Selasa, 21 Agustus 2007

Wacana Islam: Pergumulan Pemikiran dan Realitas

Berbicara tentang wacana Islam, tidak pernah menemukan titik final yang benar-benar mutlak sempurna. Islam saat ini, bahkan sejak dahulu kala, tidak saja dipandang sebagai suatu agama—sama dengan agama-agama sebelumnya seperti Yahudi, Nasrani, Hindu, dan lainnya yang telah terlebih dahulu eksis dengan sekumpulan doktrin-doktrin yang dianggap sakral—tetapi juga dipandang sebagai agama yang juga telah menyejarah, mengafiliasikan dirinya menjadi bagian integral dengan sejarah panjang peradaban umat manusia di dunia. Dan, oleh karena itu, pergumulan pemikiran tentang Islam dengan realitas budaya lokal di setiap tempat dan waktu sudah barang pasti melahirkan ragam dan corak-corak pemikiran yang khas pula.
Perkembangan ini semakin terlihat jelas warnanya dengan munculnya aneka ragam mazhab pemikiran, seperti Sunni dan Syiah (untuk menyebut sebagian mazhab/aliran pemikiran besar dalam sejarah Islam yang hingga saat sekarang ini masih eksis dengan pengikutnya yang cukup besar), yang memiliki corak penafsiran Islam dengan paradigma yang berbeda-beda. Bahkan, domain tafsir atas Islam itu sendiri pun secara perlahan mulai merambah ranah lain di luarnya.
Berbagai macam penaklukan kaum Muslimin (futuhat al-Islamiyyah) pasca meninggalnya Rasulullah SAW terhadap negeri-negeri di luar Semenanjung Arabia, seperti ke Afrika, Asia, hingga sebagian Eropa Barat, oleh para penguasa Islam telah ikut membantu dan turut serta dalam 'membidani' terjadinya arus percepatan asimilasi pemikiran lebih maju tentang Islam.
Walaupun, ada banyak kalangan juga yang rupanya masih teguh memegang tradisi pemikiran Islam sesuai dengan cetak biru pada masa-masa awal Islam (masa ini biasa disebut sebagai masa salafi). Islam, dalam perkembangannya lebih jauh, semakin memperoleh legitimasi kekuatan ketika ia menjadi sebuah spirit dalam memahami konteks. Perubahan-perubahan yang sangat signifikan dan begitu cepatnya, yang dialami oleh umat Islam menuntut dipahaminya kembali Islam.
Islam, dalam rentang sejarahnya yang cukup panjang, terhitung sejak Nabi Muhammad ‘mendeklarasikannya’ pada seluruh umat manusia di seantero Jazirah Arab, terkhusus di Mekkah dan di Madinah, telah melahirkan aneka ragam corak bentuk dan pola-pola hidup umatnya lebih heterogen.
Hal ini dimungkinkan, karena memang, Islam, sejatinya tidak sekedar doktrin sakral, kaku dan rigid seperti yang banyak dipahami oleh sebagian kaum Muslim, akan tetapi ia adalah juga cara pandang dan pola pikir yang selalu hidup, berjalan beriringan dengan dinamisme kehidupan yang selalu berkembang dan berubah.
Islam menjadi wacana tanpa batas, yang saling mempertemukan antara doktrin ajaran yang dikandungnya, dengan realitas yang dihadapi oleh umatnya di setiap kurun waktu dan tempat secara lebih kontekstual dengan pendekatan lebih humanis.
Hal ini juga didorong oleh kenyataan yang selalu menyertai perjalanan doktrin Islam, yaitu peranan para penafsir dan apa yang ditafsirkan, atau antara pemilik autoritas dengan pemikiran-pemikiran interpretatif orientatif yang dimilikinya.
Zaman awal Islam disebut-sebut sebagai gambaran ideal dengan sosok Nabi Muhammad SAW yang kharismatik dan sangat berwibawa, sehingga menjadi tolok ukur tersendiri oleh sebagian besar kalangan umat Islam. Maka, Islam di manapun dan kapanpun itu mesti sesuai dengan cetak biru yang telah Nabi SAW apresiasikan di masa lalu. Pemikiran model ini misalnya, umumnya banyak dianut oleh kalangan Sunni.
Pada umumnya, mereka berpendapat bahwa Islam adalah satu kesatuan utuh dan abadi. Sehingga, tidak memerlukan dan (kalau perlu) tidak memberikan peluang bagi perubahan-perubahan baru untuk dikontekskan dengan keadaaan saat ini. Para ulama otoritatif memegang kendali penafsiran Islam dengan syarat-syarat tertentu. Hal yang sama juga ditemui dalam sebagian besar tradisi pemikiran Syiah. Mereka menempatkan sosok Imam sebagai sosok otoritatif yang memiliki hak prerogatif untuk menafsirkan Islam.
Pergulatan pemikiran dan realitasnya itulah yang dengan sangat mengagumkan digambaran oleh salah seorang pakar Islam dari Barat yang cukup populer karena kajian-kajian serius dan kritisnya, namun tetap objektif bahkan simpatik, John L. Esposito, seorang Ahli Islam dan juga Guru Besar Agama dan Hubungan Internasional Georgetown, AS, dalam bukunya, Islam: The Straigt Path, yang diterjemahkan dalam versi Indonesia dengan judul Islam Warna Warni, Ragam Ekpsresi Menuju “Jalan Lurus” (al-Shirât al-Mustaqîm), oleh Arif Matuhin, Dosen IAIN Sunan Kali Jaga Yogyakarta, dan diterbitkan oleh Paramadina.
Buku ini memaparkan rentangan sejarah Islam yang dimulai sejak Nabi Muhammad hingga zaman modern Islam. Secara gamblang, Islam di dalam pandangan John L. Esposito dalam buku ini, lebih merupakan kekayaan pemikiran umat Islam ketika mereka mencoba mendekati doktrin-doktrin ajarannya lebih dinamis.
Melalui buku ini, Esposito sekali lagi menegaskan bahwa Islam, yang saat ini masih menjadi umat terbesar kedua atau ketiga di dunia ini, tidaklah homogen, akan tetapi telah berkembang dengan sangat pesat, menguasai banyak kantong-kantong strategis di banyak negara, bahkan di Barat sendiri.
Karena itu, menurutnya, Islam tidaklah representasi mutlak Arab, tempat lahirnya. Akan tetapi Islam telah menjelma menjadi satu gaya hidup dan pola pikir dalam menyikapi realitasnya. Lebih jauh lagi, apresiasi umat Islam pada momen-momen tertentu di tempat-tempat tertentu, tidak merupakan apresiasi umat Islam secara internasional.
Adanya jaringan terorisme yang mengatasnamakan Islam dengan simbol-simbol yang dibawanya, sejatinya bukan cetak biru umat Islam secara umum. Itu hanya sebagian kecil dari kaum militan Islam yang melakukannya. Penghancuran dua gedung kembar World Trade Center (WTC) pada 11 September 2001, yang menewaskan ribuan manusia sebagai tindakan terorisme terbesar yang kemudian secara massif tudingan itu dialamatkan kepada semua kalangan umat Islam, sangatlah tidak tepat. Mereka hanyalah sempalan kecil yang mengatasnamakan Islam dan sama sekali tidak mencitrakan Islam secara keseluruhan.
Buku ini cukup representatif dikaji lebih jauh, dan dapat menjadi bahan kajian untuk melihat perilaku umat Islam dewasa ini. Apa sebetulnya yang dapat dilakukan oleh umat Islam dalam menyikapi berbagai macam ragam tuduhan yang dialamatkan pada mereka.
Sekaligus menjadi bahan renungan internal, dengan melihat perjalanan sejarah umat Islam di masa lalu. Bagaimana beragamnya corak dan pola pikir umat Islam, ketika menanggapi realitasnya. Ini adalah pelajaran paling berharga untuk menerima keragaman sebagai sebuah kekayaan, bukan bencana, apalagi penyebab turunnya musibah Tuhan.
Sejarah Islam dan umat Islam adalah deskripsi dari pergumulan-pergumulan antara realitas dengan interpretasi. Realitasnya yang tunggal di masing-masing lokal, namun interpretasi, lengkap dengan keragaman pola pikir dan horison sang penafsir masing-masing, akan melahirkan penafsiran yang lain dan beragam pula. Keragaman untuk menuju satu jalan dan satu tujuan hidup: kebahagiaan di dunia dan akhirat, itulah keistimewaan umat Islam yang digambarkan oleh John L. Esposito dalam karyanya ini.
Sebagai wacana tanpa batas yang terus-menerus dipahami dengan perspektifnya masing-masing, Islam sesungguhnya semakin ingin meneguhkan sebagai ajaran yang terbuka untuk dibaca oleh siapa pun. Justru dengan keterbukaan yang Islam berikan, akan semakin membuka jengkal demi jengkal jantung ajaran Islam sebagai benar-benar ajaran Tuhan yang hakiki kebenarannya tanpa perlu lagi dilakukan pemaksaan terhadap orang lain untuk mengakui kebenaran Islam.
Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa Islam adalah ajaran Tuhan untuk umat manusia seluruhnya, bahkan bagi alam semesta. Maka, doktrin-doktrin ajaran Islam tidak akan pernah ‘meninggalkan’ ranah manusia dan kemanusiaan. Islam akan selalu melekat dengan sisi-sisi humanis, karena memang untuk manusialah ajaran Islam itu sendiri.
Pergulatan pemikiran Islam dengan realitasnya yang heterogen dengan demikian tidak akan pernah selesai sampai akhir zaman. Selama realitas umat manusia menyuguhkan perubahan-perubahan dan perkembangannya yang signifikan, Islam dan tafsir atasnya akan selalu menjadi bagian tak terpisahkan dari itu semua. Wallahu a’lam.

Duta Masyarakat, Rabu 30 November 2005

Tidak ada komentar: