Selasa, 14 Agustus 2007

Kearifan Menyikapi Paham Pluralisme

Perdebatan soal paham pluralisme masih terus menghangat, setidaknya, selama beberapa hari ke belakang, banyak media menyajikan tema soal pluralisme di rubrik Opini-nya. Perdebatan yang dipicu oleh fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan haramnya paham pluralisme, sekulerisme, dan liberalisme itu, memang berpotensi terus menghangat sebagai diskursus publik. Silang pendapat para pemikir keagamaan dalam tataran teoritis konseptual di satu sisi, dan dalam tataran praksis, publik juga merespon dengan nada yang berbeda, di sisi yang lain.
Persoalan pluralisme memang ‘layak’ diperdebatkan, baik pluralisme dalam tataran konseptual teoritis maupun pluralisme dalam tataran praksis atau kenyataan hidup umat beragama. Sebelum fatwa MUI keluar soal ini, wacana pluralisme sebetulnya sudah tumbuh seiring dengan merebaknya pemikiran liberalisme di Indonesia tahun 70-an. Nurcholish Madjid waktu itu yang menjadi ikon intelektualnya.
Wacana ini menjadi begitu penting dan krusial, karena terkait dengan hal penting dan sensitif, yaitu masalah teologis. Tidak semua umat beragama sepakat mengatakan bahwa ternyata ada kebenaran lain di luar agamanya. Ajaran kitab suci masing-masing agama selalu mengarahkan pemeluknya untuk meyakini bahwa hanya agama tersebut yang paling benar. Meskipun, dalam beberapa hal, dalam kitab suci masing-masing agama ada yang menyatakan secara tersirat adanya ‘jalan lain’ di luar agamanya, yang bisa jadi juga merupakan jalan yang absah untuk dilalui dalam prosesi menuju Tuhan.
Dari sisi teologispun sebetulnya masih banyak kontroversi dan silang pendapat. Dalam Islam, misalnya, ada beberapa ayat Alquran yang secara tekstual menyatakan bahwa pluralisme merupakan sesuatu yang sah, seperti, “Sesungguhnya, orang-orang yang beriman, Yahudi, Nashrani, dan Shabiun, siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat dan beramal baik, maka pahalanya ada pada sisi Allah. Tidak ada ketakutan dan tidak ada kesedihan pada diri mereka.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 62).
Di sisi yang lain, ayat Alquranpun menyatakan secara tegas bahwa pluralisme tertolak dengan sendirinya. Kebenaran hanya ada pada agama Islam. Sementara itu, tidak ada kebenaran di luar Islam, “Sesungguhnya agama yang paling diridhai di sisi Allah hanyalah agama Islam.” (Qs. Alu Imran [3]: 19).
Selain itu, ada juga ayat, “Siapa yang mencari selain Islam sebagai agamanya, maka agama itu tidak akan diterima oleh Allah. Di akhirat, ia termasuk ke dalam golongan orang-orang yang merugi.” (Qs. Alu Imran [3]: 85). Kedua model ayat di atas menurut masing-masing pihak yang pro maupun kontra soal pluralisme, menjadi justifikasi teologis.
Dengan kata lain, ada landasan konkret dalam kitab suci firman Tuhan sendiri. Konsekuensinya, kedudukan paham pluralisme adalah sama absahnya dengan kedudukan pahan anti-pluralisme. Dengan demikian, paham pluralisme sendiri sebetulnya tidak perlu dipersoalkan, apalagi dilarang. Pluralisme, salah satunya, adalah juga hasil dari pembacaan terhadap teks-teks suci.
Selain itu, pemahaman akan Tuhan itu sendiri juga masih berpotensi memunculkan diskursus yang panjang. Ibnu Arabi, misalnya, ketika mencoba memahami Tuhan, ia menemukan tiga hal penting. Pertama, Tuhan yang mutlak dalam ‘kesendirian.’ Tuhan dalam tingkatan ini tidak ada seorangpun yang dapat menjangkaunya. Hanya Dia sendiri yang tahu akan diri-Nya sendiri.
Kedua, Tuhan yang sudah tersifati. Misalnya ada sifat al-rahman, al-rahim, dan sebagainya. Teologi Asy’ariyah dalam tradisi pemikiran Islam, misalnya, mengatakan adanya 20 sifat yang ‘wajib’ bagi Tuhan dan 20 sifat yang ‘mustahil’ bagi-Nya. Ada pula yang menetapkan adanya 99 nama atau sifat (al-asma al-husna) bagi Tuhan. Dalam Kristen, paham trinitas dalam banyak hal juga terkait dengan sifat Tuhan yang mereka yakini. Dalam Hindu, banyaknya para ‘dewa’ juga merupakan representasi dari adanya sifat-sifat Tuhan seperti yang mereka yakini.
Dan, ketiga, Tuhan yang telah ‘bersemayam’ dalam akal pikiran manusia. Dalam tataran ini, masing-masing manusia akan berbicara tentang Tuhan sesuai dengan apa yang ia baca dalam akalnya. Ini berpotensi besar melahirkan aneka ragam bentuk dan pola penafsiran.
Tuhan yang dipahami oleh kalangan filsuf bisa jadi sangat berbeda dengan Tuhan yang dipahami oleh kalangan sufi ataupun ahli fikih. Itu semua merupakan hasil yang lahir dari sebab pergulatan pemikirannya ketika membaca teks-teks suci. Wacana pluralisme adalah salah satunya.
Pada hakikatnya, tidak ada satu manusiapun yang mampu memahami Tuhan dalam ‘realitas-Nya’ yang konkret dan hakiki secara utuh. Manusia hanya dapat mendekati Tuhan, akan tetapi tidak akan mampu menjangkau-Nya secara utuh.
Al-Ghazali mengistilahkannya dengan satu ungkapan yang sangat menarik, “Semakin aku mencoba mendekat untuk memahami Tuhan, semakin aku sadar kalau aku tidak mampu memahami-Nya.” Konsekuensi logisnya, setiap manusia sejatinya sedang menuju Tuhan. Tidak ada yang dapat memastikan jalan kebenaran yang pasti dan mutlak untuk menuju-Nya.
***
Masalah kebenaran agama adalah masalah keyakinan. Kalau sudah masuk dalam tataran ini, maka sebetulnya tidak ada seorangpun yang dapat memaksakan satu bentuk keyakinan tertentu terhadap keyakinan orang lain.
Walaupun para penganut agamanya mencoba merasionalisasikan agamanya, namun pada akhirnya akan pada satu kesimpulan bahwa agama adalah masalah keyakinan. Adanya agama-agama yang berbeda di penjuru muka bumi ini merupakan kata lain bahwa keyakinan manusia sejatinya memang berbeda-beda.
Pada hemat penulis, wacana pluralisme yang kembali menghangat saat sekarang ini sudah selayaknya disikapi dengan arif dan bijaksana oleh siapa pun. Karena, sama halnya dengan wacana-wacana yang lainnya, pluralisme juga berpotensi akan ‘tergantikan’ dengan wacana-wacana lain yang lebih ‘aktual.’
Sudah cukup, agama dijadikan sebagai keyakinan diri terdalam setiap individu yang meyakini keberadaan Tuhan yang takan bisa terjangkau secara utuh. Anggapan tentang adanya kebenaran yang juga ada pada agama-agama yang lain, oleh karena itu, tidak saja layak dihormati, namun juga mesti diapresiasi dalam bentuk kerja sama yang konkret dan bernilai positif bagi umat manusia secara menyeluruh.
Sisi positif paham pluralisme jangan sampai terlupakan. Paham pluralisme, hingga saat sekarang ini, cenderung dilihat dari sisi teoritis konseptual semata. Maka, wacana yang berkembang kurang melihat realitas yang berimbas dari paham pluralisme itu sendiri. Pluralisme, dari segi positifnya, jelas menawarkan adanya toleransi yang tinggi pada setiap umat beragama. Masing-masing mereka akan menghormati agama lain.
Pluralisme agama juga memberikan nilai-nilai positifnya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Pluralisme jelas mengakomodir pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Dalam negara demokrasi yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, hak dan kebebasan beragama, diberikan tempat yang sangat luas.
Maka, dalam konteks ini, paham pluralisme agama hendaknya tidak disikapi dengan model berpikir yang arogan dan otoriter. Arif dan bijaksana adalah kata akhir untuk paham apa pun, termasuk paham pluralisme itu sendiri. Wallahu a’lam

Jaringan Islam Liberal (JIL), Minggu 28 Agustus 2005

Tidak ada komentar: