Hingga saat ini, presiden belum memastikan siapa saja yang akan di-reshuffle, namun beberapa partai, seperti PAN, PKS, PDI-P, Golkar, dan lainnya, sudah ancang-ancang menyiapkan kader terbaiknya. Masalahnya, bagi presiden, tidak semua kemauan partai-partai itu dapat terakomodir. Pemerintah tentu saja akan mencari kader calon menteri yang bisa semakin memperkuat dan sesuai dengan arah kebijakan pemerintah, setidaknya hingga masa pemerintahannya berakhir.
Oleh karena itu, pastinya sudah diantisipasi oleh presiden, harus tetap dikedepankan prinsip profesionalisme dalam reshuffle. Jangan sampai, menempatkan menteri di tempat yang salah hanya karena alternatif yang disodorkan partai. Selain itu, harus pula mempertimbangkan bagaimana potensi ke depan guna menambal lubang-lubang yang diwariskan menteri sebelumnya, bukan malah semakin memperlebar lubang-lubang itu lebih menganga. Dan, tidak kalah pentingnya, adalah menempatkan menteri yang bisa menjadi pembela rakyat yang kritis memberikan saran terbaik pada pemerintah.
Akhirnya, bangsa ini hanya bisa berharap hasil reshuffle presiden tidak semakin menambah penderitaan dan semakin memekikan jeritan pilu. Reshuffle memang bukan jaminan mutlak menjadi solusi final, tetapi, selalu ada celah perubahan yang harus terus-menerus dilakukan secara optimal dan maksimal demi rakyat dan bangsa saat ini, dan tentu saja di masa-masa mendatang.
Sudah terlampau lama, rakyat menderita akibat ‘pengorbanan’ yang telah mereka lakukan untuk negeri ini. Jangan lagi rakyat dikorbankan dengan dalih peningkatan laju perekonomian nasional. Karena, dalam kenyataan, rakyat justru semakin menderita, sementara pemerintah dengan ‘lantang’ menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi nasional berjalan cukup baik.
Perhitungan angka-angka nominal di atas kertas memang mutlak harus dilakukan karena itu merupakan bagian dari perencanaan dan penataan ekonomi yang lebih baik. Namun, harus diingat pula bahwa ternyata fakta di lapangan berbicara lain. Ini yang harus diantisipasi lebih serius oleh pemerintah, terutama pihak yang terkait langsung.
Desakan untuk sesegera mungkin mereshuffle kabinet, dengan demikian harus disikapi sebagai bagian dari kepedulian rakyat terhadap nasib bangsa ini ke depan. Pemerintah harus mengakui jika memang banyak kekurangan yang telah dilakukan bukan malah sengaja menutup-nutupi kekurangan itu hanya untuk menjaga keseimbangan dukungan terhadapnya di level atas. Pemerintah harus lebih tajam membaca arah kebijakannya kembali.
Seluruh rakyat Indonesia saat ini sedang menunggu pagelaran apa lagi yang akan dipertontonkan pemerintah untuk mengangkat nasib rakyat ke tingkat yang lebih baik. Semoga itu bukan sekedar janji dan pepesan kosong.

Pelita, Rabu 30 November 2005

Tidak ada komentar: