Sabtu, 18 Agustus 2007

Puasa, Kesalehan Individual dan Sosial

Ahad (24/9) lalu, segenap umat Islam di negeri ini memulai aktivitas ibadah berpuasa seiring dengan datangnya bulan suci Ramadhan 1427 H. Kepastian tibanya Ramadhan telah ditetapkan oleh Departemen Agama (Depag), melalui menterinya, Maftuh Basyuni, pada Jumat malam (22/09). Semua kalangan umat Islam, yang diwakili, antara lain, oleh organisasi-organisasi keislaman, seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, secara bulat menyepakatinya.
Ramadhan, bagi umat Islam adalah bulan yang penuh dan sarat dengan keistimewaan-keistimewaan yang bernilai “beda” dibandingkan dengan bulan-bulan selainnya. Beberapa hadis Rasulullah s.a.w. telah mengisyaratkan hal itu, antara lain bahwa pada bulan Ramadhan ini, siapa yang melakukan amal kebaikan pasti akan Allah SWT lipatgandakan pahalanya. Baik kebaikan itu yang langsung berkaitan dengan diri sendiri dan Allah SWT maupun yang berkaitan juga dengan orang lain.
Kesalehan individual
Dalam sebuah hadis, Rasulullah s.a.w. bersabda, “Pada bulan Ramadhan, setiap amal anak cucu Adam akan dilipatgandakan. Satu kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kebaikan yang sepadan hingga tujuh ratus kali lipat sesuai kehendak Allah. Allah lalu berkata, ‘Kecuali amal puasa. Karena, sesungguhnya, puasa itu adalah untuk-Ku. Dan, Aku sendiri yang akan membalasnya dengan nilai pahala yang jauh lebih besar lagi. Hal itu dikarenakan yang berpuasa telah meninggalkan segala keinginan syahwat dan makan hanya karena Aku.’” (HR Ibn Majah dari Abu Hurayrah)
Bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh berkah tercurah. Seperti air hujan lebat yang menumpah ruah ke atas permukaan bumi. Pada bulan ini, Allah SWT menjanjikan pahala yang berlipat-lipat kepada hamba-hamba-Nya yang melakukan amal-amal kebaikan, apapun bentuk dan caranya.
Nilai tambah kebaikan itu semakin Allah SWT tegaskan dalam beberapa ayat Al-Quran firman-Nya, “Barangsiapa yang melakukan amal kebaikan, maka niscaya ia akan dibalas dengan nilai kebaikan yang lebih besar dan baik daripada itu.” (QS al-Qashash [28]: 84) Juga, firman-Nya, “Barangsiapa yang beramal baik, maka ia akan mendapatkan pahala sepuluh kali lipatnya yang sepadan.” (QS al-An‘am [6]: 160)
Amal kebaikan tidak hanya terbatas pada masalah yang berkaitan dengan ibadah selain puasa, seperti salat, iktikaf, zikir, atau tadarus membaca Al-Quran saja. Akan tetapi, ia juga mencakup pada amalan-amalan yang terkait dengan sesama manusia, seperti sedekah, menolong kesulitan orang, dan lain sebagainya. Pendek kata, amal kebaikan apapun akan dibalas dengan yang jauh lebih baik.
Namun, tetap, ketulusan atau keikhlasanlah yang menjadi dasar diperolehnya pahala yang berlipat itu. Orang yang tidak tulus dalam berbuat kebaikan, amalnya akan menjadi sia-sia, tidak beroleh apa-apa. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya, mereka tidaklah diperintahkan oleh Allah selain agar beribadah kepada-Nya dengan tulus ikhlas.” (QS al-Bayyinah [98]: 5)
Puasa seseorang di bulan Ramadhan, lebih jelas oleh Rasulullah s.a.w. gambarkan akan sia-sia tanpa mendapatkan apa-apa selain rasa lapar dan dahaga semata. Beliau bersabda, “Betapa banyak orang yang berpuasa namun mereka tidak mendapatkan apa-apa selain dari rasa lapar dan dahaga semata.” (HR al-Bukhari-Muslim)
Semua itu terjadi, antara lain, karena puasanya tidak disertai dengan ketulusan alias atas dasar keterpaksaan. Atau, puasanya itu bukan karena Allah SWT, tapi karena motif-motif lain yang sifatnya duniawi. Bukan mengharap pahala Allah SWT, namun untuk mengharap keuntungan materi semata.
Selain itu, puasa yang dilakukan tidak disertai dengan upaya pengendalian diri dari perilaku-perilaku buruk. Berpuasa, tapi tetap menggunjing orang lain. Berpuasa, tapi tetap saja membuat orang lain di sekitarnya menderita tanpa mau sedikit pun mengulurkan tangan memberikan bantuannya. Padahal, puasa yang sesuai dengan petunjuk Rasulullah s.a.w. mengajarkan kepekaan yang tinggi terhadap orang lain.
Ramadhan adalah kesempatan emas bagi orang-orang beriman untuk menumpuk pahala dari Allah SWT semaksimal mungkin. Melewatkan Ramadhan tanpa hasil apapun adalah kerugian yang sangat besar nilainya. Allah SWT sudah mencurahkan janji-janji pahala yang tidak akan diingkari-Nya. Kita, sebagai hamba-Nya, sudah seharusnya menerima itu dengan suka cita dan semangat.
Kesalehan sosial
Puasa sejatinya bukan sekadar ajang peningkatan dalam ritus individual semata, melainkan juga ajang meningkatkan diri ke dalam ritus sosial atau hubungan manusia dengan sesamanya. Berkali-kali Rasulullah s.a.w. menyatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa terlepaskan dari kehidupan sesamanya. Manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa keterlibatan orang lain.
Bulan Ramadhan mendorong umat manusia untuk ikut berperan aktif menciptakan nilai-nilai positif atau kemaslahatan bagi kemanusiaan universal. Allah SWT berfirman, “Katakanlah kepada kaummu, ‘Beramallah kalian, maka Allah, rasul-Nya, dan orang-orang mukmin akan melihat semua amalanmu itu, kemudian kalian akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Maha mengetahui akan hal-hal gaib dan nyata. Lalu, pada saatnya nanti Allah memberitakan kepada kamu tentang segala apa yang telah kamu lakukan.’” (QS al-Tawbah [9]: 105)
Rasulullah s.a.w. bersabda, “Siapa yang membiasakan satu kebaikan dalam Islam, maka ia berhak mendapatkan pahala oleh karena sebab itu, dan pahala orang-orang yang melakukan kebaikan itu setelahnya, tanpa mengurangi pahala orang lain tersebut. Begitu juga bagi yang membiasakan satu keburukan dalam Islam, maka ia berhak mendapatkan dosa oleh karena sebab itu, dan dosa orang-orang yang melakukan perbuatan buruk itu setelahnya, tanpa mengurangi dosa orang lain tersebut.” (HR Muslim).
Manusia adalah makhluk berbudaya dan mampu mengembangkan kebudayaannya, hal ini terjadi karena mereka dilimpahi kemampuan akal yang optimal oleh Allah SWT. Dengan akal sehat, manusia sebenarnya mampu memilah-milah yang terbaik dari yang terburuk atau pula sebaliknya. Namun, karena terkadang manusia itu sombong dan angkuh, mereka sama sekali tidak mau mengikuti, bahkan mengingkari petunjuk akal sehatnya. Padahal, Allah SWT selalu memberikan berbagai macam petunjuk-Nya melalui akal dan para rasul-Nya, “Mereka diberi petunjuk kepada ucapan-ucapan yang baik dan ditunjuki (pula) kepada jalan (Allah) yang terpuji.” (QS al-Hajj [22]: 24).
Kebaikan yang diajarkan oleh seseorang pada orang lain, lalu orang tersebut melakukan kebaikan itu, sejatinya adalah melestarikan kebaikan. Kebaikan yang dilesatarikan akan memberikan satu nilai di sisi Allah SWT, karena sebab itu, dan karena sebab orang yang diwarisi ajaran kebaikan itu melakukan kebaikan tersebut. Dalam arti kata lain, ada mata rantai kebaikan yang diwariskan secara turun temurun. Inilah bentuk pembiasaan kebaikan sejati.
Membiasakan dan mewariskan ajaran kebaikan maupun keburukan memiliki nilai yang sama besarnya. Yang pertama menghasilkan pahala berlipat ganda karena sebab mewariskan kebaikan dan lalu kebaikan itu diteruskan oleh orang-orang setelahnya. Sedangkan yang kedua menghasilkan dosa berlipat ganda karena sebab mewariskan keburukan kepada orang lain dan orang lain itu melakukannya lagi. Kedua pembiasaan ini memiliki akibat dan hasil yang bertolak belakang.
Ramadhan merupakan momentum yang penting untuk membiasakan kebaikan dan mewariskan kebaikan itu kepada orang lain. Sebab, di samping mereka melakukan ibadah puasa sebagai amalan untuk pribadi, mereka juga dituntut mendakwahkan kebaikan-kebaikan itu pada orang lain. Inilah salah satu ciri orang beriman yang tidak merugi, yaitu orang-orang yang menasihati orang lain dalam hal kebaikan, “Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS al-‘Ashr [103]: 3) Wallahu a‘lam.

Duta Masyarakat, Selasa 26 September 2006

Tidak ada komentar: