Minggu, 12 Agustus 2007

Ijtihad Amina

Artikel kolom Lies Marcoes-Natsir (Gatra, 16 April 2005) berjudul “Ijtihad Amina” menarik untuk ditanggapi. Pertama, karena ia membela Amina. Kedua, apa yang ia sebut ijtihad, tidak selaras dengan pemahaman ijtihad yang lazim di kalangan ulama. Ketiga, Amina telah mempraktikkan satu bentuk ijtihad kontra-produktif.
Sebagai aktivis perempuan, yang tentu saja menggulirkan isu-isu keperempuanan, Lies sah-sah saja membela pandangan Amina. Namun, ia terlalu “angkuh” untuk menempatkan pemikiran Amina. Maksudnya, ia terlalu mengambil jarak yang begitu dekat dengan Amina, pada saat yang sama, mainstream di kalangan kaum Muslimin lebih cenderung kontra.
Artinya, Amina laksana buih kecil di pusaran gelombang lautan. Kecil kemungkinan ia diterima publik. Kaum muslimah sebagian besar nyaris “nyaman” dan tidak ada masalah dengan imam laki-laki. Dobrakan Amina tentu saja, laksana bergaung sesaat dan akan hilang ditiup angin.
Kemudian masalah ijtihad. Pada hemat saya, Amina tidak melakukan ijtihad. Ia hanya mempraktikkan opini yang terbangun dari emosi tak terbendung akibat perlakuan yang tidak adil. Darah keperempuanannya mendidih dengan diskriminasi yang ia alami.
Pembongkaran yang coba dilakukan oleh Amina lewat—meminjam istilah Ziba Mir Husseini—pemaparan pengalaman keagamaan pribadi yang tidak memihak, menurut saya, lebih merupakan kekecewaan akibat kekalahan perempuan di pentas politik dari kaum laki-laki. Aksinya menjadi imam bagi jamaah laki-laki dan perempuan, tentu saja terasa lucu.
Selain ijtihad yang tidak pada tempatnya, ia juga telah mempraktikkan satu bentuk aksi yang kontra-produktif bagi perjuangan kaum perempuan pada umumnya. Bukankah masih banyak agenda perempuan lewat, misalnya pemberdayaan di beberapa sektor yang tidak dilakukan kaum Adam?
Apa penganut paham feminisme mau dicibir publik sebagai paham egois yang terus memerjuangkan kesetaraan, pada saat yang sama, mereka meninggalkan kodratnya sebagai wanita, yang pastinya, tidak sama dengan laki-laki? Sebagai laki-laki, penulis tentu saja siap bersaing dengan perempuan. Namun hendaknya tidak melupakan kodrat masing-masing.
Apa yang Amina lakukan mesti dihargai oleh siapa pun sebagai bentuk kritik politik perempuan terhadap kekuasaan laki-laki yang terlalu otoriter dan kurang merespons perempuan. Namun, sekali lagi, kritik Amina kontra-produktif dengan apa yang sesungguhnya ia tuju sendiri. Praktik imam yang ia tunjukkan, tentu saja keliru arah. Wong, ia didiskriminasi secara politis, kok malah melakukan aksi di tingkat sakral seperti ibadah. Kalau sudah dalam tataran ibadah, maka mesti melakukan sesuai dengan apa yang Nabi saw sabda dan praktikkan.
Sudah jelas, bahwa Umm Waraqah yang disuruh menjadi imam oleh Rasulullah saw, adalah untuk perempuan. Di rumah pula. Tidak diekspos besar-besaran di masjid. Toh, jika melihat praktik yang terjadi di zaman Nabi saw, perempuan sama sekali tidak mempersoalkan apa yang Nabi saw praktikkan. Bukankah waktu itu ada Nabi saw yang bisa dijadikan sebagai simbol kekuatan politik pembela perempuan? Kalau saat ini pun tidak ada masalah, kenapa coba membuat-buat masalah? Ada-ada saja, Mrs. Amina? Wallâh a’lam bi al-Shawâb.

Gatra, 30 April 2005

Tidak ada komentar: