Selasa, 14 Agustus 2007

Memperjuangkan Keadilan

Salah satu tanggungjawab manusia dalam konteks dirinya sebagai seorang beragama (muslim) dan dalam konteks dirinya sebagai warga bangsa adalah ikut berperan aktif menjadi agen-agen penegak keadilan di semua lini kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan tentunya, sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Karena, keadilan adalah barang mahal yang harus terus-menerus diperjuangkan. Jika keadilan mati, petaka tinggal menunggu waktunya. Kita tentunya tidak mengharapkan itu terjadi.
Keadilan
Islam sejati berintikan pada dua hal utama, pertama, keyakinan terdalam (batini) dalam bentuk keimanan, dan kedua, pergerakan aktif sebagai manifestasi atau cermin keimanan (amal nyata), dalam kehidupan sosial. Kedua hal ini mutlak menjadi prinsip hidup setiap muslim.
Pakar tafsir dari kalangan Muktazilah, al-Zamakhsyari (w. 538 H), di dalam tafsir al-Kasysyaf ‘an Haqa’iq al-Tanzil-nya, pada saat manafsirkan Q.S. 3:18 menyatakan bahwa ajaran sejati Islam adalah monoteisme (tauhid). Ini terangkum dalam kalimat “annahu la Ilaha illa Huwa.” Kalimat yang langsung Allah nyatakan sendiri. Setelah itu, dengan kepatuhan yang tinggi, para malaikat juga menyatakan hal demikian. Juga orang-orang yang berilmu, karena dengan ilmu yang mereka miliki, mereka menjadi sadar betapa alam ini ada karena Allah Yang meng-ada-kannya, sehingga lewat pengamatannya, mereka mengetahui Tuhannya.
Namun tauhid, lanjut al-Zamakhsyari, tidak akan berarti apa-apa tanpa diiringi dengan upaya konkret amaliah dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Dalam ayat di atas, Allah mengiringi tauhid itu dengan pesan untuk manusia agar menegakkan keadilan di atas muka bumi. Keadilan dalam bingkai ketuhanan (ilahiyah) akan menghasilkan keadilan sebenarnya, bukan keadilan atas nama pribadi maupun golongan yang mudah diputarbalikkan atau dimanipulasikan.
Keadilan Allah, menurut al-Zamakhsyari, termanifestasi pada tiga hal, pertama, pembagian rezeki. Allah mengajarkan bahwa diri-Nya adalah Zat Yang Mahaadil dalam membagi rezeki kepada setiap makhluk-Nya. Karena itulah, setiap muslim dituntut untuk ikhlas dalam memberikan sebagian hartanya untuk disalurkan kepada orang lain yang memerlukan.
Kedua, penentuan ajal. Allah sudah menetapkan ajal setiap manusia sesuai dengan keadilan-Nya. Kita sebagai manusia mesti meyakini bahwa hidup dan mati kita ada dalam ranah dan keadilan-Nya. Dengan demikian, kita tidak akan pernah pesimis menghadapi hidup, tapi selalu optimis, karena kita bisa melakukan hal positif dengan optimal. Hidup dan mati ada di tangan Allah, kita tidak perlu memikirkan waktunya. Yang harus dipikirkan adalah bagaimana membekali diri dengan amal-amal positif agar tatkala ajal telah tiba, kita tidak tergagap.
Ketiga, pemberian pahala dan siksa. Allah akan memberikan pahala dan siksa sesuai dengan apa yang telah manusia perbuat di muka bumi ini. Yang beramal baik, ia pasti akan dibalas baik, demikian halnya dengan yang beramal buruk, maka ia juga akan menuai keburukan tersebut (Q.S. 99:7-8).
Memperjuangkan keadilan
Memperjuangkan dan menegakkan keadilan di muka bumi adalah harga mati yang telah ditetapkan oleh Allah untuk dilakukan oleh setiap orang dengan berbagai bentuknya. Dari mulai hal-hal yang terlihat remeh dan kecil, hingga hal-hal serius dan besar. Wajib hukumnya bagi setiap pribadi beriman untuk menegakkan keadilan ini. Jangan sampai keadilan hilang di muka bumi. Karena, jika keadilan hilang, yang ada adalah kezaliman dan penindasan satu pihak terhadap pihak yang lain.
Di dalam sebuah ayat disebutkan, bahwa orang-orang yang beriman harus menjadi para penegak keadilan dan menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap diri sendiri, orangtua, maupun kaum kerabat. Lebih lanjut dikatakan, meskipun kondisinya miskin, Allah lebih tahu kemaslahatannya di balik itu. Manusia diimbau agar jangan mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Jika manusia memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Allah Maha mengetahui apa yang manusia kerjakan (Q.S. 4:135).
Ayat di atas dengan tegas menyeru kepada orang-orang beriman supaya menegakkan keadilan di mana pun, kapan pun, dan kepada siapa pun. Keadilan mesti ditegakkan, meskipun itu terhadap diri sendiri, keluarga dekatnya sendiri, apalagi orang lain. Dan, yang mesti diingat, penegakkan keadilan itu berangkat dari niat semata-mata mengharap keridhaan Allah. Sehingga, tidak mudah tergoda dan terpengaruh dengan bisikan-bisikan orang di sekitarnya yang bermaksud mematikan keadilan itu sendiri. Demikianlah yang diungkapkan oleh Ibn Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim-nya saat menafsirkan ayat di atas.
Bahkan, antarsesama muslim sendiri yang sedang bertikai dan berselisih tentang suatu hal, keadilan juga mesti ditegakkan, sebagaimana firman Allah yang menyatakan bahwa jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin bertikai, agar segera didamaikan. Lebih lanjut, Allah mengimbau manusia agar berlaku adil terhadap pihak-pihak yang bertikai. Karena, Allah menyukai manusia yang berlaku adil (Q.S. 49:9).
Bangsa berkeadilan
Saat ini, aspek keadilan di negeri ini seakan masih jauh panggang dari api. Keadilan masih menjadi milik orang-orang yang miskin dan tertindas, namun tidak untuk orang-orang yang kaya dan punya jabatan. Kita sering mendengar ilustrasi bahwa kalau maling ayam ditangkap dan digebuk ramai-ramai, tetapi maling uang ratusan miliar, bahkan hingga triliunan, bebas tak bersyarat. Inikah wajah keadilan di negeri ini?
Jika demikian, berarti jalan keadilan masih tertatih-tatih dan rawan terjerembab ke jurang bencana dan petaka. Tiada jalan lain selain terus-menerus menyuarakan keadilan, meski aktor-aktor yang menggawangi keadilan terus-menerus pula membutakan mata dan menutup telinga. Di tengah besarnya nada pesimisme penegakan keadilan, kita sebagai umat beriman memiliki modal utama, yakni keyakinan bahwa kita memiliki tanggungjawab untuk menegakkan keadilan dari Allah itu sampai kapan pun. Wallahu a‘lam.

Al-Waasit, Jumat 30 Maret 2007

Tidak ada komentar: