Jumat, 17 Agustus 2007

Merancang Politik Bangsa yang Pluralistik

Tampaknya, Tuhan telah benar-benar menakdirkan bangsa Indonesia sebagai bangsa dengan latar agama dan budaya yang beragam (plural). Pluralitas ini sudah lama ada, jadi bukan “anak yang lahir baru kemarin sore”. Ia sudah ada, sejak bangsa ini belum dinamai Indonesia, bahkan sebelum Hindia Belanda dan bangsa-bangsa Eropa mengeksploitasi kekayaan bangsa dan mengadu-domba antaragama dan budaya yang ada.
Belakangan, pluralitas tersebut mulai terancam. Warisan imperialis dalam bentuk politik pemecah belahan atau devide et impera kian menguat. Isu-isu sensitif keagamaan dan kebudayaan dengan latar belakang yang berbeda-beda sering kali menjadi menu utama perjalanan bangsa ini, saat ini. Belum lagi ditambah krisis ekonomi yang belum pulih dan krisis politik yang labil dan kontra kepentingan rakyat banyak akibat kepentingan masing-masing kelompok yang sulit dipertemukan. Juga, kejahatan korupsi yang telah membudaya di berbagai tingkat elemen bangsa.

Krisis bangsa
Saat bangsa ini menggembar-gemborkan demokrasi sebagai sistem terbaik dan relevan, tingkat kemiskinan, rendahnya sumber daya manusia (SDM), dan ketidakadilan yang—parahnya— diciptakan oleh negara, beberapa daerah lebih suka membuat peraturan-peraturan yang tidak efektif dan efisien. Peraturan-peraturan itu cenderung menyinggung-nyinggung isu sensitif keagamaan yang —dalam konteks Indonesia— sebetulnya bertentangan dengan asas pluralisme bangsa yang sudah berumur ratusan tahun lamanya.Bangsa ini tengah mengalami krisis ekonomi dan politik yang cukup mengkhawatirkan.
Tetapi, anehnya, hingga detik ini belum ada model politik atau ekonomi yang dipakai pemerintah sebagai solusi yang tepat. Selalu saja pemerintah membuat blunder. Dalam hal ekonomi, misalnya, bangsa ini dikenal di dunia internasional dengan sebutan “good boy”, karena selain rajin membayar utangnya tepat waktu, juga rajin meminjam!
Dalam hal politik, keragaman ideologi dan aliran politik belum mampu mempraksiskan road map visi ke depan bangsa secara nyata. Keberadaan wakil-wakil rakyat yang diharapkan mampu memainkan peran sebagai oposisi sejati terhadap pemerintah sering kali mudah terkooptasi dan terintervensi pemerintah. Masih hangat di dalam ingatan kita akan kegagalan hak angket impor beras dari Vietnam. Terakhir, rencana angket yang sama untuk soal blok minyak Cepu mulai sayup-sayup terdengar, kalau tidak malah layu sebelum berkembang, atau memang telah benar-benar telah mati suri.
Parahnya, krisis politik itu semakin bertambah dengan kian tumbuh mekarnya visi-visi antarkelompok yang kontraproduktif. Santernya isu Surat Keputusan Bersama (SKB), RUU APP, hingga peraturan-peraturan daerah (perda) bernuansa syariat, membuktikan hal ini. Politik bangsa tampaknya tengah diarahkan oleh suatu mainstream yang memanfaatkan isu mayoritas-minoritas di segala segmennya. Visi bersama demokrasi Pancasila dengan perangkat UUD 1945-nya, perlahan tapi pasti, tengah dikebiri oleh anak bangsanya sendiri.
Politik mayoritas
Menyorot keberadaan umat Islam sebagai umat mayoritas di negeri ini terkait hubungannya dengan Pancasila dan UUD 1945, almarhum Nurcholis Madjid (Cak Nur) pernah menulis, kaum muslim Indonesia dapat menyetujui Pancasila dan UUD 1945 atas setidak-tidaknya dua pertimbangan. Pertama, nilai-nilainya dibenarkan oleh ajaran agama Islam. Kedua, fungsinya sebagai nuktah-nuktah kesepakatan antarberbagai golongan untuk mewujudkan kesatuan politik bersama. (Cita-cita Politik Islam Era-Reformasi, 1999).
Untuk yang pertama, umat Islam sejauh ini tidak perlu diragukan lagi mufakatnya. Tetapi, untuk yang kedua, jalan ke arah sana masih terlalu terjal. Seiring runtuhnya rezim Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun lebih digulingkan oleh kekuatan reformasi, bermunculanlah kelompok-kelompok dengan ragam identitas dan ideologinya. Keran kebebasan berekspresi dan membuat kelompok, pada satu sisi membawa berkah, tetapi pada sisi lain membawa laknat dan malapetaka.
Kesatuan politik bersama yang dicita-citakan belakangan ini mendapat tantangan serius dan cukup berat dari kelompok-kelompok pengusung ideologi keagamaan yang radikal, puritan, ekstremis, dan fundamentalistik plus anarkis. Lebih disayangkan lagi, umat Islam, sebagai the single majority yang seharusnya memfungsikan diri sebagai pengayom atau tenda bangsa, meminjam istilah Ahmad Syafii Ma’arif, justru melahirkan kelompok-kelompok itu.
Keberadaan kelompok-kelompok semacam itu mulanya memang tidak bermasalah. Ada jaminan Undang-Undang (UU) yang memayunginya. Tetapi, belakangan, sepak terjang mereka yang kian anarkis semakin membuat masyarakat khawatir dan resah. Tengok, misalnya, soal dukung-mendukung RUU APP, SKB, dan perda-perda syariat.
Mereka jelas menggunakan cara-cara yang tidak demokratis dengan menekan, mengintimidasi, bahkan meneror pihak yang kontra. Terornya juga tidak tanggung-tanggung, istri Gus Dur, misalnya, yang mengikuti pawai kontra RUU APP bersama perempuan-perempuan lain, mereka lecehkan dengan kata-kata yang sangat menyakitkan. Kata-kata yang sebetulnya tidak layak dilontarkan orang yang mengaku beragama, apalagi tokoh agama.
Politik bangsa pluralis
Pangkal dari persoalan di atas, sebetulnya terletak pada belum mewujudnya sistem politik kebangsaan bersama dengan arah visi dan misi ke depan bangsa yang pluralistik. Cak Nur, dalam buku yang sama, menulis bahwa sistem politik yang sebaiknya diterapkan di Indonesia ini ialah sistem yang tidak hanya baik untuk umat Islam, tetapi yang sekiranya juga akan membawa kebaikan untuk semua anggota masyarakat Indonesia.
Artinya, diharapkan, kekuatan Islam sebagai mayoritas mampu merefleksikan keberagamaan mereka di tengah-tengah bangsa yang pluralistik. Tidak malah mencoba menjadi “diktator baru” dengan jubah keagamaannya. Pergelaran kedua International Conference of Islamic Scholars pada 20-22 Juni lalu dengan tema “Menegakkan Islam sebagai Rahmat Bagi Seluruh Alam Menuju Keadilan dan Perdamaian Global” sebetulnya memberikan harapan baru, khususnya di bumi Indonesia.
Pesan tersirat konferensi itu jelas, salah satunya, mengarahkan politik umat Islam, sebagai kekuatan mayoritas, untuk menjadi rahmat bagi semua kalangan. Baik kalangan yang sama maupun berbeda. Dalam spektrum perpolitikan nasional yang lebih luas, diharapkan arah perpolitikan bangsa lebih menghargai nilai-nilai pluralistik yang ada. Sebab, hanya dengan penghargaan semacam inilah segenap komponen bangsa bisa menyatukan visi ke depan dan praksis di lapangan lebih produktif, efektif, dan efisien, menyangkut hal-hal paling urgen yang tengah dihadapi bangsa saat ini. Wallahu a’lam.

Duta Masyarakat, Selasa 15 Agustus 2006

Tidak ada komentar: