Selasa, 14 Agustus 2007

Menaklukkan GAM dengan Penuh Hormat

Perundingan antara pihak pemerintah Republik Indonesia (RI) dan pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) memasuki babak akhir yang paling menentukan. Seperti biasa, tempat perundingan dilangsungkan di Helsinki, Finlandia, dengan fasilitatornya, Martti Ahtisaari dari Crisis Management Initiative, yang juga mantan presiden Finlandia.
Babak terakhir ini menjadi ajang pertaruhan kedua belah pihak yang terlihat masih ngotot dengan agendanya masing-masing. Empat babak yang lalu telah menyuguhkan hasil yang cukup menggembirakan, misalnya dengan “kerelaan” pihak GAM untuk tidak ngotot mempersoalkan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) tetap dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kemudian, mereka juga tidak ngotot mempersoalkan keinginan mengajukan referendum. Dan, terakhir, mereka tidak akan melepaskan diri, berdiri mandiri sebagai negara merdeka, lepas dari NKRI.
Ketiga hal ini oleh GAM dianggap sebagai kartu truf yang telah mereka relakan sebagai bentuk keseriusan untuk menghasilkan perundingan yang tidak berlarut-larut bagi masa depan NAD ke depan. Namun, GAM untuk terakhir kalinya juga meminta dengan sangat, setelah mereka menganggap telah “memberi,” adanya partai politik (parpol) lokal. Bisa dikatakan bahwa ini adalah kartu truf terakhir yang GAM gunakan sebagai celah melepaskan diri.
Pihak RI tentu saja menolak dengan tegas “permintaan” seperti ini. Karena, selain alasan konstitusi yang mengharuskan partai politik berpusat di Jakarta (Undang-Undang no. 31 tahun 2002 tentang parpol), juga kekhawatiran bahwa gagasan partai lokal merupakan bukti betapa GAM memang tidak ingin begitu saja “menyerah” kepada RI.
Maksudnya, mereka akan menggunakan berbagai macam celah yang mereka pandang efektif untuk lepas dari NKRI. Selain itu pula, gagasan GAM untuk mendirikan partai politik lokal dikhawatirkan akan menyulut daerah-daerah lain untuk membentuk partai lokalnya sendiri-sendiri. Kalau demikian, besar kemungkinan disintegrasi bangsa akan terjadi.
Sebagai jalan tengah, pemerintah RI mencoba menawarkan posisi politik kepada GAM, yaitu tawaran rancangan persetujuan bahwa 10 partai politik akan bersedia mendukung pencalonan orang-orang GAM pada pemilihan langsung posisi-posisi wali kota, bupati, dan wakil gubernur di Nanggroe Aceh Darussalam. Oleh pihak RI, inilah jalan paling moderat di antara usulan-usulan “ekstrim” kedua belah pihak yang besar kemungkinan sulit ditemukan titik temu.
***
Alasan konstitusi menjadi dasar argumen pemerintah RI untuk menolak usulan GAM yang menginginkan berdirinya parpol lokal. Di satu sisi, alasan demokrasi menjadi dasar argumen GAM untuk “meminta” kerelaan RI mewujudkan harapan GAM dalam membuat partai lokal.
Masing-masing pihak mengklaim telah “memberikan” yang terbaik, dan berharap pihak yang lain berhak “meminta.” Sebagai jalan tengah, tawaran posisi politik kepada GAM coba dilakukan. Pertanyaannya, apakah GAM akan menerima usulan moderat itu? Itu satu sisi. Di sisi yang lain, apakah pemerintah RI juga akan benar-benar menjadikan tawaran itu sebagai jalan paling moderat?
Untuk menjawab pertanyaan ini, ada beberapa catatan yang mesti dicermati bersama. Pertama, perundingan antara pihak RI dengan GAM saat ini adalah babak terakhir. Setelah itu, diharapkan disetujui secara konkret hasil-hasilnya. Untuk selanjutnya akan ditindaklanjuti lebih serius.
Kedua, masing-masing pihak telah menunjukkan iktikad baiknya untuk berdialog, bahkan hingga babak akhir. Dan, ketiga, kondisi NAD sendiri yang tidak bisa menunggu lebih lama untuk segera mendapatkan perhatian serius, yang salah satunya amat ditentukan oleh hasil perundingan RI dan GAM.
Ketiga catatan itu penting diperhatikan sebagai fondasi guna mencermati perkembangan perundingan RI dan GAM. Pada hemat penulis, secara konstitusional, kalau memang GAM sudah rela bergabung dengan NKRI dan tidak akan mengungkit soal referendum dan keinginan untuk merdeka lagi, secara tidak langsung mereka juga “mesti rela” untuk patuh dengan Undang-Undang yang telah ada.
Jadi, sebetulnya, permintaan partai politik lokal oleh GAM lebih merupakan hal yang tidak rasional. GAM memang sudah dalam keadaan terdesak. Mereka sudah “menyerah” kepada RI. Permintaan parpol lokal dalam konteks ini sebetulnya hanya pengulur-ulur waktu saja. GAM seharusnya menyadari itu semua jika memang iktikadnya baik.
Melihat hal ini, pemerintah RI juga sudah seharusnya tidak “bersorak-sorai” dalam kemenangan dalam bentuk pemaksaan kehendak kepada “musuh” yang telah takluk. GAM dalam hal ini memang wajar menuntut demikian, selain adanya otonomi khusus dalam NKRI, lontaran usul partai politik lokal menurut mereka adalah hal yang wajar.
Di sinilah seharusnya pemerintah RI mengambil langkah strategis. Dan, itu, salah satunya sudah diusulkan dalam bentuk penawaran posisi politik. Sebuah tawaran yang, hemat penulis, tidak akan mungkin dielakkan oleh GAM, kalau memang mereka komitmen untuk tetap dalam kesatuan wilayah NKRI, tidak meminta referendum, dan tidak ingin merdeka. Wallâh a‘lam

Media Indonesia, Senin 18 Juli 2005

Tidak ada komentar: