Selasa, 14 Agustus 2007

Membangun Solidaritas Antarumat Beragama

Beberapa hari ke belakang, kita disuguhui isu-isu krusial menyangkut soal hubungan antarumat beragama, terkhusus umat Islam dan Kristen. Isu-isu yang santer terdengar itu adalah isu soal penutupan, pembakaran, dan pengrusakan beberapa tempat ibadah umat Kristiani di daerah-daerah seperti Bandung, Karawang, Cimahi, dan Purwakarta, oleh massa.
Adalah Andreas A. Yewangi, Ketua Umum Persatuan Gereja seluruh Indonesia (PGI) yang melaporkan adanya penutupan sejumlah gereja yang terjadi di sejumlah tempat Jawa Barat, kepada presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada tanggal 23 Agustus 2005 lalu.
Akan tetapi, dalam perkembangannya, isu-isu yang sempat memanas itu di-clear-kan oleh pihak Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), Jenderal Polisi Sutanto, berdasarkan laporan dari Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Barat pada tanggal 24 Agustus 2005, atau sehari setelah adanya laporan dari pihak PGI.
Kapolri, dalam rapat kerja (raker) dengan komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di gedung DPR Jakarta, menjelaskan bahwa yang ditutup sebetulnya bukanlah gereja, melainkan tempat-tempat tinggal, ruko, atau gedung pertemuan yang dijadikan sebagai tempat ibadah.
Selain itu, lanjutnya, tempat-tempat itu belum mendapat izin dari masyarakat setempat. Hal ini tentu saja dianggap bertentangan dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan Menteri Agama (Menag) yang menyatakan, salah satunya, bahwa pendirian tempat-tempat ibadah harus mendapat izin masyarakat sekitarnya.

Titik sensitif-krusial
Walaupun isu soal penutupan, pengrusakan, dan pembakaran sejumlah tempat ibadah umat Kristen di Jawa Barat sudah diaggap clear dan tidak perlu ditindaklanjuti dalam bentuk 'pembalasan dendam' di tempat-tempat lain, namun isu-isu tersebut semakin menegaskan betapa persoalan hubungan antarumat beragama di negeri ini masih rentan dengan cukup mengkhawatirkan.
Tempat ibadah adalah simbol utama dan istimewa semua agama. Tempat ibadah adalah tempat yang dianggap 'sakral' untuk dijamah dan ditempati oleh siapa pun. Maka, mengusik-usik tempat ibadah agama tertentu berpotensi besar dapat menyulut konflik antarumatnya. Maka, mengupayakan perlindungan terhadap tempat-tempat ibadah adalah persoalan yang cukup urgen.
SKB yang ditandatangani oleh dua kementrian berbeda, Mendagri dan Menag, merupakan satu bentuk terobosan yang cukup menggembirakan. Dengan lahirnya SKB tersebut, semua umat beragama di Indonesia, tanpa kecuali, diberikan kesempatan yang sama untuk merepresentasikan keyakinan agamanya. Salah satunya antara lain mendirikan tempat-tempat atau segala fasilitas keagamaan.
Namun, ada sejumlah kekhawatiran yang merebak terkait dengan SKB tersebut, yaitu item yang berisikan soal perizinan pendirian tempat ibadah. Secara garis besar, butir dalam SKB itu menyatakan bahwa usaha pendirian tempat ibadah harus mendapatkan izin dari warga masyarakat sekitarnya. Oleh banyak kalangan, terkhusus umat agama yang minoritas, dianggap berpotensi menyulitkan.
Umat Islam yang notabenenya menjadi mayoritas di negeri ini dianggap kurang toleran dan cenderung mempersulit izin pendirian tempat ibadah agama lain. Oleh karenanya, sementara pihak mengusulkan agar SKB kembali ditinjau, kalau perlu dilakukan perubahan-perubahan atau dicabut sama sekali agar pihak-pihak terkait tidak ada yang merasa dipersulit oleh pihak yang lainnya.
Presiden SBY, terkait persoalan SKB, hanya berpesan agar SKB itu tidak buru-buru dicabut. Karena, pada hakikatnya, SKB tersebut maksudnya baik. SKB itu harus dilihat kembali kandungannya atau persyaratan yang ada karena masyarakat memang telah jauh berubah dan berkembang. Selain itu, SBY juga menegaskan kepada semua pihak untuk tidak mengambil jalan anarkhis dalam mempersoalkan segala sesuatu.
Terhadap sejumlah kejadian yang tejadi menyangkut kegiatan ibadah umat Kristiani yang merasa tidak tenang atau dipersulit, SBY meminta semua pihak terutama Menag dan para tokoh agama untuk mencarikan solusi yang tepat sesuai dengan koridor jaminan kebebasan beragama terkhusus beribadah dalam Undang-Undang Dasar (UUD). Indonesia adalah negara majemuk. Untuk itu, diperlukan harmoni dan toleransi yang tinggi antarumat agama di dalamnya, tegas SBY.

Membangun solidaritas
Agama adalah soal keyakinan masing-masing individu pemeluknya. Karena itu, seseorang harus dihormati dan dihargai, tidak boleh dipaksa atau ditekan sedemikian rupa sehingga keyakinannya berubah. Persoalan keyakinan adalah persoalan yang sangat internal sifatnya. Karena itu, hemat penulis, mengutak-atik keyakinan orang lain bukanlah langkah yang efektif dan bernilai positif. Justru dampak negatif yang berpotensi muncul ke permukaan.
Keragaman adalah sebuah keniscayaan yang tak terpungkiri siapa pun. Memungkirinya sama halnya dengan tidak mengakui kenyataan. Karena itu, sebetulnya, langkah-langkah yang mesti dilakukan bukanlah pada tataran bagaimana ‘memutuskan’ pandangan lain, tapi bagaimana menyikapi pandangan-pandangan lain secara adil, arif, dan bijaksana.
Agama, selain persoalan keyakinan, adalah juga soal cara pandang manusia yang mencoba memahami Tuhan-nya. Cara pandang yang berbeda sudah barang tentu akan menghasilkan langkah yang berbeda pula. Dan, untuk itu, perlu kearifan yang tinggi dari masing-masing pihak yang berbeda.
Dalam konteks hubungan antar sesama yang diikat oleh persamaan dalam sisi kemanusiaannya, persoalan perbedaan agama hendaknya tidak ditempatkan dalam garis utama, karena itu justru berpotensi menyulut konflik. Solidaritas adalah kata akhir bagi terciptanya hubungan yang harmonis antar sesama manusia tanpa memandang perbedaan yang ada, baik itu perbedaan agama, budaya, dan ras suku bangsa.
Harmonisasi oleh karena itu mestilah menjadi cita-cita bersama semua umat beragama. Harmonisasi itulah yang membuat sembilan planet dalam gugus galaksi bima sakti ini ber-revolusi mengitari matahari secara teratur, meskipun masing-masing planet itu berbeda ukurannya. Senar-senar gitar yang berbeda juga akan menghasilkan nada yang indah jika dipetik. Keberbedaan itu akan semakin jauh membawa maslahat jika diharmonisasikan dalam konteksnya masing-masing.
Hemat penulis, ada beberapa hal yang mesti dilakukan guna membangun solidaritas antarumat beragama. Pertama, mengesampingkan perbedaan-perbedaan yang ada dan lebih memunculkan sisi-sisi persamaannya. Kedua, menjadikan sisi kemanusiaan universal sebagai tali yang mengikat manusia. Ketiga, terus-menerus mengupayakan dialog keterbukaan dari masing-masing pihak. Dan, keempat, terus-menerus mengupayakan berbagai bentuk kerjasama yang efektif dan maslahat bagi semua.

Koran Tempo, Rabu 14 September 2005

Tidak ada komentar: