Sabtu, 18 Agustus 2007

Rakyat, Negara, dan Demokrasi Kita

Krisis sosial-ekonomi di negeri ini hingga kini masih belum maksimal dipulihkan. Angka kemiskinan dan pengangguran cenderung meningkat. Harga bahan-bahan pokok semakin meningkat dari hari ke hari. Perilaku elit politik yang duduk di singgasana kekuasaan semakin memperlihatkan perilaku kleptokrat secara terang-terangan. Penegakan hukum masih terkesan tebang pilih. Yang dipilih pun masih yang kelas teri. Parahnya, elit politik pun larut pada soal korupsi yang kelas teri. Nyaris tak ada suara kencang elit untuk menekan pemerintah agar lebih serius menyelesaikan korupsi kelas kakap, seperti BLBI. Ada apa dengan demokrasi kita kini?

Rakyat dan negara

Demokrasi pada hakikatnya bertujuan untuk menyejahterakan kehidupan rakyat. Gagal tidaknya demokrasi akan dihakimi oleh fakta sejahtera tidaknya rakyat. Maka, demokrasi pada titik ini bisa dipahami sebagai hanya alat/sistem untuk menciptakan kesejahteraan. Sebagai hanya alat/sistem, konsekuensinya demokrasi bisa diganti dengan alat/sistem lain yang lebih baik. Dengan demikian, demokrasi adalah juga di antara pilihan dari berbagai pilihan lain yang ditawarkan. Mudah dipahami jika kemudian ada suara-suara skeptis atas demokrasi ketika kesejahteraan rakyat belum juga tercipta, dan menawarkan alat/sistem lain selain demokrasi.
Adakah yang lebih baik dari demokrasi? Masalah sebetulnya bukan hanya pada soal baik atau lebih baik alat/sistem selain demokrasi, tetapi pada terbukanya kesempatan yang sama dan luas pada setiap individu (rakyat) yang mencita-citakan kesejahteraan seperti yang diharapkan. Artinya, setiap individu berperan, dan peran itu dinilai sebagai bagian dari hak untuk ikut andil menciptakan kesejahteraan. Dan, demokrasi memberikan kesempatan itu melalui adagium dari, oleh, dan untuk rakyat. Maknanya secara teknis, rakyat menyuarakan cita-cita kesejahteraan, lalu rakyat menciptakan rencana-rencana demi mewujudkan cita-cita itu yang pada akhirnya juga kembali untuk rakyat.
Rakyat ingin hak-haknya tidak hanya dihormati tetapi juga dihargai sebagai bagian dari cita-cita bersama mencapai kesejahteraan. Sentral kebijakan yang berpusat hanya pada negara, tanpa pelibatan rakyat seperti pada otoritarianisme jelas mengebiri hak-hak rakyat. Hal berbeda terjadi di alam demokrasi yang jelas memberikan kepada rakyat akan hak-haknya. Pada titik ini, demokrasi kemudian menjadi pilihan. Sebagai salah satu alat/sistem, demokrasi tentu saja perlu penyempurnaan untuk semakin menguatkan suara-suara rakyat dan menempatkan negara hanya sebagai institusi pelaksana teknis pewujudan harapan dan cita-cita rakyat. Maka, kebijakan negara yang dilahirkan mutlak harus bertumpu pada koridor harapan dan cita-cita rakyat.
Negara harus tunduk pada suara rakyat. Dan, rakyat berhak mengkritik negara ketika kebijakan yang dilahirkan negara tidak sesuai dan melenceng dari koridor itu. Karena itu, negara harus terus-menerus memasang mata dan telinganya untuk melihat dan mendengarkan rakyat. Kewajiban negara adalah mewujudkan kesejahteraan rakyat. Jika negara gagal, elit-elit di dalam tubuh negara itu harus bersedia diganti dengan elit-elit baru yang lebih baik. Inilah jaminan demokrasi yang dalam wujud teknisnya adalah pergantian kepala negara. Elit yang negarawan akan tahu diri ketika gagal untuk meminta maaf dan menyerahkan tongkat estafet pada elit-elit baru. Inilah kenegarawanan sejati elit.

Demokrasi kita

Demokrasi kita hari ini tengah berjalan menuju kematangan dan kedewasaan. Berbagai kebijakan telah dikeluarkan untuk menjamin hak-hak rakyat telah terpenuhi. Proses demokrasi pun telah berjalan cukup baik, meski itu terlihat baru pada terlaksananya berbagai pemilu, tumbuh suburnya partai-partai politik, dijaminnya kebebasan berpendapat, serta kebebasan lain seperti yang diharapkan. Sayangnya, demokrasi kita juga masih menjadi alat/sistem untuk tujuan-tujuan tertentu yang mengatasnamakan demokrasi, untuk memperkaya diri sendiri dan kelompoknya.
Demokrasi kita juga terkesan lebih mementingkan urusan prosedural, dan tidak terlalu perhatian pada persoalan substantif yang antara lain berwujud nyatanya perbaikan kondisi bangsa dari berbagai krisis yang mendera. Tingkat ekonomi secara makro memang berhasil mencapai titik signifikan yang mengagumkan. Tetapi, kekaguman itu menjadi senyap manakala sektor ekonomi ril tidak bergerak cepat, malah melambat. Kekaguman juga menjadi senyap manakala rakyat di bawah menjerit dalam kemelaratan yang kian bertambah. Jeritan yang kian keras ketika harga-harga terus melambung tinggi dan tampaknya mustahil turun. Seperti inikah demokrasi yang kita harapkan?

Duta Masyarakat, Rabu 11 Juli 2007

Tidak ada komentar: