Minggu, 12 Agustus 2007

BBM, Bom Bali II, dan Momentum Ramadhan

Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang diumumkan oleh pemerintah lewat Menko Perekonomian, Aburizal Bakrie, pada tanggal 1 Oktober dini hari kemarin, seperti sudah diduga sebelumnya, disambut oleh segenap elemen masyarakat, aktivis, dan para pengamat, dengan nada yang berbeda-beda, dan dengan alasannya masing-masing.
Kenaikan BBM yang rata-rata mencapai seratus persen lebih untuk hampir semua BBM itu memang menjadi pilihan pahit, seperti yang sering dinyatakan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam banyak kesempatan. Hal yang juga diamini oleh sebagian pengamat dan tokoh masyarakat yang kemudian dijadikan corong pemerintah melalui Departemen Informasi dan Komunikasi lewat iklan-iklan di banyak media massa, terutama media elektronik, guna ‘mengendalikan’ massa.
Tepat pada hari yang sama dengan diumumkannya kenaikan BBM, tiga ledakan bom berkekuatan lumayan cukup besar terjadi di Bali sekitar pukul 19-an malam lewat. Banyak kalangan berspekulasi kalau bom Bali II itu terkait dengan isu kenaikan BBM, terorisme murni, atau radikalisme agama. Hemat penulis, semua spekulasi itu benar karena momentum yang ‘terbaca’ di permukaan demikian adanya. Hingga saat ini, belum dapat dipastikan motif sesungguhnya peledakan itu.

Kenaikan BBM
Seperti sudah diwanti-wanti oleh pemerintah jauh-jauh hari, kenaikan harga BBM memang pasti akan terjadi dan secara mantap menjadi pilihan final pemerintah. Setidaknya, ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh pemerintah. Pertama, harga minyak di pasaran dunia yang meroket tinggi mencapai US$60 lebih per barel. Harga itu tentu saja membuat pemerintah kelimpungan. Soalnya, subsidi yang mesti diberikan untuk sektor ini juga ikut membengkak.
Kedua, selama ini, subsidi pemerintah untuk BBM ini lebih merupakan subsidi untuk masyarakat kelas menengah ke atas. Orang-orang kayalah yang justru menikmati subsidi itu. Sementara itu, rakyat kalangan bawah, meskipun juga ikut menikmati ‘murahnya’ BBM sebelum dinaikkan, tapi secara keseluruhan, hal itu tidak membawa dampak perubahan yang cukup berarti. Maka, jurang kaya dan miskin menjadi tetap 'konsisten'.
Pencabutan subsidi BBM menjadi pilihan final bagi pemerintah. Dengan dicabutnya subsidi itu, secara otomatis, harga BBM menjadi naik. Langkah lanjutan pemerintah kemudian adalah mengalihkan dana kompensasi BBM itu untuk diberikan langsung kepada masyarakat miskin, dan beberapa sektor lain, seperti pendidikan dan lainnya. Sehingga, menurut perhitungan pemerintah, masyarakat bawah akan benar-benar merasakan imbas positif walaupun harga BBM dinaikkan.
Benarkah persoalannya akan selesai dengan perhitungan yang semacam itu? Hemat penulis, langkah pemerintah memang sangat pahit, namun juga tidak keliru. Pengalihan dana kompensasi BBM tentu saja merupakan bukti dan indikasi kuat terhadap kepedulian pemerintah terhadap masyarakat kalangan bawah yang berada dalam garis kemiskinan. Namun, dalam realitasnya, berbagai penyimpangan dan kesemrawutan yang terjadi justru kian marak.
Di Bandar Lampung, misalnya, banyak warga yang sebetulnya mampu namun justru mendapatkan kompensasi dana BBM tersebut. Sementara itu, warga yang memang benar-benar miskin justru tidak mendapatkan kartu kompensasi BBM. Disinyalir, unsur KKN sangat kuat terjadi di daerah-daerah. Ada pula yang melakukan pemotongan dana kompensasi itu dengan alasan yang dibuat-buat, seperti guna membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP). Fenomena seperti ini hampir umum ditemui di beberapa daerah.

Bom Bali II
Pada hari yang sama dengan kenaikan harga BBM, Bali diguncang bom. Hingga saat ini, sudah 23 orang yang meninggal dunia, sementara ratusan orang mengalami luka ringan dan serius. Ucapan simpatik sekaligus kecaman terhadap aksi bom, yang oleh pihak keamanan disinyalir dilakukan dengan cara bunuh diri, meluncur dari dunia internasional dan tentunya dari dalam negeri sendiri.
Terkaitkan bom Bali II itu dengan kenaikan BBM? Asumsi yang mengiyakan hal itu tentu saja tidak salah. Karena, selain momennya tepat, bom Bali, bisa jadi memang bentuk protes sebagian kalangan masyarakat yang sepertinya ‘sudah dirancang’ untuk dilakukan. Dua momen penting menjadi pilihan tepat: kenaikan BBM dan peringatan setahun bom Bali I.
Momen kenaikan BBM, jika benar dugaan seperti itu, digunakan oleh pelakunya, setidaknya dimaksudkan agar pamor pemerintah ‘turun.’ Maksudnya, hal itu tentu saja akan mengusik pemerintah sekaligus menjadi kekuatan baru para demonstran yang mengumandangkan penolakan terhadap kenaikan BBM bahwa kebijakan yang justru makin membuat masyarakat tercekik kemiskinan akan melahirkan protes sosial yang pada puncaknya menjadi ‘sesuatu’ yang sangat hebat, walaupun itu harus mengorbankan umat manusia.
Sementara itu, momen kedua, yaitu peringatan setahun bom Bali I, setidaknya dimaksudkan agar wacana terorisme terus-menerus hidup dan menjadi PR pemerintah yang tak berkesudahan. Pada saat yang sama, pihak luar negeri, terutama AS, yang terus menekan pemerintah Indonesia untuk menghabisi para teroris yang ada di Indonesia, akan dengan mudah menemukan momentumnya yang tepat untuk ‘masuk’ kembali ke dalam lingkar ‘kepedulian’ mereka terhadap aksi-aksi teroris di luar negaranya. Tentu saja, ada kepentingan di balik isu terorisme itu.
Wacana kedua, terlihat lebih berkembang. Beberapa bukti yang ditemukan memang mengarah pada aksi tindakan terorisme murni, seperti setahun yang lalu. Dalam hal ini, secara tidak langsung, isu-isu BBM, bisa menjadi semakin 'tidak dipedulikan' publik. Orang akan lebih fokus pada upaya pencarian otak dibalik pengeboman.
Berbagai stiker yang memasang wajah, yang diduga, sebagai pelaku yang ‘lolos’ terpampang di berbagai tempat di Bali. Pemeriksaan terhadap kendaraan bermotor, terutama truk-truk pengangkut barang, secara ketat dilakukan aparat setempat.
Apa pun itu, Bali benar-benar menangis kembali. Setahun yang lalu, tangisan itu meledak pasca ledakan yang menewaskan lebih kurang dua ratus orang terdiri dari warga negara sendiri dan asing. Bali memang adalah magnet yang tepat untuk membelalakkan mata dunia internasional.
Isu terorisme yang berkembang di dunia internasional, akan secara tepat dirambahkan ke Indonesia dengan adanya bom-bom yang meledak di pulau dewata itu. Tentu saja, korban dari pihak luar negeri akan menjadi kekuatan pendorong pihak luar untuk ikut ‘nimbrung,’ lengkap dengan berbagai kepentingannya.

Momentum Ramadhan
Tepat empat hari setelah bom Bali II adalah bulan Ramadhan. Umat Islam diwajibkan berpuasa selama satu bulan penuh. Bulan ini adalah bulan suci dan mulia. Segala bentuk amal ibadah, baik yang individual maupun sosial, nilainya akan ditambahkan di sisi Tuhan. Umat Islam, benar-benar sedang digembleng untuk tidak sekedar menahan lapar dan haus dari mulai fajar hingga terbenam matahari, namun juga digemleng untuk menahan nafsu jahatnya.
Bom Bali I telah meperlihatkan bahwa pelaku yang dihukum mengaku sebagai Muslim dan menganggap bahwa tindakannya adalah jihad suci yang amat dicintai oleh Tuhan. Apakah bom Bali II kemarin akan memperlihatkan kembali sosok ‘Muslim’ sebagai pelaku atau dalangnya? Isu terorisme, bahkan di dunia internasional sendiri, memang cenderung memojokkan umat Islam. Dalam kenyataan, memang, ada segelintir umat Islam yang cinta kekerasan.
Bulan Ramadhan adalah momentum yang tepat untuk mengintrospeksi diri kembali dalam melihat kembali Islam dan bagaimana ajaran-ajaran sejati Islam dalam Alquran maupun sunnah-sunnah nabinya. Islam sesungguhnya adalah agama damai dan cinta perdamaian, sekaligus anti kekerasan. Kekerasan dalam bentuk terorisme sejatinya bukan ajaran Islam, tapi perilaku umat yang kurang memahami Islam secara baik sesuai dengan ruh perdamaian dan misi rahmatnya bagi semesta. Wallahu a’lam.

Duta Masyarakat, Rabu 19 Oktober 2005

Tidak ada komentar: