Sabtu, 18 Agustus 2007

Perlukah Militerisme Hadapi Separatisme?

Aktivis gerakan separatis Republik Maluku Selatan (RMS) yang menyamar sebagai penari cakalele menyusup ke lingkaran satu pengamanan Presiden RI di lapangan Merdeka dan mencoba membentangkan bendera RMS dalam peringatan Hari Keluarga Nasional ke-14 di Ambon, Jumat (29/6).
Kejadian itu cukup mengejutkan semua pihak. Presiden tidak mengira acara itu bakal “terganggu” oleh gerakan separatis. Meski tidak terlalu membahayakan, kejadian itu mesti dicermati bersama jika dikaitkan dengan bagaimana negara mengelola dan mengatasi gerakan separatisme.
Lolosnya aktivis gerakan separatis itu merupakan sinyalemen kuat betapa negara masih belum berhasil mengatasi gerakan separatis secara menyeluruh.

Ekistensi separatisme

Dari interogasi aparat terungkap tujuan penyusupan para aktivis pro-RMS adalah untuk menunjukkan bahwa eksistensi gerakan separatis RMS masih ada. Meski yang “menyusup” jumlahnya cukup sedikit dan secara kalkulasi politis tidak terlalu berbahaya, tetapi jika dibiarkan begitu saja tanpa penyelesaian yang tuntas menjadi potensi tumbuh berkembang dan kian menguatnya akan terbuka lebar. Negara harus melakukan langkah-langkah serius untuk menyelesaikan persoalan separatisme sebelum menjadi bom waktu.
Beberapa aktivis gerakan pro-RMS bukan kali ini mengibarkan benderanya. Pada 25 April 2001, Pimpinan Eksekutif Forum Kedaulatan Maluku (FKM) Dr Alexander Hendriks Manuputty, memelopori pengibaran bendera RMS pada peringatan ulang tahun proklamasi RMS di Ambon.
Pada 25 April 2003 sekitar 60 orang ditahan aparat keamanan di Ambon karena mengibarkan bendera RMS yang diberi nama “Benang Raja.” Rentetan kejadian di atas mengisyaratkan, gerakan separatisme itu masih eksis meski dalam jumlah pengikut yang terbilang sedikit. Dan, negara, sejauh ini, hanya mampu menyelesaikan persoalan separatisme di permukaan dengan menangkapi dan menghukum para aktivis. Negara belum mampu menyentuh pada persoalan inti yang menyebabkan masih eksisnya gerakan-gerakan separatisme.
Apa sebetulnya persoalan inti dari masih eksisnya gerakan-gerakan separatis di negeri ini? Masalahnya cukup klasik, yakni tingkat kesejahteraan yang kurang terperhatikan secara maksimal oleh negara di pusat.
Umumnya, gerakan-gerakan separatis berada di wilayah Timur Indonesia (Papua dan Maluku). Sayangnya, model pendekatan dalam penyelesaian atas separatisme masih menggunakan politik represif dan kekuatan militer. Simak misalnya, setiap tahun pada hari-hari ulang tahun RMS aparat harus berjaga-jaga mengantisipasi berkibarnya bendera RMS. Dan, ketika terjadi letupan kecil seperti bom dan kerusuhan yang ditimbulkan oleh gerakan-gerakan itu, negara langsung menerjunkan aparat militer.
Tindakan menurunkan militer di satu sisi memang perlu, tetapi lebih penting daripada itu adalah mencoba menggunakan cara-cara yang lebih humanis. Pendekatan militeristik dalam menyelesaikan berbagai gerakan separatis hanya akan memperpanjang daftar persoalan baru sekaligus menunjukkan solusi yang buruk dalam model penyelesaian masalah. Aceh, sebelum akhirnya sepakat mengakhiri konflik, adalah pengalaman buruk model penyelesaian separatisme yang mengedepankan politik militeristik.
Sudah saatnya, kejadian di Ambon menjadi peringatan keras buat negara untuk mengevaluasi diri secara total. RMS, OPM, atau yang lainnya, tetap eksis karena tidak percaya pada negara RI berdaulat yang tidak memerhatikan nasib mereka. Mereka masih saja dianggap sebagai musuh perang yang harus pula diperangi melalui jalur militer. Saat kesejahteraan yang mereka impikan dijawab dengan terjunnya puluhan tentara, mereka merasa bahwa diri mereka tidak lebih sebagai “pemberontak yang hendak memisahkan diri.” Padahal, yang mereka juga adalah bagian dari warga yang menuntut hak-hak kesejahteraan sama seperti di wilayah lain di Indonesia.
Pendekatan humanis mutlak harus dikedepankan dan militerisme harus sedikit demi sedikit dikurangi. Wilayah timur Indonesia dikenal sebagai wilayah dengan potensi sumber daya alam yang luar biasa. Sayangnya, pengelolaan dan eksplorasi yang dilakukan negara tidak berimbas pada meningkatnya kesejahteraan warganya. Alih-alih tidak meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar, lingkungan semakin rusak. Sementara itu, di wilayah Maluku, masyarakat yang semakin kurang terperhatikan rentan tergiur oleh ajakan gerakan separatis untuk memisahkan diri. Masyarakat yang labil itu juga rentan tersulut bara konflik sosial.
Tidak cukup efektif hanya dengan menangkapi para pimpinan dan aktivis gerakan-gerakan separatis selama persoalan kesejahteraan masih menjadi sebatas retorika-retorika negara. Tahun demi tahun ke depan, potensi berkibarnya bendera-bendera RMS atau OPM, tetap cukup besar. Sebelum terlambat, negara harus segera memberikan perhatian yang lebih dengan meningkatkan kesejahteraan warga di wilayah-wilayah itu. Jika tidak, wilayah timur itu akan menjadi lahan subur bersemainya benih-benih separatisme yang mungkin kemudian akan dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk menggerus satu demi satu kedaulatan NKRI.

(Media Indonesia, Selasa 3 Juli 2007)

Tidak ada komentar: