Minggu, 12 Agustus 2007

Ekonomi Syariah Konteks Humanisasi Ekonomi

Semua hal yang ada di alam raya nan maha luas ini pada hakikatnya adalah milik Allah SWT yang diperuntukkan bagi umat manusia dengan ketentuan yang telah Allah SWT dan Rasul-Nya tetapkan. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya, segala yang ada di langit dan di bumi adalah milik Allah. Tidak ada yang dapat menolong seseorang selain atas izin-Nya. Dia mengetahui apa yang ada di hadapan dan di belakang mereka. Mereka tidak mengetahui ilmu Allah selain yang Dia kehendaki.” (QS al-Baqarah [2]: 255).
Apa yang ada di atas permukaan bumi oleh Allah SWT telah diperkenankan untuk dinikmati oleh umat manusia dengan catatan bahwa hal itu harus melalui jalan yang haq (halal). Karena, Allah SWT sudah menentukan masing-masing rezeki kepada setiap umat manusia, bahkan hewan-hewan melata, sesuai kehendak-Nya. Allah SWT berfirman, “Betapa banyak binatang melata yang tidak dapat membawa (mengurus) rezekinya sendiri, Allah-lah yang memberikan rezeki kepadanya, juga kepada kalian semua. Sesungguhnya, Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS al-‘Ankabut [29]: 60).
Maka, segala bentuk upaya pengambilan harta milik orang lain secara tidak hak, hakikatnya merupakan pelanggaran besar. Ia telah melanggar ketentuan Allah SWT dan juga ketentuan hukum yang berlaku di antara manusia. Ia telah berdosa terhadap Allah SWT dan berdosa kepada manusia. Ia menanggung hukuman Allah SWT di akhirat dan hukuman manusia di dunia (hudud).
Mengambil harta orang lain secara tidak hak oleh Rasulullah s.a.w. digambarkan seperti orang yang makan tetapi tidak pernah kenyang. Artinya, ia rakus dengan harta dan selalu merasa tidak puas dengan apa yang telah Allah SWT berikan kepadanya. Dengan kata lain, ia tidak menyukurinya. Orang model ini selalu merasa kurang, padahal dalam kenyataan, hartanya telah melimpah ruah.
Dalam sebuah kesempatan, Rasulullah s.a.w. bersabda, “Demi Allah, sesungguhnya, tidak ada hal yang paling aku takutkan akan menimpa kalian selain kemilauan harta benda dunia yang Allah berikan kepada kalian.”
Mendengar sabda tersebut, beberapa orang sahabat bertanya kepada beliau, “Wahai Rasulullah, apakah nantinya segala kebaikan yang dilakukan manusia bisa berpotensi membuahkan keburukan?”
Rasulullah s.a.w. terdiam sesaat. Beliau berpaling ke sahabat yang menanyakan hal itu sembari bertanya balik, “Apa yang engkau ucapkan tadi?” Sahabat penanya menjawab, “Aku menanyakan apakah segala kebaikan yang dilakukan oleh manusia bisa berpotensi membuahkan keburukan?”
Rasulullah s.a.w. tersenyum sejenak, lalu menjawab tegas, “Sesungguhnya, kebaikan yang dilakukan tidak akan berbuah selain kebaikan pula. Siapa yang mengambil harta benda secara hak (dibenarkan oleh agama: halal), maka harta yang ia ambil akan Allah berikan nilai keberkahan. Dan, siapa yang mengambil harta bukan haknya (dengan jalan tidak halal), maka ia seperti orang yang makan tapi tidak pernah merasakan kenyang.” (HR Muslim dari Abu Sa‘id al-Khudri [w. 74H]).
***
Realitas kehidupan umat manusia menunjukkan adanya perbedaan yang tajam antara orang kaya dan miskin. Perbedaan dari segi ekonomi, tentunya. Orang kaya memiliki harta yang berkecukupan. Sehingga, segala kebutuhan hidupnya dapat terpenuhi. Sementara itu, orang miskin, justru sebaliknya. Mereka selalu dililit persoalan ekonomi yang cukup berat.
Salah satu misi Islam yang diajarkan oleh Allah SWT melalui rasul-Nya, Muhammad s.a.w., adalah memberikan perhatian yang ekstra kepada orang-orang miskin. Adanya anjuran kepada setiap orang yang mampu untuk bersedekah, berzakat, berinfak, dan lainnya, merupakan bukti nyata kepedulian Islam terhadap nasib kaum “terbelakang” secara ekonomis itu.
Manusia, oleh Allah SWT diingatkan bahwa dilihat dari tingkat ekonomi memang berbeda. Tetapi, itu tidaklah menjadi jaminan bahwa seseorang akan mendapatkan kemuliaan di sisi Allah SWT. Hanya orang-orang bertakwa yang tercirikan, salah satunya, dengan memberikan makan kepada orang-orang miskin yang akan mendapatkan kemuliaan itu.
Dalam sebuah kesempatan, baginda Rasulullah s.a.w. pernah ditanya oleh seseorang, “Wahai Rasulullah, dalam Islam, amal apakah yang paling baik?” Rasulullah s.a.w. menjawab, “Engkau memberikan makan kepada orang-orang miskin dan engkau membaca salam, baik pada orang yang telah engkau kenal maupun belum.” (HR Muslim dari ‘Abdullah bin ‘Umar).
Memberikan makan kepada orang-orang miskin, bisa jadi, oleh sebagian kalangan dianggap hal sepele. Karenanya, banyak orang yang enggan, bahkan mencibir orang-orang yang memberikan makan. Namun, amal ini, sesungguhnya memiliki nilai-nilai tinggi, tidak hanya dalam pandangan Allah SWT, tetapi juga dalam pandangan manusia.Pertama, meningkatkan rasa solidaritas antar manusia. Solidaritas yang terbentuk dari rasa kasih sayang yang tulus kepada sesama, “Sesungguhnya, kalian belum dianggap beriman secara paripurna sebelum kalian mencintai saudara kalian seperti halnya kalian mencintai diri kalian sendiri.” (HR Muslim dari Anas bin Malik).
Kedua, menumbuhkan benih-benih empati yang berakar kuat dalam diri manusia. Rasulullah s.a.w. pernah berpesan kepada Abu Dzar al-Ghifari, “Wahai Abu Dzar, jika kamu membuat masakan, perbanyaklah airnya untuk dibagikan kepada tetangga di sekitar kalian.” (HR al-Bukhari-Muslim).
Ketiga, meningkatkan kepekaan sosial yang tinggi. Dan, keempat, terbinanya hubungan silaturahmi yang kuat antar sesama. Dengan memberikan makan, silaturahmi akan terjalin keberlangsungannya. Hal itu, tentunya, akan semakin memperkuat tali persaudaraan antar sesama.
Firman Allah SWT berikut dapat menjadi bahan renungan bersama, “Sesungguhnya, orang-orang yang berbuat kebajikan kelak akan meminum minuman dari gelas berisi kafur. Yaitu, mata air yang diminum oleh hamba-hamba Allah di surga. Mereka dapat mengalirkannya dengan baik. Itu karena mereka adalah hamba-hamba yang telah menunaikan nazarnya dengan baik dan selalu merasa takut pada suatu hari yang azabnya merata di mana-mana. Dan, karena mereka memberikan makanan yang mereka sukai kepada orang-orang miskin, yatim, dan tertawan.” (QS al-Insan [76]: 5–8).
***
Sistem ekonomi syariah, sesuai petunjuk Allah SWT dan Rasul-Nya, menitikberatkan pada aspek kekeluargaan antarsesama manusia yang terlibat di dalamnya. Kekeluargaan akan meniscayakan kesalingpahaman untuk memberikan bantuan dan pertolongannya pada orang lain yang kurang mampu. Selain itu, sistem ini menjadi alat untuk mendorong bergeraknya potensi-potensi umat dalam melakukan kegiatan ekonomi di sektor ril secara aktif-produktif.
Tidak kalah penting dari semua itu adalah berupaya sejauh mungkin menghindari praktik-praktik culas yang merugikan orang lain. Sebab, praktik-praktik ini, telah nyata menghancurkan sisi humanitas umat manusia. Sementara itu, sistem ekonomi syariah mencoba meng-humanisasi-kan praktik-praktik ekonomi yang saat ini telah kehilangan ruh humanitasnya. Sistem ini mencoba meletakkan kembali manusia sebagai subjek yang aktif, bukan objek yang dieksploitasi sedemikian rupa demi nafsu “makan tak kenyang” oknum-oknum biadab.
Sistem ekonomi syariah mengupayakan terciptanya situasi ekonomi yang sehat. Jika situasi yang sehat telah tercipta, maka roda ekonomi akan berjalan normal. Jika situasi telah normal, maka tingkat kesejahteraan ekonomi manusia akan meningkat signifikan. Bobroknya ekonomi nasional, dari sudut pandang ekonomi, diakibatkan oleh ketidaknormalan situasi ekonomi. Sistem kapitalis yang dipilih telah nyata menjadi pilihan keliru dan pahit rasanya.
Sistem ekonomi syariah hadir dalam kubangan sistem non-syariah yang telah menggurita dan telah menjelma menjadi raksasa. Butuh perjuangan ekstra keras untuk menempatkan sistem ini dalam pusara ekonomi global yang diperhitungkan. Rasanya, bukan utopis jika sistem ini kelak dapat menjadi alternatif bagi penyelesaian problem ekonomi bangsa yang terpuruk ini. Jika bukan kita, siapa lagi? Wallah a‘lam.

Duta Masyarakat, Kamis 16 Nopember 2006

Tidak ada komentar: