Selasa, 21 Agustus 2007

Studi atas Pemikiran Tafsir Alquran Siti Aisyah

Salah satu kekayaan yang dimiliki oleh peradaban Islam masa silam, dan masih saja terus mengalir hingga saat sekarang ini adalah kekayaan dalam bidang tafsir Alquran. Kalau kita kembali membuka lembaran masa silam, terutama pasca wafatnya Rasulullah SAW, pelbagai ragam penafsiran dengan coraknya yang masih sangat khas, yaitu tafsir bil ma’tsur, banyak dikembangkan oleh para sahabat Rasulullah SAW.
Manna’ Khalil Qaththan, misalnya, penulis kitab Mabahits fi ‘Ulum Alquran, mencatat beberapa orang sahabat yang menjadi icon ahli tafsir di daerah yang berbeda-beda pasca wafatnya Rasulullah SAW. Mereka antara lain adalah Abdullah bin 'Abbas (Ibnu ‘Abbas) yang mengembangkan tafsir Alquran di Mekkah. Ia memiliki beberapa orang murid yang kemudian menyebarkan tafsirnya. Mereka antara lain adalah Sa'id bin Jubair, Mujahid, ‘Ikrimah (pembantu Ibnu ‘Abbas), Thawus bin Kaisan al-Yamani, dan 'Atha bin Abu Rubah.
Sementara itu, di Madinah sendiri, pengembang tafsir Alquran adalah Ubay bin Ka’ab. Murid-muridnya antara lain adalah Zaid bin Aslam, Abu al-’Aliyah, dan Muhammad bin Ka’ab al-Qarazhi. Murid-murid inilah yang kemudian melestarikan dan mengembangkan model dan corak tafsir Ubay bin Ka’ab di beberapa daerah di luar Madinah.
Di Irak, sahabat yang mengembangkan model tafsirnya adalah Abdullah bin Mas’ud (Ibnu Mas’ud). Ia dikenal sebagai penafsir pertama dari kalangan sahabat yang mengembangkan model penafsiran baru terhadap Alquran. Jika para sahabat pada umumnya mengembangkan model tafsir bil ma'tsur, maka tidak dengan Ibnu Mas’ud. Ia justru selangkah lebih maju dengan model pendekatan tafsir bil ra’yi. Hal ini didorong oleh konteks yang mesti dihadapi oleh Ibnu Mas'ud sendiri kala itu.
Irak, tempat Ibnu Mas’ud berada, adalah satu daerah yang memiliki riwayat sejarah peradaban manusia yang sangat lama dan tua. Irak dikenal dengan peradaban Mesopotamianya di masa silam. Peradaban tertua, seumuran Yunani, India, dan Cina. Irak di masa lalu adalah tempat yang intens disinggahi oleh banyak orang dari pelbagai daerah di luarnya dengan kultur budaya yang berbeda-beda.
Salah satu hal yang menonjol adalah intensitasnya berhubungan dengan peradaban Yunani yang terkenal dengan tradisi intelektualnya, seperti Plato, Aristoteles, Socrates, dan lainnya. Semua tokoh-tokoh ini, meskipun tidak secara langsung datang di Irak, namun pemikiran filsafat yang rasionalis mereka banyak disebarkan oleh murid-muridnya ke beberapa daerah, antara lain Irak sendiri.
Model tafsir bil ra’yi Ibnu Mas'ud lantas diteruskan oleh para muridnya, antara lain adalah ‘Alqamah bin Qais, Masruq, Al-Aswad bin Yazid, Murrah al-Hamdzani, ‘Amir al-Sya’bi, Al-Hasan al-Bashri, dan Qatadah bin Di’amah al-Sadusi. Mereka semua di kemudian hari menjadi icon para pemikir tafsir yang bergelut lebih hebat dengan para pemikir Muslim rasionalis di Irak, terutama di daerah Kuffah dan Bashrah.
Perkembangan tafsir Alquran sebenarnya sudah dimulai sejak masa Rasulullah SAW sendiri. Beliau menerima wahyu sekaligus menafsirkannya di hadapan para sahabat. Terkadang, tafsir Rasulullah SAW disampaikan secara langsung setelah menerima wahyu Alquran. Namun, terkadang, tafsir atas suatu ayat di sampaikan saat para sahabat bertanya hal yang belum mereka pahami.

Aisyah dan tafsir Alquran
Aisyah adalah salah seorang ahli tafsir yang terkenal selain sebagai istri Rasulullah SAW sendiri. Dalam kapasitasnya sebagai seorang istri, ia telah banyak menimba ilmu secara langsung dari Rasulullah SAW, terutama soal tafsir Alquran. Banyak para sahabat yang bertanya kepadanya soal tafsir terhadap satu ayat yang belum mereka ketahui. Ia menjadi rujukan utama, terkhusus tafsir terhadap ayat-ayat Alquran yang terkait dengan urusan keluarga/rumah tangga.
Aisyah lahir di Mekkah sekitar tahun ke-6 pasca diangkatnya Muhammad sebagai seorang Rasulullah SAW. Perkiraan ini dimungkinkan soalnya saat Rasulullah SAW melamarnya, Aisyah waktu itu baru berusia 6 tahun atau tepat 2 tahun pasca meninggalnya Siti Khadijah, istri pertama Rasulullah SAW, pada tahun ke-3 sebelum hijrah ke Madinah.
Aisyah mulai membangun rumah tangga bersama Rasulullah SAW pada bulan Syawwal atau awal bulan ke-18 dari hijrahnya beliau ke Madinah. Saat itu, Aisyah baru berusia sekitar 9 tahun. Dan, pada saat Rasulullah SAW wafat, usia Aisyah baru mencapai 18 tahun.
Aisyah adalah putri Abu Bakar al-Shiddiq bin Abu Quhafah Utsman bin ‘Amir bin ‘Amr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Tayim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay. Maka, silsilah nenek moyang Aisyah bertemu dengan silsilah nenek moyang Rasulullah SAW pada Murrah bin Ka’ab. Ia adalah keturunan Bani Tayim. Namun, Aisyah tumbuh berkembang dalam asuhan orang-orang dari Bani Makhzumiyah.
Ibu Aisyah adalah Ummu Rauman Zainab bintu Amir bin Uwaimir bin ‘Abd Syams bin ‘Itab bin Uzainah bin Dahman bin al-Harits bin Ghanam bin Malik bin Kinanah. Ummu Rauman ini adalah istri Abu Bakar pada masa jahiliyah. Pada masa yang sama, ada pula istri Abu Bakar yang lain, yaitu Qailah (Qatilah) bintu ‘Abd al-'Uzza bin ‘Abd Asad. Qailah ini adalah ibu dari dua orang anak bernama Abdullah dan Asma'. Namun, Qailah oleh Abu Bakar diceraikan, juga pada jahiliyah.
Aisyah meninggal dunia pada malam Selasa, bertepatan dengan hari ke-19 di bulan Ramadhan tahun 58 H. Jenazahnya dikebumikan pada malam hari di bulan itu juga. Semua orang telah kehilangan Aisyah istri tercantik Rasulullah SAW. Seorang yang selain cantik lahir dan batin, juga seorang yang cerdas dan luas pengetahuan agamanya karena didikan langsung Rasulullah SAW.
Sebagaimana lazimnya para sahabat yang pasca Rasulullah SAW meninggal dunia menjadi para ahli tafsir, Aisyah juga tidak ketinggalan ikut mewarnai perkembangan dan dengan model tafsir yang khas. Bahkan, saat Rasulullah SAW masih hiduppun, Aisyah sering menerima banyak pertanyaan seputar maksud ayat tertentu jika sang penanya enggan bertanya langsung kepada Rasulullah SAW karena alasan bahwa pertanyaannya itu terkait dengan urusan kewanitaan dan rumah tangga. Umumnya, para penanya adalah dari kaum hawa. Namun, beberapa orang sahabat yang laki-laki juga banyak yang mempertanyakan tafsir kepadanya, terutama pasca meninggalnya Rasulullah SAW.
Kemampuannya dalam bidang tafsir sudah tidak diragukan lagi, walau usianya relatif sangat muda. Urwah bin Zubair pernah berkata, “Tidak ada seorangpun yang ketahui lebih mengetahui tentang tafsir Alquran, masalah-masalah faraidh, dan masalah-masalah halal ataupun haram, selain Aisyah.” Ibnu Hazm, dalam kebanyakan pemikirannya juga lebih mendahulukan tafsir Aisyah dibandingkan dengan tafsir sahabat lainnya yang diriwayatkan pernah memberikan fatwa akan suatu hal.
Metode dan corak tafsir Aisyah secara umum tidak jauh berbeda dengan para sahabat lainnya, yaitu menggunakan tafsir bil ma'tsur. Abdullah Abu al-Su’ud Badr dalam karyanya, Tafsir Umm al-Mukminin Aisyah, mengungkapkan bahwa sumber tafsir Aisyah mencakup empat hal. Pertama, sunnah Rasulullah SAW. Kedua, Asbabunnuzul. Ketiga, gaya bahasa dan sastra. Dan, keempat, ijtihadnya sendiri.
Jika ditelusuri lebih jauh, tulis Abdullah Abu al-Su'ud Badr, ciri khas tafsir Aisyah lebih bertitik berat pada masalah-masalah fikih, terkhusus masalah fikih wanita dan masalah keluarga. Hal itu bisa terlihat dari beberapa pertanyaan yang diajukan oleh para sahabatnya kepadanya. Abu Hurairah, misalnya, diriwayatkan bertanya kepadanya soal perempuan yang sedang mandi junub namun rambutnya rontok (HR Ad-Darimi).
Abu Musa al-Asy’ari juga pernah bertanya soal laki-laki yang menggauli istrinya lalu sang suami itu merasa lemas tapi tidak sampai ejakulasi. Apakah hal itu juga menyebabkan mandi wajib (HR Malik). Pada kesempatan lain, ia juga pernah bertanya perihal yang mewajibkan mandi wajib: keluarnya sperma ataukah karena terjadinya percampuran antara sperma itu dengan ovum istri (HR Muslim).
Semua pertanyaan itu dijawab sesuai dengan yang ia dengar langsung dari Rasulullah SAW. Aisyah, pada kesempatan yang lain juga pernah menjawab pertanyaan seputar hubungan suami dengan istrinya yang sedang haid. Ia menyatakan bahwa seorang suami dilarang menggauli istrinya yang sedang haid hanya pada bagian kelaminnya saja. Sementara bagian selain itu, maka boleh saja (HR Malik, Ad-Darimi, dan ‘Abd al-Razzaq al-Shan’ani).
Demikianlah Aisyah. Seorang yang oleh Rasulullah SAW juluki sebagai ‘Duta Nabi yang pertama untuk dunia perempuan.’ Jumlah hadis yang ia riwayatkan ada sekitar 2.210 buah hadis, menurut perhitungan Ibnu Jauzi. Aisyah telah menunjukkan kepada kita semua bahwa status ‘perempuan’ bukanlah penghalang untuk menjadi seorang ahli tafsir Alquran terkemuka dengan corak dan modelnya yang khas. Sebuah khazanah peradaban pemikiran tafsir yang tidak bisa kita abaikan dan lupakan begitu saja. Wallahu a’lam.

Duta Masyarakat, Kamis 27 Oktober 2005

1 komentar:

idalisebaca mengatakan...

Casino Poker No Deposit Bonus Codes 2021
Casino 룰렛사이트 Poker No Deposit Bonus Codes 2021 · 1. El Dorado's Casino, $1000 사다리 사이트 no deposit bonus. · 2. Ignition Casino, $600 free chip bonus. · 3. Planet 7, $1000 바카라 사이트 주소 no 블루 벳 먹튀 deposit bonus. 포커 규칙