Sabtu, 18 Agustus 2007

MUI Jadilah Penampung Semua Kalangan

Jumat (29/7), Musyawarah Nasional (Munas) Majelis Ulama Indonesia (MUI) VII secara resmi ditutup oleh Wakil Presiden (Wapres) M. Jusuf Kalla. Pagelaran Munas yang dimulai sejak Selasa (26/7) di Hotel Sari Pan Pasific Jakarta itu menghasilkan sekitar 11 fatwa yang sebagiannya merupakan penegasan kembali atas fatwa-fatwa MUI yang telah lalu. Tidak sebagaimana lazimnya, kali ini, Munas MUI harus mengeluarkan 11 fatwa. Padahal, bisanya hanya sekitar tak lebih dari 5 buah fatwa.
Kesebelas fatwa tersebut adalah, pertama, soal pluralisme, liberalisme, dan sekulerisme agama. Kedua, soal doa bersama lintas agama. Ketiga, soal pernikahan lintas agama. Keempat, soal waris beda agama. Keempat, soal waris beda agama. Kelima, soal imam perempuan. Keenam, soal Ahmadiyah. Ketujuh, soal Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Kedelapan, soal pencabutan hak milik pribadi dan untuk kepentingan umum. Kesembilan, soal perdukunan dan peramalan. Kesepuluh, soal hukuman mati. Dan, kesebelas, soal kriteria maslahat.
Jika diamati, fatwa-fatwa MUI kali ini lebih banyak menyoroti pada soal liberalisme pemikiran yang dalam hal ini ditujukan pada Jaringan Islam Liberal (JIL) yang dikomandoi oleh Ulil Abshar-Abdalla dkk. Selebihnya, merupakan penegasan kembali fatwa MUI yang lalu, seperti soal Ahmadiyah. Dalam hal ini, MUI tetap berpegang pada fatwa yang telah dikeluarkan pada Munas II-nya tahun 1980 yang menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah aliran sesat dan menyesatkan. Aliran ini berada di luar ajaran Islam.

Fatwa konservatif-otoriter?
Fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh MUI, seperti sudah diduga sebelumnya, bakal menuai tanggapan balik, terutama dari pihak yang merasa ‘tersinggung’ karena merasa pemikirannya ‘diobok-obok.’ Dalam hal ini, sebut saja JIL dan Ahmadiyah (hanya menyebut sebagian).
Secara terang-terangan, dalam sebuah wawancara dengan sebuah majalah mingguan nasional, Ulil Abshar-Abdalla menyebut fatwa-fatwa tersebut sebagai telah ‘ketinggalan zaman.’ Lebih lanjut, Ulil mengatakan bahwa fatwa ‘sesat-menyesatkan’ merupakan warisan Orde Baru (Orba).
Di pihak lain, Ahmadiyah juga mencoba melakukan ‘pembelaan’ sekaligus ‘gugatan’ balik atas fatwa yang menjurus pada kelompok ini. Mereka merasa tidak terima dengan sebutan ‘sesat-menyesatkan’ yang dialamatkan kepadanya. Tidak hanya Ahmadiyah aliran Qadiyan yang di Indonesia menamakan diri dengan organisasi Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI).
Ahmadiyah aliran Lahore, yang sebelumnya adem-ayem tak tersentuh dan kurang terdengar gaungnyapun ikut-ikutan difatwa ‘sesat-menyesatkan.’ Selain itu, akibat yang terasa bagi Ahmadiyah pascapenegasan fatwa MUI 1980 adalah maraknya penutupan terhadap aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh jamaahnya di beberapa daerah.
Badai kritik atas sejumlah fatwa MUI ini terus bergulir dari banyak kalangan. Umumnya, dari tokoh akademisi dan kaum intelektual kampus Islam yang diklaim telah ‘ter-Barat-kan.’ Orang-orang ini memang sudah lama menggulirkan isu-isu yang dianggap ‘kontroversial,’ dan berlawanan arah dengan mainstream pemikiran keagamaan yang sudah mendarahdaging sejak lama. Kalangan ini menyebut diri sebagai kalangan modernis-liberalis untuk membedakan diri dengan kalangan konservatif-fundamentalis, yang menurut mereka diwakili oleh lembaga keagamaan bernama MUI.
MUI dikecam banyak kalangan lebih merepresentasikan dan ‘memberikan’ tempat pada pemikiran konservatif semata. MUI terlihat kurang akomodatif terhadap berbagai macam aspirasi dari kalangan ‘kiri’ yang sebetulnya menginginkan adanya dialog efektif guna menyelesaikan persoalan.
Parahnya, dialog ini kurang direspon positif oleh tokoh-tokoh ulama di MUI. Salah seorang ulama di MUI malah mengatakan bahwa dialog dengan kelompok ‘kiri’ hanyalah dialog yang sia-sia. Tidak ada gunanya. Mereka malah menyebut kelompok ‘kiri’ dengan sebutan yang ‘seram’: Jaringan Iblis Liberal atau Jaringan Iblis La’natullah.
Konservatisme di tubuh MUI memang sudah lama terlihat. Umumnya, di internal tubuh MUI lebih mengambil tokoh-tokoh agamawan (ulama) dari kalangan Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) Islam yang oleh kalangan ‘kiri’ disebut beraliran konservatif, seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), dan Al-Ittihadiyah. MUI kurang ‘menerima’ orang-orang ‘kiri’ dalam struktur kepengurusannya.
JIL yang notabenenya dilahirkan oleh anak-anak muda NU juga sempat diisukan akan dibubarkan oleh NU, namun, hingga kini, hal itu tidak dilakukan. Sebagai gantinya, orang-orang di JIL direkomendasikan untuk tidak ‘diberikan jatah’ di susunan kepengurusan NU.
Di Muhammadiyah juga berlaku hal yang lebih kurang mirip dengan yang terjadi di NU. Adalah Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) yang dilahirkan oleh anak-anak muda Muhammadiyah, sempat juga diisukan untuk segera dibubarkan oleh Muhammadiyah sebagai induknya. Namun, urung itu tidak jadi dilakukan.
‘Kekurangpedulian’ MUI terhadap tokoh-tokoh ‘kiri’ ini sangat terasa dampaknya dalam setiap fatwa MUI yang ditelorkan. Hampir, semua fatwa itu selalu mengganggap negatif terhadap mainstream pemikiran-pemikiran tersebut pada umumnya. Alasannya, pemikiran-pemikiran tersebut disinyalir bertujuan mencoba mendangkalkan akidah umat Islam. Dan, oleh karena itu harus segera diputuskan sebagai ‘sesat-menyesatkan’ dan harus dijauhi oleh semua umat Islam. Pendek kata, pemikiran-pemikiran tersebut ‘haram’ dikonsumsi oleh umat Islam sampai kapanpun.
Konservatisme ditubuh MUI, lebih parah lagi disinyalir oleh banyak pihak yang berseberangan, ditambah dengan sikap otoriter yang berlebihan. MUI cenderung memaksakan padangan sendiri kepada orang lain, sementara di sisi yang lain melarang pandangan lain yang berseberangan dengannya. Kebenaran Islam seolah hanya ada pada mereka. Sementara yang lain, mereka anggap sebagai bidah dan tidak sejalan dengan ajaran hakiki Islam.

Menampung aspirasi ‘berbeda’
Melihat konstelasi wacana pemikiran yang cukup ramai tersebut, hemat penulis, MUI sudah semestinya jangan semakin ‘mengukuhkan’ diri sebagai kumpulan ulama pembuat kontroversi ‘baru.’ Akan tetapi, MUI harus, sedikit demi sedikit, ‘memberikan’ peluang yang luas bagi kalangan yang selama ini ‘kontra’ dengannya. Jangan sampai terjadi, MUI dianggap sebagai aliran 'baru' dalam Islam sebagaimana aliran-aliran lainnya.
Sesuai dengan namanya, MUI seharusnya menampung banyak kalangan pemikir muslim, baik itu yang dianggap konservatif maupun yang dianggap liberal. Hal ini mutlak dilakukan agar tidak terjadi lagi perbenturan pemikiran ‘di luar’ arena, yang justru itu makin membuat masyarakat muslim di Indonesia yang nyata-nyata heterogen, merasa kebingungan. Dialog dalam hal ini menjadi sesuai yang urgen untuk segera dilakukan.
MUI, sebagai lembaga kredibel, karena dibesut dan dibiayai oleh pemerintah, seharusnya adil dalam menempatkan posisi untuk mewadahi semua kalangan aliran pemikiran keagamaan di Indonesia. Karena, pada hakikatnya, MUI dibentuk oleh pemerintah awalnya memang untuk itu. Sudah jamak diketahui bahwa di Indonesia, ada banyak sekali aliran-aliran pemikiran keagamaan yang butuh pengelolaan secara bijaksana dan adil guna menghindari adanya perbenturan fisik di level masyarakat karena keragaman tersebut.
Jika MUI, dalam kenyataan, justru malam menabur benih-benih dan potensi terjadinya konflik di level bawah, bukankah itu justru akan makin membuat MUI dipertanyakan banyak orang? Tidak ada jaminan bahwa sebuah pemikiran itu mutlak benar sedangkan yang lainnya adalah salah. Apalagi, itu dilihat hanya dari satu perspektif semata.
Keragaman itulah yang sudah seharusnya menjadi bahan dialog di internal MUI. Keterwakilan masing-masing pihak dengan demikian mutlak diperlukan. Karena, terasa sia-sia jika dialog hanya dilakukan oleh tokoh-tokoh yang sealiran tanpa melibatkan yang beraliran lain.
Pada hemat penulis, itu yang perlu dilakukan oleh MUI ke depan. MUI adalah lembaga yang oleh banyak pihak dianggap sebagai salah satu lembaga kumpulan ulama ‘legal.’ Lembaga ini menampung banyak Ormas Islam di Indonesia.
Ini berpotensi dapat memberikan nilai-nilai positif bagi masyarkat, namun juga berpotensi memberikan nilai-nilai negatif bagi kalangan masyarakat tertentu. Tinggal MUI yang bisa menjawabnya. Mau ke manakah arah MUI untuk ke depan. Wallahu a’lam

Duta Masyarakat, Rabu 10 Agustus 2005

Tidak ada komentar: