Minggu, 12 Agustus 2007

Daulat Rakyat yang Tergadai

Negara ini adalah negara demokrasi, meski kenyataan di sana sini masih menggambarkan bahwa negara ini belum sempurna demokratis. Tetapi, tetap, mesti diakui bahwa negara ini tengah melakukan demokratisasi secara terus-menerus sebagai amanat dari agenda reformasi yang bergulir secara nyata mulai 1998.
Pemilihan Umum (Pemilu) pada 1999 dan 2004 lalu merupakan salah satu proses demokratisasi yang paling nyata berlangsung sukses, meski ujung-ujungnya, tetap melahirkan persoalan. Sayangnya, proses demokratisasi yang berjalan secara sukses sejauh ini, terkendala dengan hasil buruk yang dialami rakyat saat ini, yakni kedaulatan mereka yang tergadai!
Daulat Rakyat
Apa makna daulat rakyat? Daulat rakyat hanya ada dalam negara demokratis yang terus-menerus melakukan demokratisasi. Dan, negara ini, telah disepakati sebagai negara dengan sistem demokrasi. Oleh karena itu, daulat rakyat berada di atas segalanya, termasuk di atas negara.
Negara (baca: pemerintah) hanya instrumen terorganisasi yang terjelmakan dari daulat rakyat dan diberikan mandat oleh daulat rakyat ini untuk mengatur tata kehidupan bernegara yang di dalamnya ada rakyat, seperti yang dimandatkan oleh daulat rakyat. Jika negara berjalan tidak sesuai dengan mandatnya, daulat rakyat tidak hanya boleh melakukan kritik, tetapi juga bisa mencabut mandat itu jika negara betul-betul melakukan pelanggaran yang menurut undang-undang yang berlaku, sangat fatal.
Selain terjelmakan dalam instrumen negara, daulat rakyat terjelmakan dalam instrumen lain bernama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR/Parlemen) melalui jalan pemilu yang dalam konteks kita dilakukan sekali dalam lima tahun. Anggota-anggota parlemen adalah representasi daulat rakyat yang menyuarakan dan mengaspirasikan kehendak dan kemauan daulat rakyat tentang bagaimana negara dan bangsa ini berjalan secara baik ke depan.
Maka, sebagai parlemen yang menyadari bahwa keberadaan mereka adalah jelmaan dari daulat rakyat, sudah seharusnya wacana yang digemakan adalah wacana yang digemakan oleh daulat rakyat. Dan, dalam gema wacana ini, parlemen mutlak harus betul-betul membuktikan bahwa ia adalah jelmaan daulat rakyat yang tercermin dalam keseriusan dan bukti nyata perjuangannya yang pro rakyat.
Sayangnya, dalam perjalanannya, instrumen parlemen sering kali tidak berjalan sesuai dengan mandat daulat rakyat, sebagaimana sering kali tidak berjalannya instrumen negara. Salah satu kendala nyatanya adalah ketika keberadaan parlemen itu berubah haluan menjadi pembawa kepentingan daulat partai-partai yang menyodorkannya untuk dipilih oleh daulat rakyat pada pemilu.
Keberadaan partai-partai, memang mesti diakui sebagai instrumen bahkan pilar demokrasi untuk menuju ke parlemen. Dan, hanya melalui wadah partai-partai, daulat rakyat menjelma menjadi parlemen. Partai-partai ibarat jembatan. Tanpa ini, mustahil parlemen terbentuk.
Daulat rakyat semakin sempurna menjelma dalam instrumen-instrumen negara, parlemen, dan partai-partai. Untuk selanjutnya, instrumen negara dan parlemen membentuk instrumen-instrumen lain sebagai pendukung kerja dan kinerja sesuai mandat daulat rakyat. Maka, hakikatnya, instrumen-instrumen apapun, yang terbentuk melalui jalan demokrasi daulat rakyat, adalah jelmaan dari daulat rakyat itu sendiri.
Konsekuensinya, sesuai dengan bidang dan wilayah kerjanya, instrumen-instrumen itu mesti menjadikan kepentingan daulat rakyat, yang itu adalah ruhnya, sebagai kepentingan yang berada di atas segalanya. Jika instrumen-instrumen itu gagal, tidak hanya mengkhianati daulat rakyat, tetapi juga melakukan penipuan besar-besaran. Dalam kacamata lain yang lebih ekstrem, instrumen-instrumen itu telah menggadaikan daulat rakyat!
Tergadai
Sangat mungkin daulat rakyat tergadai, digadaikan oleh instrumen-instrumen jelmaannya sendiri. Berbagai kenyataan yang terjadi menyuguhkan pembenaran ini. Hari-hari ini, di negeri demokratis bernama Indonesia yang tengah mendemokratisasikan diri, daulat rakyat kian tergadai oleh setidaknya lima hal.
Pertama, begitu besarnya kepentingan politik meraih kekuasaan. Politik, memang, salah satunya bertujuan untuk meraih kekuasaan. Tetapi, ketika proses-proses meraihnya tidak sehat dan justru membuat para elitee politik melupakan hakikat kedirian sebagai daulat rakyat, sehingga makin menjauhkannya dari kepentingan rakyat, maka rakyat tertinggalkan. Dengan kata lain, rakyat tergadaikan hanya oleh kepentingan politik meraih kekuasaan semata.
Kedua, ambisi memperkaya diri para pejabat politik. Upaya memperkaya diri, secara sehat, tentu tidak dilarang. Tetapi, menjadikan instrumen negara, parlemen, dan partai, sebagai lahan mengeruk kekayaan, yang itu sejatinya berasal dari rakyat, melalui cara-cara yang tidak sehat, tentu merupakan kejahatan yang tak termaafkan. Bagaimana bisa, jelmaan-jelmaan daulat rakyat itu menjadi penghisap harta rakyat? Bernuranikah mereka? Parahnya, upaya-upaya memperkaya itu dibungkus dengan peraturan-peraturan legal untuk melegitimasinya.
Ketiga, rapuhnya sistem bernegara (baca: pemerintah). Indikasinya mudah terbaca, bahkan oleh kalangan awam sekalipun. Kita lihat, bagaimana sistem bernegara sering kali tidak memperlihatkan seorang kepala negara yang dipilih rakyat sebagai sosok yang tegas dan berani. Yang terlihat, kepala negara lebih berkompromi dengan para pendukungnya di parlemen demi mengamankan dan memperkuat posisinya. Padahal, parlemen kini sudah tercitrakan kurang begitu pro rakyat. Belum lagi, konflik yang kerap kali terjadi di antara instrumen-instrumen negara, parlemen, dan partai-partai.
Keempat, penegakan hukum yang amburadul. Hukum hanya menyentuh para penjahat kelas teri dan lawan-lawan politik. Hukum sama sekali tidak menyentuh kawan-kawan politik. Lebih parah lagi, hukum tidak menyentuh penjahat kelas kakap yang jelas-jelas telah menunjukkan batang hidungnya di depan kepala negara di istana. Para penjahat itu justru dihormati dengan karpet merah. Tidak ada yang menggelar karpet merah untuk penegak hukum yang menangkap penjahat kelas kakap. Karena, memang tidak pernah terjadi, kelas kakap ditangkap. Diusut pun, mana ada yang berani?
Kelima, kenyataan bahwa kebijakan-kabijakan ekonomi cenderung mengakomodasi kepentingan konglomerat dan orang-orang kaya, tidak bagi rakyat jelata. Mulai perbaikan sarana dan prasarana ekonomi rakyat yang tidak maksimal, upaya-upaya pemberdayaan dan peningkatan taraf hidup ekonomi rakyat yang baru sekadar wacana, hingga impor-impor bahan pangan yang kian membuat para petani tidak mendapat perhatian dan penghargaan yang layak.
Akankah daulat rakyat terus-menerus tergadai? Selama masih rendah komitmen dan kesadaran bahwa instrumen-instrumen negara, parlemen, dan partai-partai, adalah jelmaan dari daulat rakyat dan mereka diberi mandat, rasanya hal itu akan terus-menerus terjadi. Kalau demikian, alangkah ironisnya! Daulat rakyat di negara demokratis yang terus-menerus melakukan demokratisasi ini justru tergadaikan.[]

Duta Masyarakat, Kamis 29 Maret 2007

Tidak ada komentar: