Minggu, 12 Agustus 2007

Dalam Jerat Korupsi

Korupsi di negeri ini seakan sudah menjadi bumbu pelezat yang setiap hari disajikan di hadapan kita. Persoalan yang satu ini, selain menyeret kita untuk terus-menerus mengumandangkan suara-suara perlawanan terhadapnya, juga telah menyeret bangsa ini pada titiknya yang paling parah. Bangsa ini secara perlahan-lahan menuju titik kejatuhan dan tinggal menunggu waktu, jika tidak secepatnya diselesaikan.
Tuntutan agar kejahatan korupsi diberantas sebetulnya sudah lama mencuat, terutama sejak rezim Soeharto dipaksa turun oleh gerakan reformasi pada pertengahan 1998 dan gemanya semakin hari semakin menguat. Tetapi banyak orang yang justru makin kecewa, lalu memberikan kesimpulan bahwa suara itu benar-benar hanya menjadi gema, menjadi sekadar bunyi-bunyian yang tidak memberikan kekuatan penekan yang signifikan hingga kini.
Korupsi bukan hilang, tetapi justru makin merata, makin meluas, dan seperti mendapatkan justifikasi politis, serta dilakukan beramai-ramai. Hal ini seiring dengan tidak adanya tindakan yang melahirkan efek jera terhadap para koruptor (bahkan yang sudah terbukti di pengadilan) di eksekutif, yudikatif, maupun legislatif. Sementara itu, negeri kita dikenal sebagai negeri yang religius. Apakah ini berarti bahwa korupsi lantas teridentifikasi menyebarluas dan sulit diberantas di negeri seperti ini?
Kalau tidak identik, lantas apa akar sesungguhnya dari makin merebak dan mengurat nadinya budaya korupsi ini? Atau, apa yang para koruptor inginkan dari upaya memperkaya diri sendiri melalui korupsi? Apakah manusia saat ini telah berubah menjadi manusia-manusia buta nurani yang menyebarkan penderitaan demi penderitaan di mana-mana? Kenapa para koruptor seolah tidak merasa berdosa dengan harta yang mereka curi?
Persoalan korupsi memang cukup pelik. Bukan sekadar dalam tataran praktiknya yang makin tidak kelihatan aksinya, karena saking rapihnya. Bukan pula pada tingkat pemberantasannya yang efek jeranya tak kunjung tampak. Tapi, salah satunya, karena penafsiran dari tindak korupsi itu sendiri yang kadang-kadang membuat para koruptor dapat saja mengelak dari tuntutan secara hukum maupun moral.
Bisa saja, setiap orang punya pengertian yang berbeda-beda tentang korupsi, tergantung pada latar belakang, serta kepentingannya. Seorang dosen akan berbeda dengan seorang jaksa. Demikian pula seorang petani, berbeda pula dalam memahami korupsi.
Korupsi sendiri, berasal dari kata asing yakni, corrumpere, yang berarti bersama-sama menjebol, dan mencuri. Atau yang dalam bahasa Inggrisnya, corrupt, yaitu, menyuap, busuk, dan bejat. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, kata itu akhirnya digubah menjadi korupsi, yaitu penyelewengan atau penggelapan uang negara, perusahaan, demi untuk kepentingan pribadi, golongan, dan atau orang lain.
Sementara, Sayed Husen Alatas yang menulis buku The Sosiology of Corruption menjelaskan bahwa korupsi merupakan satu upaya untuk menempatkan kepentingan-kepentingan publik di bawah tujuan-tujuan pribadi dengan melanggar hukum, norma-norma tugas dan kesejahteraan. Dibarengi dengan keserbarahasiaan, penipuan, yang menyebabkan kesengsaraan dan derita umat-publik. Profesor dan Guru Besar Ilmu Hukum ini menyimpulkan, bahwa ada tiga hal pokok yang dalam tindakan korupsi, semuanya ia sebut sebagai kategori tindak kejahatan pidana, yaitu, penyuapan, pemerasan, dan nepotisme.
Dengan merujuk pada konsep dan yang didasarkan pada pengertian bahkan larangan untuk melakukannya, semestinya tidak ada alasan pembenaran bagi siapa pun untuk melakukan korupsi di negeri ini karena menganggap yang dilakukannya absah menurut ketentuan yang ada. Tetapi nyatanya, negeri ini masih menempati peringkat tertinggi sebagai negara terkorup di dunia.
Dalam salah satu wawancara dengan sebuah majalah tentang masalah korupsi ini, Masdar F. Mas'udi memberi beberapa alasan. Menurut dia, korupsi yang kian marak di Indonesia ini berangkat dari pemahaman akan makna harta negara. Lebih lanjut, dia mengatakan, negara itu siapa? Tidak jelas, karena sifatnya yang abstrak. Jika mengacu pada zamannya kerajaan, negara adalah penguasa. Karena itu pada zaman modern ini negara adalah presiden hingga lurah. Jadi kalau Presiden dan Lurah menggunakan uang negara, ya... tidak salah karena merekalah yang merasa memiliknya.
Korupsi di Indonesia kini semakin besar dan serius. Bahkan diduga kuat kian meningkat intensitasnya, meskipun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah dibentuk dan beberapa koruptor sudah diadili dan dihukum. Rakyat dan pemerintah pun sudah lama menyadari bahayanya. Tetapi, sayangnya, korupsi kini seolah telah menjadi nafas keseharian, bahkan di masyarakat itu sendiri. Karena sudah dianggap wajar dan biasa. Setiap waktu kita bisa melihatnya dengan mata telanjang. Praktik-praktik itu ternyata ada di sekitar kita. Mulai dari yang berskala kecil, seperti pada pembuatan KTP, SIM, SKKB, sampai dengan pencurian uang negara oleh pejabat dengan jumlah miliaran, bahkan triliunan rupiah.

Luar biasa
Apresiasi dan dukungan mesti kita berikan kepada media-media massa yang terus-menerus memberitakan dan mengungkap kejahatan korupsi di negeri ini, terutama pascareformasi 1998. Bak menjajar pesakitan di lapangan, satu demi satu kasus di ekspose dan dibongkar. Tetapi karena saking banyaknya kasus, sampai-sampai sang investigator kelelahan, bahkan (mungkin) mati kelelahan.
Sampai kapan pun, korupsi adalah kejahatan luar biasa yang menuntut segenap elemen bangsa, mulai dari elemen terkecil (keluarga) hingga aparat pemerintah, untuk bekerja sama memberantasnya. Jangan sampai, elemen terkecil justru menjadi mesin pencetak manusia-manusia berwatak korup di kemudian hari. Jangan sampai pula, pemerintah yang hakikatnya memberikan hal terbaik buat rakyat justru mengambil kesempatan dalam kesempitan atau memakai aji mumpung untuk melakukan korupsi, memperkaya diri sendiri.
Belakangan, jalan-jalan untuk mengorupsi harta rakyat, perlahan bermetamorfosa menjadi lebih “santun.” Atas nama inventaris negara, penyerapan dana program pembangunan, tidak perlu persetujuan dewan dengan alasan hal itu mendesak, tunjangan mengunjungi konstituen, belajar sistem di negara lain, atau lain sebagainya, menunjukkan betapa metamorfosis ini sudah sedemikian sistematisnya. Tidak jarang pula, untuk semua itu, undang-undang dibuat untuk melegitimasi.
Akankah negeri ini kian terpuruk masa depannya? Nada pesimisme ini wajar mengemuka. Tetapi, optimisme juga harus terus-menerus dipupuk dan diperkuat. Lebih banyak di antara warga negeri ini yang berhati nurani dibandingkan dengan para pencuri uang negara itu yang menempatkan nuraninya di belakang sifat rakusnya.

Bisnis Indonesia, Sabtu 14 April 2007

Tidak ada komentar: