Sabtu, 18 Agustus 2007

Popularitas SBY-JK

Tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) anjlok dari 80 persen dua setengah tahun lalu, menjadi 49,7 persen tahun ini. Hasil survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) terhadap 1.238 sampel yang tersebar di 33 provinsi secara proporsional sesuai dengan jumlah penduduk itu menunjukkan tingkat kepuasan publik terendah terhadap kinerja SBY-JK sejak dua setengah tahun lalu. Survei ini sekaligus menunjukkan, untuk pertama kalinya popularitas SBY-JK menurun hingga di bawah 50 persen (Duta Masyarakat, 28/3).
Peringatan Keras
Hasil survei terbaru itu tentunya menjadi peringatan keras buat duet SBY-JK jika ingin tetap eksis mendapat kepercayaan rakyat, terutama pada pemilu 2009 nanti. Meski hasil survei sifatnya fluktuatif, tergantung kondisi pada saat survei dilakukan, survei merupakan petunjuk betapa SBY-JK, simbol pemerintahan saat ini, berada dalam titik-titik yang kurang menguntungkan, kalau tidak malah berada di tepian jurang kemerosotan popularitas.
Artinya, rakyat memang mulai sedikit demi sedikit “meninggalkan” keduanya, dan beralih pada sosok-sosok atau partai-partai lain yang memungkinkan bisa melakukan perubahan yang signifikan dirasakan oleh publik nantinya. Dan, pilihan politik yang realistis untuk itu adalah dengan memberikan dukungan pada “lawan” politik SBY-JK (oposisi). Tidak heran, seperti yang juga disurvei oleh LSI, dukungan publik terhadap Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan meningkat hingga 19,7 persen, disusul Partai Golongan Karya (15 persen), dan Partai Demokrat (10,4 persen).
Peringatan keras ini mesti dicermati SBY-JK, terutama jika kinerjanya makin memburuk. Tiada kata lain selain segera melakukan perubahan-perubahan yang signifikan dalam waktu cepat. Salah satu perubahan nyata itu bisa dilakukan melalui reshuffle kabinet. Sebab, mesti diakui, para pembantu presiden itu adalah tangan-tangan kepanjangan yang mengimplementasikan apa yang dimaui presiden. Publik melihat bahwa kondisi perubahan tidak kunjung tampak akibat kerja dan kinerja pembantu-pembantunya yang belum maksimal.
Reshuffle adalah cara jangka pendek untuk meningkatkan lagi popularitas SBY-JK. Dan, itu mudah dilakukan, terutama karena presiden punya hak untuk itu dan saat ini kencang berembus tuntutan dari berbagai pihak agar presiden me-reshuffle kabinetnya. Sayangnya, presiden hingga saat ini belum melakukannya. Presiden masih terlalu kuat melakukan kalkulasi politik untuk mengamankan dukungan parlemen saat ini, dan ke depan. Pernyataan presiden, “I don’t care my popularity,” yang dulu diterjemahkan sebagai demi dukungan rakyat popularitasnya rela turun di mata dukungan politisi, kini mungkin bisa menjadi sebaliknya, yakni demi dukungan politisi popularitasnya rela turun di mata dukungan rakyat. Dan, ini sedikit banyak telah terbukti. Survei LSI kali ini setidaknya memberi sinyal ke arah itu.
Seharusnya, sistem politik pemilu presiden dan wakilnya saat ini yang langsung melibatkan rakyatnya, betul-betul dimanfaatkan oleh SBY-JK. Mereka adalah pilihan rakyat, meski diajukan oleh partai-partai politik. Idealnya, memang dukungan rakyat dan partai-partai politik secara sinergis terjadi. Tetapi, dalam realitas, kepentingan partai-partai politik di parlemen sering berbeda dengan keinginan rakyat, padahal sejatinya partai-partai itu adalah penjelmaan dari rakyat di parlemen untuk menyuarakan aspirasi kepada pemerintah.
Kini, semuanya berada di tangan SBY-JK. Lebih baik populer di mata rakyat atau di mata politisi?
Komitmen Perubahan
Peringatan keras publik yang tercermin dari hasil survei itu, dalam kata lain merupakan gambaran nyata tuntutan publik terhadap komitmen SBY-JK untuk melakukan perubahan. Perubahan yang, meski itu mengubah peta konfigurasi politik para politisi, betul-betul dirasakan oleh rakyat. Jika perubahan yang terjadi justru adalah perubahan yang makin membuat rakyat hidup sulit, tentu bukan perubahan yang diinginkan.
Rakyat jelas menginginkan harga beras turun, harga BBM murah, pendidikan murah —bahkan gratis—, tersedianya lapangan pekerjaan yang luas, akses dan pelayanan kesehatan yang mudah dan terjangkau, tergeraknya sektor riil ekonomi rakyat, adanya sarana dan prasarana ekonomi yang memadai, dan terberantasnya praktik-praktik KKN. Hal-hal itu ternyata hingga kini masih dianggap belum memuaskan, meski kerja pemerintah cukup keras.
Ini menjadi tantangan kuat bagi SBY-JK jika ingin kembali meraup dukungan rakyat. SBY-JK tentu saja memiliki konsep-konsep untuk melakukan perubahan sebagai wujud komitmennya. Tetapi, konsep-konsep perubahan itu tidak sekadar konsep yang mengawang-awang di alam idea, meminjam istilah Aristoteles. Ia mesti menjadi praksis gerak nyata yang nyata pula perubahan dan dampaknya bagi rakyat. Jika tidak, SBY-JK berarti tengah menggali jurang popularitas yang mengkhawatirkan, hal yang tentunya tidak diinginkan keduanya.[]

Duta Masyarakat, Selasa 30 April 2007

Tidak ada komentar: