Sabtu, 18 Agustus 2007

Politik Agama dan Agama Politik

Muncul dan maraknya kembali partai-partai politik berlabel agama (baca: Islam), atau paling tidak menjadikan agama sebagai ideologi (asas) partai, di negeri ini, menjelang pemilu 2009 nanti menyeruakkan kembali pertanyaan klasik tetapi masih relevan: apakah keberadaan partai-partai itu menggambarkan kembali kebangkitan politik agama atau sebaliknya, agama politik?
Agama dan politik
‘Ali Abd al-Raziq (1886-1966), seorang Syaikh di Universitas al-Azhar Kairo Mesir, memicu kontroversi ketika pada tahun 1952 menerbitkan bukunya, al-Islam wa Ushul al-Hukm. Dalam bukunya itu, ia menyebutkan bahwa kekuasaan agama dan administratif nabi (politik) adalah terpisah. Pemerintah Muhammad atas komunitas muslim Madinah bukanlah bagian dari misi kenabian. Dan, para penerusnya, yakni para khalifah, hanya meneruskan kekuasaan temporalnya.
Qamaruddin Khan, pemikir dan penulis Pakistan, dalam bukunya, Political Concepts in The Quran (1982) menyebutkan bahwa teori politik Islam sebetulnya tidak muncul dari Al-Quran, tetapi dari suatu keadaan tertentu dan bahwa negara bukanlah merupakan suatu hal yang harus dipaksakan secara ilahiah, ataupun yang sangat dibutuhkan sebagai institusi sosial. Konstituti muslim bersifat fleksibel dan tidak seharusnya menjadi institusi yang kaku dan tidak dapat dipertahankan secara intelektual sebagaimana yang telah terjadi. Ia telah menjadi alat untuk mempertahankan status quo politik dalam masyarakat muslim.
Kaum muslim, lanjut Khan, perlu memahami bahwa tidak ada satu pun yang telah tertetapkan mengenai percampuran agama dan politik. Klaim bahwa Islam merupakan sebuah panduan agama dan politik yang harmonis adalah sebuah slogan modern yang sejatinya tidak dapat ditemukan dalam sejarah masa lalu Islam. Istilah “negara Islam” tidak pernah digunakan dalam teori atau praktik ilmu politik muslim sebelum abad ke-20. Seandainya, 30 tahun pertama Islam dikecualikan, perilaku negara-negara muslim dalam sejarah hampir tidak dapat dibedakan dari perilaku negara-negara lainnya dalam sejarah dunia.
Pemikir Pakistan lainnya, Fazlur Rahman, dalam bukunya, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (1982), meyakini bahwa injeksi politik ke dalam lingkungan agama telah bersifat merusak. Ajaran-ajaran Islam harus mengatur politik, tetapi apa yang sebaliknya terjadi adalah eksploitasi organisasi dan konsep Islam oleh kelompok dan elite politik. Hasilnya adalah politik-politik hasutan omong kosong (sheer demagoguery), bukan politik yang terilhami oleh moral. Slogan “agama dan politik dalam Islam adalah tak terpisahkan” digunakan untuk menipu orang-orang awam agar menerima bahwa alih-alih politik atas negara yang melayani tujuan jangka panjang Islam, Islam justru yang harus melayani tujuan-tujuan sesaat partai-partai politik.
Politisasi atau agamaisasi?
Agama politik tampak menyiratkan suatu tujuan hendak menjadikan agama sebagai sarana jangka pendek untuk memuaskan “nafsu” politik kepentingan pragmatis yang bisa berujung pada suatu kondisi riil yang bertolak belakang dengan ide-ide dasar atau pesan-pesan agama sesungguhnya. Agama politik sekaligus pula menyiratkan terjadinya “pemerkosaan” terhadap teks-teks agama untuk menjustifikasi perilaku politik yang sesungguhnya bobrok dan amoral. Akibat yang lebih parah, agama tidak hanya “diperkosa” teks-teks “lain”, tetapi juga “dibunuh” dengan tragis bila tidak sesuai dengan kepentingan politik pragmatisnya.
Sementara itu, politik agama, atau agama yang diperjuangkan melalui jalur politik, adalah absah, dan kalau betul terwujud seperti yang diidealkan akan melahirkan budaya politik religius. Tetapi, tetap saja timbul kekhawatiran akan munculnya suatu bentuk negara otoriter-teokratis. Kekhawatiran ini beralasan, karena dalam konteks negara-bangsa seperti Indonesia ini —yang pluralitas masyarakat dari segi agama, budaya, suku, kultur, dan sebagainya, menjadi fakta tak terbantah—, semua elemen masyarakat bangsa mesti dilindungi oleh konstitusi yang netral dari ideologi-ideologi selain ideologi yang telah disepakati bersama, yakni ideologi Pancasila yang bervisi kebangsaan bukan keagamaan.
Menjadi seorang Islam atau selainnya, tidak akan terganggu oleh adanya ideologi bangsa yang telah disepakati bersama. Yang mengganggu justru adalah adanya upaya-upaya tertentu yang memaksakan kehendak sesaat dan menyangka persoalan akan selesai hanya melalui dan dengan itu. Lebih mengganggu lagi, jika agama, yang sejatinya lebih tinggi daripada suatu ideologi (meski agama pada suatu titik menjadi inspirasi orang dalam membangun suatu ideologi), dipolitisasi menjadi pembenar sekaligus melindungi kebobrokan dan amoralitas politik yang terjadi.
Keterpurukan kondisi bangsa, di berbagai segmen kehidupannya, mutlak membutuhkan energi lain yang betul-betul “oposan” dari sistem politik yang hingga saat ini belum bisa membuat rakyat keluar dari ketepurukan. Energi lain itu tidak muncul dari wacana agama politik atau politik agama, tetapi praksis nyata yang dibangun di basis-basis kultural yang bersumber pada pesan-pesan moral etis agama yang universal. Agama politik, atau politik agama, selama tidak mampu secara nyata mencipta perubahan sosial ke arah yang lebih baik, hanya akan menjadi bahan tertawaan, sekaligus menjadi sebab apatisme terhadap apa pun. Wallahu a‘lam.[]
Duta Masyarakat, Jumat 18 Mei 2007

Tidak ada komentar: