Jumat, 17 Agustus 2007

Merumuskan (Kembali) Makna Jihad

Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) menilai pembentukan Tim Penanggulangan Terorisme oleh Departemen Agama (Depag) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) menimbulkan kontroversi. Itu berkaitan dengan apa yang akan dilakukan tim ini, yaitu memberikan penjelasan kepada masyarakat dan kalangan pesantren mengenai jihad dan mati syahid.
Lebih lanjut, MMI meminta tim bentukan Depag dan MUI itu menyatukan persepsi mereka terlebih dahulu tentang terminologi jihad dan mati syahid sebelum hal itu disampaikan kepada masyarakat, terutama lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti pesantren yang disinyalir oleh banyak kalangan berpotensi menjadi pusat arus radikalisme Islam. Jangan sampai, menurut MMI, dibuat definisi secara sepihak.
Menggunakan tameng jihad, menurut MMI selanjutnya, atau mencari mati syahid tapi menebar teror adalah kejahatan. Perilaku semacam itu adalah haram dan tidak bisa dibenarkan. Tapi, sebaliknya, mendiskreditkan jihad atau mati syahid untuk memberantas terorisme adalah kejahatan yang jauh lebih besar. Pendek kata, menurut MMI, dalam hal ini semua pihak harus melakukan dialog guna menyatukan persepsi tentang jihad dan mati syahid tersebut.
Pernyataan MMI, hemat penulis, perlu diberi catatan kritis. Ada satu hal yang cukup menarik disampaikan mereka dan memang itu menjadi pekerjaan rumah yang cukup urgen diperhatikan. Karena, jika diabaikan, hal itu berpotensi besar dapat terus menyuburkan terorisme berkelanjutan atas nama agama. Yaitu, tentang terminologi jihad dan mati syahid.

Kejahatan berkedok agama
Para ulama klasik, bidang fikih khususnya, hampir mayoritas mendefinisikan konsep jihad sebagai perang suci melawan orang-orang kafir dengan tujuan menegakkan kalimat Allah (ajaran Islam). Karena itu, para ulama membagi suatu wilayah dengan sebutan yang berbeda satu sama lain, yaitu dengan darul harb (daerah perang) atau darus salam (daerah damai). Darul harb inilah yang harus diperangi. Jika diamati dengan seksama, definisi yang dikemukakan oleh para ulama fikih itu sebetulnya definisi dalam konteks perang dan musuhnya waktu itu jelas, karena sama-sama telah mendeklarasikan perang.
Namun, sebetulnya, definisi para ulama itu jika dikritisi lebih jauh, tidak sepenuhnya mengapresiasi catatan historis yang sesungguhnya pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Jihad yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dan pengikutnya justru tidak dimulai dari adanya deklarasi perang dari pihak Nabi Muhammad SAW sendiri yang menginginkan perang. Karena itu, jihad konteks Nabi Muhammad SAW sifatnya defensif, yaitu upaya bertahan saat diserang. Itupun juga karena disokong oleh izin Tuhan untuk berperang akibat perlakuan keji dan biadab Quraisy terhadap pengikut Nabi Muhammad SAW.
Dalam catatan sejarah, perang opensif tidak pernah dinyatakan secara gamblang oleh Nabi sebagai bagian dari jihad. Hal ini dapat dimaklumi karena misi dan visi ajaran yang disampaikan oleh Nabi tidak pernah dilakukan dengan cara-cara kekerasan dan arogan apalagi sampai menumpahkan darah saat damai berlangsung. Perang Badr dan Uhud, juga perang-perang yang lainnya sebetulnya adalah representasi sistem defensif yang dilakukan. Orang-orang Quraisy-lah yang terlebih dahulu menyatakan perang. Maka, mau tidak mau itu harus diladeni secara kesatria.
Jika kerangka logis sejarah jihad Nabi digunakan untuk saat ini, khususnya dalam konteks ke-Indonesia-an, maka jihad dalam bentuk mengangkat senjata tidak lagi relevan dan sangat tidak masuk akal. Pun, jika kerangka para ulama fikih yang membagi suatu wilayah sebagai darul harb atau darus salam diterapkan, juga justru akan semakin memperkuat argumen bahwa perang untuk konteks Indonesia adalah hal yang mustahil. Indonesia terkategori sebagi wilayah darus salam, bukan darul harb. Maka, tidak beralasan jika perang dilakukan dalam konteks Indonesia.
Kaum teroris jelas-jelas telah salah mempersepsikan Indonesia sebagai darul harb yang harus diperangi hanya karena alasan Indonesia bekerjasama dengan Australia, Amerika Serikat (AS), atau negara-negara Barat lain yang mereka tuding sebagai kaum kafir. Anehnya, mereka melakukan pengeboman yang justru mengakibatkan terbunuhnya orang-orang Islam yang telah mereka anggap sebagai saudaranya sendiri. Padahal, secara tegas Alquran telah menyatakan bahwa membunuh orang Islam secara sengaja itu balasannya adalah neraka jahannam (QS An-Nisa [4]: 93).
Jika dicermati, terorisme di Indonesia ini jelas-jelas hanya menggunakan simbol-simbol agama sebagai alat jastifikasi terhadap tindak kriminal yang dilakukan. Pengetahuan mereka tentang jihad dan mati syahid secara serampangan mereka 'perkosa' sedemikian rupa guna meyakinkan orang bahwa tindakannya adalah benar dan mulia di sisi Tuhan. Dengan serampangan pula kaum teroris itu mengajak orang guna mengikutinya sambil mengutip teks-teks agama yang telah mereka kebiri sedemikian rupa.
Dalam konteks ini, memaknai kembali konsep jihad dan mati syahid secara kontekstual dan lalu dikontekstualisasikan dalam konteks ke-Indonesiaa-an menjadi hal cukup relevan dirumuskan kembali. Usulan MMI, dalam hal ini, patut diapresiasi secara cemerlang.
Namun, harus diperhatikan bahwa rumusan makna jihad dan mati syahid harus betul-betul sebuah rumusan yang membela harkat dan martabat kemanusiaan universal dengan, tentunya, mengesampingkan sentimen-sentiman primordialisme keagamaan masing-masing. Karena, terorisme adalah musuh bersama bangsa ini, tidak terkecuali, musuh bagi semua agama.

Merumuskan makna
Jihad, jika diambil dari akar katanya bermakna upaya sungguh-sungguh guna mencapai sesuatu. Karena itu, jihad sebetulnya dapat dikontekstualisasikan dalam bentuk apa pun. Tanpa mengurangi penghormatan yang tinggi terhadap para ulama klasik, dalam konteks Indonesia, terminologi jihad versi mereka tampaknya tidak dapat dipertahankan lebih lama lagi. Perlu makna yang lebih segar lagi.
Jika saat Nabi Muhammad SAW, persoalan mahabesar yang dihadapi adalah konflik bersenjata akibat penindasan dan ketidakadilan yang dipraktikkan oleh suku Quraisy sehingga mengangkat senjata menjadi hal yang penting dan genting, maka jihad mahabesar untuk konteks Indonesia adalah jihad mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan bangsa yang telah lama terkukung oleh penderitaan akibat sistem yang korup dan penuh dengan ketidakadilan.
Maka, upaya yang dilakukan melalui media pendidikan, pemberantasan korupsi, penataan kembali sistem yang efektif memihak rakyat, penegakan hukum, penghargaan terhadap hak asasi manusia, adanya jaminan keamanan dan kenyamanan bagi rakyat adalah sebagian ladang berjihad. Jihad tanpa kucuran darah tetapi jihad yang damai. Di mana, setiap individu memahami dan sadar bahwa bangsa ini harus dibenahi sedemikian rupa.
Karena, inti jihad itu sebetulnya adalah pembelaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang memang seharusnya harus dijunjung tinggi dan dihargai. Tanpa itu, potensi kejahatan bisa tersulut dan terus berlanjut. Lebih parah lagi, jika kejahatan itu ditutupi dengan topeng simbol-simbol agama demi meraih simpati kalangan luas.
Sehingga, terkesan bahwa kejahatan itu akan berbuah mulia di akhirat, meskipun nyawa manusia menjadi tumbalnya. Anjuran wakil presiden (wapres) M Jusuf Kalla agar para ulama menjelaskan makna yang betul tentang jihad dan mati syahid dan lalu ditindaklanjuti dengan pembentukan tim oleh Depag dan MUI, layak diacungi jempol dan harus didukung oleh semua pihak.

Duta Masyarakat, Selasa 6 Desember 2005

Tidak ada komentar: