Jumat, 17 Agustus 2007

Mengubur Konflik di Serambi Mekah

Salah satu butir penting hasil perundingan Helsinki V, 18 Juli, antara pemerintah Republik Indonesia (RI) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) adalah diberhentikannya segala macam bentuk kontak senjata. Sebagai kelanjutannya, semua senjata GAM harus dikumpulkan untuk dimusnahkan. Sementara itu, dari pihak RI, jumlah personel Tentara Nasional Indonesia (TNI) nonorganik secara berangsur-angsur harus mulai ditarik.
Guna mewujudkan hal itu, pemerintah berencana membentuk sebuah tim khusus untuk mengawasi kesepakatan damai. Tim itu bernama NAD Monitoring Mission (AMM). Tim ini akan berjumlah 600 orang. Sebanyak 350 orang berasal dari Uni Eropa. Sementara sisanya dari lima anggota ASEAN. Menurut rencana, mereka akan berada di NAD hingga lima bulan ke depan. Dikabarkan, tim tersebut tidak akan dipersenjatai.
Konflik yang berlangsung hampir 30 tahun tahun lamanya, akan segera berakhir secara permanen. Warga Nanggroe NAD Darussalam (NAD) dalam waktu dekat ini akan merasakan sesuatu yang mereka impikan selama ini: kedamaian sejati. Namun, apakah NAD pascaperundingan Helsinki V akan benar-benar menjamin tercapainya hal itu? Di sisi yang lain, benarkah GAM telah menyerah kalah hanya dalam tempo yang tidak lama, sementara apa yang telah mereka perjuangkan dengan kucuran darah dan air mata harus ‘gagal’? Dan, pada sisi yang lain, apakah RI benar-benar akan mewujudkan bumi NAD yang damai?

GAM dan perdamaian
Perundingan Helsinki V yang cukup alot sebelum akhirnya dicapai kesepakatan damai, ternyata ditanggapi oleh sebagian tokoh-tokoh GAM terkemuka dengan nada pesimistis. Melalui sebuah situs, salah seorang tokoh GAM mengatakan bahwa GAM tidak akan pernah menyerah dan memberikan senjatanya begitu saja.
Tidak ada harga mati yang harus dicapai oleh GAM selain kemerdekaan, lepas dari RI, dan independen menjadi negara sendiri. Dan, memang, tidak semua tokoh di GAM setuju dengan kesepakatan damai versi Helsinki tersebut.
Abdurrahman Ismail, salah seorang tokoh GAM yang mengaku pernah menjabat sebagai panglima GAM di daerah Passe tahun 1990-an mengatakan bahwa perundingan antara pihak RI dan GAM di Helsinki lebih merupakan akrobat dan permainan politik yang tidak sepenuhnya mencerminkan pengetahuan akan persoalan sesungguhnya yang terjadi di NAD.
Ia menunjuk bahwa wakil GAM yang ikut berunding sebagai tokoh GAM yang sudah berkewarganegaraan asing yang tidak tahu-menahu perjuangan GAM di Bumi Serambi Mekah. Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa apa yang dihasilkan oleh perundingan Helsinki tidak akan berumur panjang. Ia menyebut bahwa kegembiraan warga NAD hanya sementara saja. Setelah itu, konflik akan dengan sendirinya terus berlangsung. NAD, katanya, tidak akan pernah bisa damai secara batin, walaupun secara lahiriah terlihat damai dan adem ayem.
Tentu saja, tidak semua anggota GAM sepakat dengan pandangan ini. Meskipun di beberapa daerah pedalaman masih terdengar letupan senjata antara TNI dan GAM, namun itu hanyalah sebagian kecil dari tentara GAM yang lebih memilih mati daripada damai. Sebuah pilihan yang hemat penulis terlalu ekstrim dan berpotensi besar menjadi duri dalam daging yang selalu mengganggu proses perdamaian sejati di NAD. Ini yang harus terus diwaspadai oleh pemerintah.

Pemerintah dan GAM
Hasil-hasil perundingan di Helsinki secara utuh menurut rencana akan ditandatangani secara sah pada 15 Agustus nanti oleh kedua belah pihak. Apa pun hasilnya, yang jelas, dalam hal ini, pemerintah RI dan GAM kali ini harus benar-benar dapat membuktikan kalau masalah NAD memang harus selesai secara permanen.
Pembangunan di NAD yang sedang berjalan, memerlukan kepastian yang tidak dapat ditunggu lebih lama lagi. Suasana kondusif yang tercipta adalah harga mati bagi pembangunan dan masa depan NAD. Semua itu tidak akan tercapai jika kontak senjata masih mewarnai suasana keseharian. Dalam hal ini, pernyataan presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang berkali-kali mengatakan bahwa konflik di NAD harus diselesaikan secara permanen dan bermartabat, harus didukung oleh semua pihak.
Tidak mudah dan singkat memang untuk menghapus luka warga NAD yang sudah terlalu dalam. Butuh obat yang benar-benar mujarab untuk menghilangkan trauma masa lalu yang telah mendarahdaging. Sebuah kesalahan model penyelesaian konflik ala rezim Orde Baru (Orba) pimpinan Soeharto di masa lalu yang harus ditanggung bersama-sama akibatnya saat ini. Orba telah memaksakan satu bentuk model penyelesaian yang mengakibatkan ribuan nyawa dan pelanggaran HAM terjadi di mana-mana. Dan, itu menjadi luka bagi NAD yang sulit terlupakan.
Perundingan Helsinki setidaknya menggambarkan betapa persoalan NAD harus benar-benar diselesaikan secara serius dan tepat, juga cepat. Masyarakat NAD sudah lama merindukan suasana yang tenang dan damai. Mereka sudah jemu dan muak dengan konflik yang terus berdarah-darah tak kunjung berhenti. Sudah cukup rasanya bencana tsunami menjadi akhir dari segala pertikaian untuk bersama-sama membangun NAD dari titik nol.
Menurut saya, komitmen pemerintah harus diwujudkan dalam bentuk-bentuknya yang konkret sesuai dengan tuntutan warga NAD sendiri. Pembangunan dari oleh dan untuk warga NAD harus menjadi prioritas tunggal. Jangan sampai pemerintah melakukan tindakan blunder untuk ke sekian kalinya. Apa yang warga NAD inginkan, pemerintah sudah semestinya berikan. Pendek kata, jangan sakiti lagi warga NAD untuk ke sekian kalinya.
Di sisi yang lain, GAM juga harus membuktikan secara konkret bahwa mereka memang benar-benar ingin konflik NAD selesai secara permanen. GAM dengan demikian harus menyerukan kepada para anggotanya yang masih berada di hutan-hutan untuk turun secara sukarela bergabung dan bergaul kembali dengan warga NAD dan mengakhiri konflik. Kembali kepada keluarganya dengan jaminan amnesti pemerintah secara total.
Damai di bumi Serambi Mekkah, sebuah mimpi yang harus diwujudkan oleh semua pihak, terkhusus pihak yang bertikai. Semua itu membutuhkan komitmen yang tinggi dan kesalingpercayaan satu sama lain. Jika tidak dilakukan saat ini, potensi konflik akan makin terus berkelanjutan. Hal yang tidak akan diharapkan semua pihak.
NAD sudah lama meradang karena sakit yang tak kunjung sembuh. Rasa sakit itu makin bertambah dengan luluh-lantaknya daerah mereka diterjang ombak tsunami dan gempa bumi. Ratusan ribu nyawa melayang. Kerusakan dan kerugian material sudah sangat parah. Hanya orang-orang yang tidak bernuranilah yang menginginkan konflik terus berlanjut.
NAD sudah dapat dipastikan tetap berada dalam lingkungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tidak ada lagi tuntutan untuk merdeka. Mereka sepakat untuk tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari NKRI.
Sebuah pengorbanan yang harus dijawab oleh pemerintah dengan bentuk nyata: pembangunan yang tersistem baik demi masa depan Aceh yang lebih baik dan damai. Akhiri konflik, ciptakan Bumi Serambi Mekkah yang damai, adalah kata-kata yang harus digaungkan dan dibuktikan nyata oleh semua pihak.

Media Indonesia, Kamis 28 Juli 2005

Tidak ada komentar: